zORB44u1Y5Szogk9hvRg5anbZDydcDDjseaSpgOw

Hidung Pinokio


Senja kala itu, mata saya terbelalak mendengar kalimat yang keluar dari bibir keponakan saya yang masih kelas IV SD. “… Om Telolet Om itu kan artinya saya Yahudi!” Untung kakaknya segera menimpali, memberi tahu kalau itu berita bohong atau hoax.

Fenomena Om Telolet Om adalah bukti betapa kuatnya pengaruh media sosial di Indonesia, yang bahkan bisa mendunia. Sayangnya, pengaruh tersebut sering kali malah digunakan untuk hal-hal yang buruk. Menyebarluaskan berita hoax misalnya. 

Ibaratnya, berita hoax kini telah menjelma menjadi kudapan sehari-hari orang Indonesia. Hoax berserakan di mana-mana. Tidak sedikit orang yang terprovokasi berita hoax itu. Berita hoax memang menggunakan sentimen emosi penerimanya. Sentimen inilah yang menjadi pemicu hingga membikinnya cepat terbakar dan merembet ke mana-mana, menebarkan asap kebencian. Maka dari itu, jangan kaget jika seorang yang sangat berpendidikan pun bisa dengan mudah terprovokasi.

Namun, apapun itu namanya, kebencian tetaplah kebencian yang sifatnya destruktif. Keponakan saya tadi itu salah satu contoh korban keburukan para penyebar kebencian itu. Orang yang hidup dalam gelimang kebencian akan selalu merasa terganggu dengan hal-hal yang bertentangan dengan pahamnya. Kepalanya terus dibanjiri prasangka buruk dan selalu mencari-cari kesalahan orang lain.

Tidak hanya berhenti di situ, ia pun terus menjustifikasi kebenciannya dengan kabar hoax lain, hingga kemudian kita tahu bahwa kini sebarannya kian meluas dan sistematis. Akibatnya, ia akan merasa selalu benar dan ada di pihak yang tidak bisa dipersalahkan. Manusia serupa ini selalu ingin memonopoli kebenaran.

Persoalannya, tidak jarang yang ia yakini benar ternyata keliru ketika berbenturan dengan kenyataan dan fakta-fakta objektif. Ini menimbulkan konflik internal dalam dirinya. Ia merasa kecewa karena fakta ternyata tak sesuai dengan anggapannya. Namun, ia sudah terlanjur membenci perbedaan, dan karenanya ia enggan ilusinya tentang kebenaran menjadi rusak. Sebab, jika ia menerima kebenaran itu, ia tidak lagi punya justifikasi untuk membenci dan menyerang kelompok yang berseberang paham dengannya.

Rasanya sia-sia saja kita memperingatkannya bahwa kebencian, dusta, dan fitnahnya berbahaya bagi dirinya sendiri dan orang lain. Dengan senang hati ia akan mudah menyebarkan hoax. Sama sekali tidak ada penyesalan ketika hoax-nya terbongkar. Ia lalu menyebar hoax lainnya. Bila tidak terbongkar, ia akan menambah-nambahi hoax-nya. Bika ternyata terbongkar, ia akan beralih menyebarkan hoax lainnya.

Dengan cara inilah ia merasa tenang dalam kebencian, sampai-sampai ia merasa hoax yang disebarkannya bukan lagi hoax, tetapi kebenaran, sehingga ia tak sedikitpun merasa bersalah apalagi merasa berdosa. Maka, dengan sangat mudah kita jumpai orang yang ketika hoax-nya terbongkar hanya menghapus postinyannya. Jangan harap ia akan memberikan klarifikasi. Apalagi minta maaf.

“Di antara jenis kebohongan adalah kebohongan yang samar. Yakni ketika seseorang menyebar informasi dari orang yang tak diketahui apakah ia bohong atau tidak.” demikian Imam Syafi'i pernah bertutur. Coba bayangkan jika hidung kita seperti hidung Pinokio yang jika berbohong, menyebar hoax, akan bertambah panjang. Untung hidung kita tidak seperti hidung Pinokio. Jadi, sebanyak apapun hoax yang kita sebar luaskan, hidung kita ya begini-begini saja: pesek.
Baca Juga
Abah
Generasi Micinial

Artikel Terkait

Posting Komentar