zORB44u1Y5Szogk9hvRg5anbZDydcDDjseaSpgOw

Transformasi Kepemimpinan Digital


Presiden Jokowi rajin membikin video blog (vlog). Pekan kemarin, di akun YouTube miliknya, presiden mengunggah vlog sewaktu membelah belantara Papua, menyusuri 7 dari 287 km jalur Trans Papua dengan sepeda motor. Dalihnya, vlog adalah media komunikasi efektif untuk menyampaikan program pemerintah kepada masyarakat khususnya generasi muda. Selain Presiden Jokowi, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pun jamak membikin dan mengunggah vlog.

Masa depan itu hari ini. Dulu, diramalkan bahwa di masa depan, di era digital, setiap orang akan bisa menjadi penyiar. Hari ini, kita melihat ramalan itu terbukti. Hari ini, siapa saja bisa siaran via media sosialnya. Tak cuma anak baru gede, para penggede negeri pun ikut siaran. Namun, apakah sekadar melek internet dan media sosial sudah cukup untuk menghadapi tantangan baru di era digital?

Bukan Teknologi Semata

Era digital acap disangkutpautkan dengan aktivitas dalam jaringan (daring) yang luar biasa sibuk. Internet, ponsel pintar, dan jejaring media sosial kerap dianggap perpaduan yang teramat adiktif di era digital. Padahal, era digital bukan semata soal yang berbau daring. Persoalan era digital tidak cuma berkutat pada urusan teknologi. Bila kita memandang persoalan digital sebagai persoalan teknologi belaka, kita tidak akan pernah bisa memahami persoalan itu secara komprehensif.

Virginia Heffernan, karena itu, dalam bukunya, Magic and Loss: The Internet as Art, tidak cuma memandang internet sebagai sebuah artefak teknologi yang memudahkan pekerjaan sehari-hari. Ia juga memandangnya sebagai sebuah artefak kebudayaan. Internet telah membawa kita ke era revolusi terbesar dalam sejarah peradaban umat manusia pasca-revolusi agrikultur dan revolusi industri. Internet dengan segala kuasanya memampatkan ruang dan waktu dan menciptakan ruang baru, sebuah ruang kolektif. Ini yang membuat internet beda dengan teknologi pendahulunya.

Memesan Gojek tidaklah sama dengan menelepon tukang ojek langganan. Belanja di Buka Lapak atau Toko Pedia pun tidak sama dengan belanja di pasar tradisional atau pasar swalayan. Begitu pula dengan Airbnb. Ia bukan sekadar aplikasi untuk memesan kamar. Internet merupakan sebuah rezim yang memiliki aturan main sendiri. Di dalamnya kita berpartisipasi dengan membuat akun, entah pseudonim atau bukan, untuk berinteraksi dengan menciptakan ekosistem digital. Didalamnya terjadi revolusi kebudayaan.

Zamannya Sinergi dan Kolaborasi

Era digital jamak disebut era VUCA. VUCA merupakan singkatan dari volatility, uncertainty, complexity, dan ambiguity. VUCA adalah gambaran situasi di dunia bisnis pada era digital, yaitu ketika pemimpin merasakan kecemasan tinggi pada perusahaan yang dipimpinnya. Lyra Puspa, Founder Vanaya Coaching Institute pernah bilang kalau VUCA merupakan alasan pentingnya kepemimpinan digital (digital leadership).

Volatility

Di era digital, semua hal bisa berubah setiap saat dengan cepatnya. Digitalisasi membikin apa-apa yang dulu lambat kini menjadi kian cepat. Seberapa cepat waktu yang kita butuhkan untuk memilih dan memesan tiket pesawat? Itu satu contoh. Di era digital, pemerintah, dalam hal ini Kementerian Keuangan, turut berinovasi dalam menyediakan layanan agar wajib pajak atau wajib bayar dapat menyetorkan kewajiban penerimaan negara secepat-cepatnya semudah-mudahnya.

Uncertainty

Era digital membuat semuanya serba labil. Di industri transportasi tanah air, kita melihat bagaimana Blue Bird Group yang mulanya merajai industri taksi perlahan melorot akibat hadirnya aplikasi transportasi daring. Mulanya, grup perusahaan transportasi ini gagap bereaksi terhadap kehadiran aplikasi transportasi daring. Kini, kita bisa melihat bagaimana grup raksasa itu mulai merapatkan barisan dengan Gojek.

Complexity

Dulu, kita memesan kamar untuk menginap dengan menelepon atau datang langsung menemui resepsionis hotel. Sekarang, hanya dengan membuka layar ponsel, kita bisa memesan dan membayar kamar untuk menginap. Kita juga bisa membandingkan dan memilih tarif sewa yang paling ekonomis. Kompleksitas era digital tidak hanya membuat satu hotel bersaing dengan hotel-hotel lainnya. Hotel, mau tidak mau, juga harus bersaing dengan pemilik-pemilik rumah, vila, atau apartemen pribadi yang menyewakan kamarnya di Airbnb. 

Ambiguity

Berbeda dengan Jakarta yang terbuka terhadap kehadiran aplikasi transportasi daring, Bandung justru sangat tertutup. Di Stasiun Bandung, kita tidak bisa memesan taksi daring untuk menjemput di dalam pagar stasiun. Sebabnya adalah regulasi yang masih ambigu, masih abu-abu. Belum ada regulasi yang dengan tegas melarang atau membolehkan transportasi daring. Karenanya, setiap daerah memiliki kebijakan yang beragam.

Belakangan, seiring dengan hadirnya era digital, kita pun dikenalkan dengan sharing economy. Sharing economy sejatinya merupakan salah satu jawaban atas VUCA-nya era digital. Dengan adanya sharing economy, korporasi tidak lagi diminta untuk berkompetisi, melainkan berkolaborasi untuk saling menutupi celah kekurangan.

Dalam organisasi pemerintahan pun mestinya begitu. Dulu, tiap divisi atau direktorat ditantang untuk menjadi yang terbaik. Kini, masing-masing divisi atau direktorat mesti ditantang untuk menjadi yang paling banyak bersinergi dan kolaborasi dengan divisi atau direktorat lainnya. Secara individu, indikator kinerja staf juga mestinya diubah. Masing-masing staf mesti ditantang untuk menjadi yang paling banyak bersinergi dan berkolaborasi, bukan berkompetisi.

Pemimpin Generasi Milenial

Saat ini, di Kementerian Keuangan, hampir separuh pegawainya merupakan generasi milenial. Generasi milenial merupakan anak muda yang sangat adaptif terhadap era digital. Menteri Keuangan melihat kehadiran generasi milenial di Kementerian Keuangan ini sebagai potensi yang luar biasa. 

“Ini memberikan potensi yang luar biasa bagi Kementerian Keuangan untuk berkreasi mengawal fiskal dengan target pendapatan negara sebanyak Rp1.750,3 triliun, belanja negara sebesar Rp2.080,5 triliun, dan pembiayaan anggaran sebanyak Rp330,2 triliun,” kata Menteri Keuangan saat menjadi pembina upacara peringatan Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas) di Lapangan Upacara Kementerian Keuangan di Jakarta hari Senin pekan kemarin.

Menteri Keuangan juga mengatakan bahwa Organisasi Boedi Oetomo merupakan organisasi yang disokong oleh mayoritas generasi muda. Semangat yang diusung Boedi Oetomo untuk membangkitkan semangat generasi muda untuk berjuang demi Indonesia, karena itu, harus dapat diteruskan. Pegawai Kementerian Keuangan mesti menggelorakan semangat kebangkitan nasional yang telah dimulai Dr. Wahidin Sudiro Husodo seratus sembilan tahun lalu.  

“Melalui berbagai kebijakan, saya mengharapkan khususnya gen Y dan gen milenial ini, dapat berkontribusi positif secara optimal bagi Kementerian Keuangan, untuk menyebarluaskan kebijakan fiskal dan kekayaan negara melalui sarana digital, dan membangkitkan semangat seperti yang dicita-citakan oleh gerakan Boedi Oetomo,” tegas Menteri Keuangan.

Pegawai generasi milenial, sebagai digital talent, adalah modal berharga dalam memasuki era VUCA. Untuk mengelolanya, Kementerian Keuangan perlu kepemimpinan digital. Kontribusi positif generasi milenial di Kementerian Keuangan tidak akan pernah bisa maksimal tanpa dukungan pemimpinnya. Panglima atau pemimpin di Kementerian Keuangan, karena itu, mesti mengenal dan memahami tabiat prajurit-prajuritnya, yang hampir separuhnya adalah generasi milenial.

Untungnya, Menteri Keuangan sudah menaruh perhatian terhadap generasi milenial. Ini merupakan nilai plus yang dapat menambah percepatan laju transformasi yang kini sedang dijalankan di Kementerian Keuangan. Karena sejatinya, membicarakan generasi milenial dan era digital bukan cuma berbicara soal teknologi, tapi juga soal budaya. Maka, yang mesti bertransformasi bukan cuma teknologinya, orangnya juga.

Semua itu mustahil dapat diwujudkan tanpa adanya sebuah transformasi budaya berupa transformasi kepemimpinan digital. Kepemimpinan digital adalah karakter kepemimpinan yang tak cuma kenal, tapi juga paham tabiat stafnya, terutama generasi milenial. Kepemimpinan digital adalah karakter kepemimpinan yang siaga menghadapi era VUCA. Kepemimpinan digital adalah karakter kepemimpinan yang paham bahwa era digital adalah zamannya sinergi dan kolaborasi, bukan kompetisi.
Baca Juga
Abah
Generasi Micinial

Artikel Terkait

Posting Komentar