zORB44u1Y5Szogk9hvRg5anbZDydcDDjseaSpgOw

Lingkar Nalar


Minggu kemarin, saya terlibat dalam forum kehumasan salah satu institusi pemerintah. Di antara yang kami diskusikan saat itu adalah video iklan layanan masyarakat. Dua dari tiga video sudah rampung, satunya lagi masih tahap produksi. Ketiga video itu menayangkan testimoni masyarakat kelas bawah mengenai dampak langsung kebijakan pemerintah yang mereka rasakan sendiri. Testimoninya sangat positif. Tapi harus digarisbawahi bahwa tidak ada skenario yang menyeting agar tokoh-tokoh dalam video tersebut berkomentar positif, pengambilan gambar dilakukan dengan spontan.

Karena tidak ada skenario itulah, proses produksinya menjadi lebih sulit dan lama. Satu rekan kami ada yang mempersoalkan urgensi dari apakah video itu setingan atau bukan. Menurutnya, publik tidak akan peduli apakah video itu setingan atau bukan. Masih menurutnya, dengan tidak adanya skenario, iklan tersebut malah kurang bisa menyampaikan pesan yang ingin ditampilkan melalui video tersebut.

Tapi ternyata itu anggapan yang keliru, karena foto presiden saja masih dipersoalkan, setingan atau bukan. Di lini masa, orang-orang ribut mempersoalkan foto presiden bersama Orang Rimba dengan dalih telah melakukan rekayasa untuk pencitraan. Kritik terhadap pemerintahan Jokowi pun hanya mengenai kulitnya, tanpa sedikit pun merogoh ke dalam. Kritik cuma terhenti pada tataran syariat, belum mampu merasuk ke tataran makrifat.

Coba dipikirkan lagi, apa untungnya memperdebatkan apakah foto itu rekayasa atau bukan. Andai foto itu memang benar-benar hasil rekayasa pun, tidak dapat dipungkiri lagi bahwa habitat alami Orang Rimba sudah habis tergerus kapitalisme. Justru yang lebih penting, yaitu mengkritisi kebijakan pemerintah yang ingin merumahkan Orang Rimba agar tidak lagi hidup nomaden dari sudut pandang antropologi dan hak asasi manusia, jadi terabaikan.

Merumahkan Orang Rimba adalah bentuk kekerasan kultural, karena nomaden-nya Orang Rimba adalah sebuah ekspresi budaya. Nomaden ini terkait dengan tradisi melangun. Melangun adalah tradisi berpindah-pindah tempat atau pergi jauh. Jika anggota keluarga yang meninggal dunia, pihak keluarga dan kerabat terdekat akan pergi meninggalkan tempat tinggal mereka. Selain keluarga dan kerabat, tetangga yang rumahnya dekat pun ikut meninggalkan rumah dan tempat mereka, karena mereka percaya tempat tersebut dapat menimbulkan kesialan.

Dahulu kala, Orang Rimba meninggalkan tempat tinggal mereka dalam waktu yang cukup lama, sekitar satu dekade. Tapi sekarang, perpindahannya hanya berkisar antara empat hingga dua belas bulan. Alasannya tak lain adalah karena wilayah hutan tempat tinggal mereka sudah semakin sempit. Maka wajar saja jika wilayah melangun mereka tidak seluas dulu lagi. Bahkan sekarang, saat ada anggota keluarga yang meninggal dunia, tidak semua Orang Rimba pergi melangun, hanya anggota keluarga mendiang saja yang pergi melangun.

Sebenarnya masih banyak yang bisa kita gali dan kritisi dari kebijakan merumahkan Orang Rimba ini. Jadi, buat ribut-ribut soal foto yang dilingkari? Karena jangan-jangan itu malah mempersempit lingkar nalar kita. Tabik.
Baca Juga
Abah
Generasi Micinial

Artikel Terkait

Posting Komentar