zORB44u1Y5Szogk9hvRg5anbZDydcDDjseaSpgOw

Vonis Media


Malam kemarin, saya pergi ke tempat pangkas rambut langgganan. Di pojokan ada sebuah televisi yang sedang menyiarkan langsung persidangan kasus kematian Wayan Mirna Salihin. Mau tidak mau saya pun ikut menyimak jalannya persidangan yang malam itu menghadirkan Beng Beng Ong, profesor ahli patologi dari Universitas Queensland sebagai saksi ahli. Jujur saja, itu kali pertama saya mengikuti perkembangan kasus kematian Mirna secara langsung.

Selama ini, saya mengikuti perkembangan kasusnya hanya dari obrolan orang-orang di sekeliling. Bagi saya, pemberitaan kasus kematian Mirna sudah terlalu lebay. Media yang mestinya hanya mengabarkan jalannya persidangan malah ikut merekonstruksi dan mengadakan sidang tandingan di studio dan meja redaktur masing-masing. Padahal, waktu belajar PPKn, saya diajari untuk menggunakan asas praduga tak bersalah.

Sidang media ini, hampir tidak ada bedanya dengan pengadilan jalanan Presiden Filipina, Rodrigo Duterte, yang banyak didukung kawan-kawan di lini masa media sosial saya. Dalam perang melawan narkoba yang dikobarkannya, setidaknya sudah 1.500 orang terduga pengedar narkoba di Filipina tewas. Padahal, di lain waktu, kawan-kawan pendukung Duterte tadi juga menyalahkan Densus 88 yang kerap dianggap main hakim sendiri, dengan menembak mati terduga teroris.


Jika di pengadilan yang alat buktinya sudah lengkap secara formil dan materil saja masih mungkin terjadi salah vonis, apalagi di pengadilan jalanan ala Duterte. Seperti adegan Max di film The Secret Life of Pets ketika keluar dari bis yang terguling sambil menggigit Snowball. Max tersudut, ia dituduh hendak memakan Snowball. Padahal sebelumnya Max dan Snowball bekerjasama mengejar mobil van pengendali hewan untuk membebaskan Duke dan Tattoo.

Saya sepakat dengan Ketua Dewan Pers, Yosep Adi Prasetyo. Menurutnya, seluruh proses pengadilan mestinya dihadirkan di pengadilan, dan tidak boleh dikomentari. Sebaliknya, yang dilakukan media dengan menghadirkan pengamat untuk mengkomentari sidang telah melanggar asas praduga tak bersalah. ”Media seolah-olah membuat sidang di luar persidangan dengan cara mengamati sidang lantas mengundang ahli-ahli juga,” sambungnya.

Karena itu, dari tadi saya bilang “kasus kematian” bukan “kasus pembunuhan”. Saya berusaha untuk tidak mengkuti media arus utama yang sudah terlanjur menjadikan Jessica Kumala Wongso sebagai terdakwa dalam kasus kematian Mirna. Dalam drama persidangan yang disajikan media, Jessica sudah kadung ditempatkan dalam posisi sosok antagonis. Bahkan sebelum ia menyampaikan pledoi dan vonis hakim.

Maka, seperti dilansir tirto.id, Wajar jika salah satu poin eksepsi atau nota keberatannya kepada Hakim, Kuasa Hukum Jessica mengeluhkan ini.  “Sekarang ini telah telanjur tercipta opini seakan-akan Jessica-lah pelaku sesungguhnya,” kata salah satu kuasa hukum, Sordame Purba, kepada majelis hakim di tengah persidangan pada sidang pertama, 15 Juni lalu. Penggiringan opini publik pun akan semakin parah saat framming itu ikut pula dilakukan oleh media televisi.

Dalam setiap putusan pengadilan, kita akan menemukan frasa “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”. Itu simbol cerminan bahwa hakim mendapat mandat langsung dari Tuhan untuk menentukan keadilan di pengadilan dunia. Jadi, kalau ada media yang sudah berani menjatuhkan vonis mendahului hakim di pengadilan, media tersebut secara tidak langsung sudah lancang mengambil alih kewenangan Tuhan.
Baca Juga
Abah
Generasi Micinial

Artikel Terkait

Posting Komentar