zORB44u1Y5Szogk9hvRg5anbZDydcDDjseaSpgOw

Amnesti Kepala Negara


Hak presiden di bidang yudisial diatur dalam UUD 1945. Dalam Pasal 14 UUD 1945 prarubah, diasebutkan bahwa “Presiden memberi grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi.” Dalam memori penjelasan, dijelaskan bahwa hak atau kekuasaan Presiden dalam Pasal 14 ini merupakan kewenangan mutlak, hak prerogatif, Presiden sebagai kepala negara. 

Ketika UUD 1945 diamandemen untuk kali pertama, Pasal 14 dibagi menjadi dua ayat. Sebelum memberi grasi dan rehabilitasi, Presiden diharuskan lebih dulu meminta pertimbangan dari Mahkamah Agung (Pasal 14 ayat 1) sedangkan untuk memberi amnesti dan abolisi Presiden harus memperhatikan pertimbangan DPR (Pasal 14 ayat 2).

Prof. Bagir Manan, mantan Ketua Mahkamah Agung yang juga guru besar Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, mendefinisikan amnesti sebagai kewenangan presiden meniadakan sifat pidana atas perbuatan seseorang atau kelompok orang. Mereka yang mendapat amnesti dipandang tidak pernah melakukan sesuatu perbuatan pidana.

Umumnya amnesti diberikan kepada sekelompok orang yang melakukan tindakan pidana sebagai bagian dari kegiatan politk, seperti pemberontakan atau perlawanan senjata terhadap pemerintah yang sah. Namun, tidak menutup kemungkinan amnesti diberikan kepada orang perorangan.

Pertengahan tahun ini, Presiden telah mengesahkan UU Pengampunan Pajak. Publik lebih mengenalnya sebagai tax amnesty atau amnesti pajak. Kemudian, muncul paksi-paksi yang mempertanyakan amnesti pajak yang diatur dalam undang-undang. Menurutnya, dalam perannya sebagai kepala negara, presiden hanya perlu meminta pertimbangan DPR untuk memberi amnesti pajak. 

***

Sistem Presidensial


Pada masa perjuangan kemerdekaan, sebagian besar dari para pendiri republik mengidealkan sistem pemerintahan presidensial. Kita dapat melihatnya dalam rumusan UUD 1945, yang menentukan kekuasaan pemerintahan dipegang seorang Presiden dengan dibantu seorang Wakil Presiden. Konstitusi kita tidak mengenal jabatan Perdana Menteri atau Menteri Utama.

Akan tetapi, dalam praktiknya, Presiden Soekarno membentuk jabatan Perdana Menteri dengan mengangkat Syahrir sebagai Perdana Menteri pertama dalam sejarah Indonesia. Sejak itu, sistem pemerintahan Republik Indonesia, dengan diselingi oleh sejarah bentuk Republik Indonesia Serikat, selalu menerapkan sistem pemerintahan parlementer atau setidaknya sistem pemerintahan campuran hingga rezim Orde Baru berkuasa.

Dalam praktik sistem parlementer itulah pada awal tahun 1946, Penjelasan UUD 1945 yang disusun oleh Soepomo dan diumumkan melalui Berita Republik pada Februari 1946 memuat uraian tentang kedudukan kepala negara dan kepala pemerintahan yang kemudian disalahpahami seakan itu adalah dua jabatan yang dapat dibedakan satu sama lain, hingga sekarang. 

***

Kepala Negara


Dalam perubahan ke tiga, ide negara hukum (rechtstaat atau the rule of law) diadopsi dalam rumusan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, yang menyatakan: “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”. Pada prinsipnya, supremasi hukum dan kedaulatan hukum berasal dari kedaulatan rakyat. Karena itu, harus ada jaminan bahwa hukum itu sendiri dibangun dan ditegakkan menurut prinsip-prinsip demokrasi kedaulatan rakyat (democratische rechtsstaat).

Puncak kekuasaan hukum itu diletakkan pada konstitusi yang pada dasarnya merupakan dokumen kesepakatan tentang sistem kenegaraan tertinggi. Bahkan, menurut Prof. Jimly Asshiddiqie, dalam sistem presidensial yang dikembangkan, konstitusi itulah yang pada hakikatnya merupakan Kepala Negara Republik Indonesia yang bersifat simbolik (symbolic head of state), dengan keberadaan Mahkamah Konstitusi sebagai penyangga atau the guardian of the Indonesian constitution.

***

Uang Tebusan


Dalam amnesti pajak, kewajiban PPh dan PPN terutang sampai dengan tahun 2015 dihapus dan diganti dengan uang tebusan pengampunan pajak atas harta netto yang dimiliki sedari tahun 1985 sampai dengan akhir 2015, yang belum dilaporkan dalam SPT PPh. Di dalam postur APBN, sebagaimana dijelaskan dalam UU Pengampunan Pajak, uang tebusan tersebut diperlakukan sebagai PPh.

Sejatinya, uang tebusan adalah pengganti PPh dan PPN. Masyarakat dipaksa untuk memilih antara melunasi pajak terutang atau membayar uang tebusan. Uang tebusan, karena itu, harus diatur dalam undang-undang. Hal ini sesuai dengan amanat Pasal 23A UUD 1945, bahwa pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dalam undang-undang. 

***

Daluwarsa Penagihan


Pasal 13 ayat (1) dan Pasal 22 ayat (1) UU KUP mengatur daluwarsa penerbitan ketetapan pajak dan penagihan adalah 5 tahun sejak akhir masa pajak. Sementara itu, Pasal 18 ayat (2) huruf b UU Pengampunan Pajak, mengindikasikan amnesti pajak berlaku atas perolehan harta netto di dalam dan luar negeri selama 31 tahun, sedari 1 Januari 1985 sampai dengan 31 Desember 2015. UU Pengampunan pajak berimplikasi sebagai derivasi dari UU KUP, UU PPh, dan UU PPN. 

Jika mengacu pada prinsip lex specialis derogat legi generalis, UU Pengampunan Pajak memperluas masa pemajakan atas pemilikan harta selama 31 tahun tanpa melihat asal-usul harta yang dideklarasi dalam mempertahankan penagihan pajak dengan paksa selama 5 tahun setelah ketetapan. Artinya, jika ketetapan pajak produk UU Pengampunan Pajak tidak dibayar, dapat dilakukan penagihan paksa karena ada unsur pemaksaan sesuai dengan Pasal 23A UUD 1945.

***

Jadi, dari sederet argumen tadi, sudah tidak relevan lagi kita mempertanyakan amnesti pajak yang ditetapkan dalam undang-undang. Karena, kita menganut sistem pemerintahan presidensial. Karena, konstitusi kita mengamanatkan bahwa pajak dan pungutan yang bersifat memaksa harus diatur dalam undang-undang.
Baca Juga
Abah
Generasi Micinial

Artikel Terkait

Posting Komentar