Sumpah Pemuda adalah sebuah ikrar yang menonjolkan persatuan: satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa. Ikrar yang cukup unik—untuk tidak menyebutnya aneh. Bagaimana tidak? Pimpinan rapat saat itu, Soegondo Djojopoespito, pun masih masih kesulitan saat berusaha menggunakan Bahasa Indonesia. Siti Sundari, salah satu pembicara dalam Kongres Pemuda II, masih menggunakan Bahasa Belanda. Beberapa pembicara dalam kongres juga masih berbahasa daerah.
Respon pemerintah kolonial, karena itu, biasa-biasa saja. Bahkan Van Der Plass, seorang pejabat kolonial untuk urusan negara jajahan, menganggap remeh Kongres Pemuda II beserta keputusan-keputusannya. Ia menertawakan keputusan kongres yang menjadikan Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan.
Namun, sepertinya Van Der Plass keliru. Hanya perlu dua bulan—sebagaimana ditulis Dr. Keith Foulcher, pengajar jurusan Indonesia di Universitas Sydney, Australia—bagi Siti Sundari untuk berbicara dengan Bahasa Indonesia. Sejarah pun telah membuktikan bahwa Sumpah Pemuda telah menjadi api yang memantik persatuan untuk melawan kolonialisme.
Meski, seperti kata Asvi Warman Adam yang mengutip pernyataan Profesor Sartono Kartodirdjo, Manifesto Politik yang dikeluarkan oleh Perhimpunan Indonesia (PI) di Belanda pada 1925 jauh lebih fundamental dibanding Sumpah Pemuda 1928. Manifesto Politik berisi prinsip perjuangan, yakni unity (persatuan), equality (kesetaraan), dan liberty (kemerdekaan) sedangkan Sumpah Pemuda hanya menonjolkan persatuan.
Masih di tahun 1925, Tan Malaka juga menulis Naar de Republiek Indonesia (Menuju Republik Indonesia), dan Massa Actie (Aksi Massa) pada tahun berikutnya. Keduanya terbit jauh lebih dulu dari Indonesia Vrije (Indonesia Merdeka)-nya Mohammad Hatta dan Menuju Indonesia Merdeka-nya Seokarno.
Kedua buku Tan Malaka itu, bisa dibilang, telah menjadi sumber inspirasi bagi tokoh-tokoh pergerakan. W.R. Supratman sampai memasukkan kalimat “Indonesia tumpah darahku” dari buku Massa Actie ke dalam lagu Indonesia Raya, lagu kebangsaan Indonesia yang pertama kali diperdengankan di muka umum pada penutupan Kongres Pemuda II.
Kadang, saya suka minder kalau baca buku mereka. Hampir satu abad yang lalu, di bawah sayap pesawat temput kolonial, di tengah pelarian, dan di balik jeruji penjara, mereka mampu menulis karya-karya revolusioner. Semantara kini, apa yang sudah saya tulis?
Kami, saya dan sebagian orang Indonesia, masih memiliki salah satu sifat warisan Belanda, yaitu demogogisch. Seperti kata Tan Malaka, demogogisch ialah sifat berkilah, sifat suka mempertentangkan perkara kecil, remeh-temeh, dan melupakan pokok yang besar.
Faktanya, pada tahun 1940 negara sekecil Belanda memiliki 52 partai politik. Kondisi serupa terjadi di Indonesia, yang juga memiliki banyak partai politik. Tentunya masa pemerintahan orde baru, yang otoriter itu, harus kita kecualikan. Sila bandingkan dengan jumlah partai politik di Amerika Serikat.
Bagaimana tidak suka mempertentangkan perkara remeh-temeh, jika gadis yang baru bisa masak telur ceplok saja bisa jadi berita di portal berita daring nasional? Sungguh remeh-temeh. Semakin remeh-temeh ketika saya pun ikut mempertentangkannya di blog ini.
Gaya tulisan mojok nih hehe
BalasHapusIni, sih, masih terlalu tengah, kurang mojok. :D
Hapus