zORB44u1Y5Szogk9hvRg5anbZDydcDDjseaSpgOw

Eskalasi Pasokan Energi Menuju Indonesia 2033

#15HariCeritaEnergi

Pada tahun 2033, Indonesia ditargetkan untuk menjadi negara maju. Mau tidak mau, segala upaya untuk mencapai target tersebut akan berdampak pada pesatnya eskalasi kebutuhan energi di dalam negeri. Merujuk pada South East Asia Energy Outlook (2013), eskalasi konsumsi energi di Indonesia, terutama di sektor rumah tangga, industri, dan komersial, dipicu oleh berbagai faktor, yang di antaranya adalah pertumbuhan populasi dan pertumbuhan pendapatan.

Untuk memenuhi kebutuhan energi di masa yang akan datang, Indonesia harus meningkatkan pasokan listrik sekitar 4.000 MW per tahun. Tentu saja hal ini akan sangat membebani kemampuan keuangan PLN, yang pada akhirnya juga akan membebani kemampuan keuangan negara. Kebutuhan energi nasional yang tereskalasi dengan pesat masih belum mampu diimbangi dengan peningkatan produksi energi dalam negeri. Akibatnya, tingkat ketergantungan energi siap pakai dari luar negeri masih cukup tinggi.

Kondisi ini dipersulit dengan masih besarnyanya alokasi belanja pemerintah untuk subsidi energi, termasuk dalam APBNP 2017. Kisaran rata-rata subsidi BBM di tahun 2011 hingga 2014 mencapai angka 16 sampai dengan 19 persen dari total belanja negara. Masih besarnya belanja subsidi tersebut turut menghambat upaya pengembangan energi baru terbarukan dan percepatan konservasi energi yang sedang berjalan. Besarnya belanja subsidi turut mengurangi ruang fiskal yang sebetulnya bisa digunakan untuk membiayai pengembangan energi terbarukan dan percepatan konservasi energi.

Sejatinya, untuk menanggulangi permasalahan pasokan energi tersebut pemerintah telah berkomitmen untuk mengembangkan sektor energi. Pengembangan sektor energi juga merupakan kerja nyata pemerintah dalam mendukung pembangunan berkelanjutan melalui penyusunan strategi ketahanan dan kedaulatan energi nasional. Percepatan pembangunan di sektor energi sangat penting untuk mendukung keberlangsungan pertumbuhan ekonomi yang ditargetkan sebesar 7 persen per tahun hingga tahun 2033 mendatang.

Pengembangan energi terbarukan, sebagai salah satu langkah untuk mengeskalasi pasokan energi, akan berjalan seiring dengan perkembangan penggunaan teknologi di tanah air. Namun, desakan kebutuhan energi untuk mendukung pertumbuhan ekonomi tidak dapat menunggu perkembangan energi baru terbarukan hingga hingga teknologi dan harga komponen untuk pengembangan energi baru terbarukan mencapai skala komersial.

Dalam menghadapi situasi ini, pembangunan infrastruktur di bidang energi seperti gas alam kovensional dapat menjadi strategi transisi untuk mengimbangi pertumbuhan permintaan energi dalam negeri. Strategi peralihan ini perlu dilakukan untuk mengimbangi pertumbuhan permintaan energi dalam negeri sambil mengurangi subsidi bahan bakar minya secara bertahap.

Upaya pengembangan sektor energi yang berkelanjutan ini selaras dengan Nawa Cita, yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019. Pengembangan sektor energi yang berkelanjutan juga selaras dengan komitmen pemerintah untuk mendukung Rencana Aksi Nasional dan Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN/RAD-GRK). RAN/RAD-GRK merupakan kontribusi pemerintah di tingkat nasional dan daerah dalam menanggapi ancaman perubahan iklim global.

Kegiatan akselerasi pengembangan energi baru terbarukan dan konservasi energi (EBTKE) di Indonesia masih menemui banyak kendala. Biaya operasional dan investasi awal yang tinggi, tingkat pengembalian modal yang lama, serta tingginya risiko politik dan ekonomi menjadi kendala utama. Risiko-risiko ini menghambat pengembangan energi baru terbarukan, seperti yang terjadi pada pengembangan pembangkit listrik tenaga panas bumi.

Kebijakan pengembangan EBTKE tertuang dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 2 Tahun 2004. Peraturan Menteri ESDM ini menjabarkan antara lain hambatan serta tantangan dalam melakukan konservasi energi. Beberapa tantangan dalam melakukan konservasi energi yang dijabarkan di dalam Peraturan Menteri ESDM ini antara lain tingginya biaya investasi konservasi energi, keterbatasan pangsa pasar dan sulitnya penerapan budaya hemat energi. Hambatan-hambatan ini merupakan hal yang bisa ditanggulangi melalui insentif-isentif keuangan.

Pemerintah telah menetapkan berbagai kebijakan pembiayaan yang dapat digunakan untuk pengembangan energi baru terbarukan dan energi secara luas. Di antaranya adalah kebijakan untuk fasilitas pembiayaan pengembangan tenaga panas bumi, fasilitas pendanaan infrastruktur kepada PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI), dan Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KKP-E).

Di beberapa negara anggota Asia-Pacific Economic Cooperation (APEC), insentif keuangan proyek-proyek EBTKE adalah: penurunan tarif pajak penghasilan; percepatan penyusutan; pembebasan pajak penjualan, pajak pertambahan nilai atau pajak impor; dan pinjaman berbunga rendah. Indonesia pun sebetulnya meberikan insentif atau falistitas pajak atas proyek-proyek EBTKE berupa fasilitas pajak penghasilan, pajak pertambahan nilai, bea masuk, dan pajak ditanggung pemerintah.

Selain insentif pajak—seperti yang sudah saya ceritakan kemarin—pemerintah, dalam hal ini Kementerian ESDM, telah menetapkan peraturan mengenai tarif tinggi termasuk Feed in Tariff (FiT). Feed in Tariff adalah harga premium yang dibayarkan kepada pengembang energi terbarukan yang dijamin untuk jangka waktu tertentu. Insentif berupa Feed in Tariff diberikan untuk membantu pengembang dalam mengimbangi biaya modal yang lebih tinggi dan risiko yang terkait berkaitan dengan proyek-proyek energi terbarukan.

Feed in Tariff, saat ini tersedia untuk produsen energi tenaga panas bumi, tenaga surya, tenaga air, dan tenaga bioenergi. Kebijakan Feed in Tariff mengatur harga pembelian listrik khususnya untuk pembangkit dengan kapasitas kurang dari 10 MW yang cenderung lebih rentan terhadap inflasi tinggi. Terdapat pengecualian untuk Feed in Tariff tenaga panas bumi dan batas atas tarif (ceiling price) tenaga surya fotovoltaik ketika tarif keduanya ditetapkan dalam mata uang dolar Amerika Serikat, yang lebih rentan terhadap fluktuasi valuta asing, tetapi mungkin lebih menarik minat investor asing.

Berbagai insentif keuangan yang ditawarkan pemerintah moga-moga bisa menjadi dorongan agar Indonesia bisa mengimbangi eskalasi kebutuhan pasokan energi. Akibatnya, Indonesia tidak perlu lagi bergantung pada pasokan energi siap pakai dari negeri. Dengan begitu, cita-cita Indonesia menjadi negara maju di tahun 2033 bukan mustahil untuk dapat terwujud.

____________________
Referensi: Opsi Kebijakan Fiskal untuk Sektor Energi
Baca Juga
Abah
Generasi Micinial

Artikel Terkait

Posting Komentar