Sekitar dua jam aku berada dalam bus kota itu hingga aku tiba di selatan Jakarta. Melewati perbatasan Jakarta dan Banten, menuju rumah Deri. Seorang teman lama yang kini tinggal di Pondok Ranji, Tangerang Selatan. Lalu aku mengajaknya untuk berkunjung ke suatu wilayah yang tidak begitu jauh dari kampusku dulu. Orang-orang menyebutnya Lapak Sarmili. Sebuah tempat tinggal orang-orang yang yang mencari rejeki dari sampah dan barang-barang bekas. Seperti pemulung-pemulung yang acap kali mengais sampah di depan kosanku dulu.
"Permisi Mas. Kalau mau ke Lapak Sarmili ke arah mana ya?" tanyaku kepada seorang pedagang buah.
"Wah, udah digusur Mas."
"Digusur?! Sejak kapan Mas?"
"Udah lama. Saya lagi sibuk. Maaf ya." lalu dia kembali melayani pelanggan-pelanggannya.
Kaget aku mendengar Lapak Sarmili sudah digusur. Memang cukup lama aku tidak pernah lagi berkunjung lagi ke sekitar Sarmili. Sarmili sejatinya merupakan perkampungan yang mayoritas penduduknya adalah orang-orang Betawi.
Deri bertanya lagi kepada orang tukang warung di pinggir jalan. Dia membenarkan bahwa Lapak Sarmili memang sudah digusur. Tapi mereka mendapat lahan baru yang tidak jauh dari lokasi sebelumnya.
Tidak berapa lama, sampailah kami di lokasi yang dulunya berdiri beberapa rumah yang terbuat dari triplek-triplek bekas. Asap kecil masih terlihat mengepul dari beberapa titik api. Bekas pembakaran sisa-sisa sampah yang bercampur dengan kayu-kayu bekas puing rumah mereka. Di seberang kali terlihat beberapa rumah yang penampakannya identik dengan rumah-rumah di Lapak Sarmili dulu. Hanya petakan-petakan kecil yang dindingnya terbuat dari papan dan triplek bekas. Beratapkan seng dan karpet plastik bekas. Di samping rumah itu terlihat tumpukan karung-karung barang bekas. Seolah kata 'bekas' menjadi jargon yang sudah melekat dengannya.
Kami melewati jembatan yang hanya terbuat dari kayu untuk menyeberangi kali kecil yang memisahkan lokasi Lapak Sarmili lama dengan rumah-rumah triplek itu. Di sana kami bertemu dengan seorang laki-laki paruh baya yang sedang duduk di atas sebuah bangku plastik.
"Permisi, Pak. Mau tanya. Rumah Pak RT yang mana?"
"Saya tuli jangan tanya saya!" laki-laki itu menjawab dengan lantang tapi tidak mengindahkan pertanyaanku.
"Dia ga bisa denger, Dek. Tuli." seorang perempuan yang usianya tidak terpaut jauh dari laki-laki tadi menghampiriku.
"Oh.. Maaf, Bu. Kalau rumah Pak RT yang mana?"
"Pak RT di sini ga ada Pak RT."
"Ketua Lapak maksudnya?" seorang pemuda menghampiri kami.
"Iya Mas. Kami mau ngobrol sebentar."
"Rumahnya yang ini." dia menunjuk salah satu pintu di antara deretan petak-petak rumah itu. "Tapi anaknya lagi sakit. Kalau saya wakilin saja boleh?"
Lalu kami berempat berbincang di depan rumah Ketua Lapak. Aku dan Deri duduk di atas bekas jok mobil yang terpajang di depan rumah itu. Pemuda tadi duduk di atas sebuah kotak kayu. Di sampingnya berdiri perempuan paruh baya tadi. Tidak berapa lama keluar seorang perempuan. Dia adalah isteri Ketua Lapak. Namanya Bu Eri sedangkan perempuan paruh baya tadi namanya Bu Maryanti. Akhirnya aku dan Deri berbincang-bincang dengan ibu-ibu ini. Pemuda yang tidak sempat berkenalan tadi sudah meninggalkan kami karena masih ada pekerjaan lain.
Lalu aku menjelaskan maksud kedatanganku kepada mereka.
"Ibu sudah berapa lama tinggal di sini?"
"Wah udah lama banget. Anak pertama saya aja udah gede. Ada seumuran Adek kayaknya."
"Ibu tadinya berasal dari mana?"
"Saya dari Indramayu. Penghuni lapak sini kebanyak orang Indramayu. Lapak sebelah juga orang Indramayu. Kami yang jadi pelopor lapak-lapak di sini.
"Oh, lapak sebelah sudah beda lagi ya Bu? Ketuanya juga beda dong?"
"Iya. Lapak ini sama lapak sebelah diitungnya dua. Di sepanjang pinggiran perumahan ini masih banyak lagi lapak yang lain. Ada 12 lapak kalau sama lapak ini."
Lapak Sarmili terletak di pinggir sebuah perumahan yang cukup elit. Hanya pagar beton yang memisahkan kedua wilayah itu. Seperti halnya garis imajiner yang memisahkan mereka menjadi si kaya dan si miskin.
"Wah, saya kira cuma ada lapak ini aja. Ternyata masih banyak lapak lain ya? Di sini ada berapa kepala keluarga, Bu?"
"Iya ga cuma di sini lapak-lapaknya. Tapi memang Lapak Sarmili ini yang menjadi cikal bakal lapak-lapak itu. Di sini ada sekitar 25 kepala keluarga. Satu keluarganya ada yang dua, tiga, dan empat orang. Ada yang juga yang sampai lima orang." Bu Eri dan Bu Maryanti bergantian menjawab pertanyaan-pertanyaan kami.
"Wah, bisa 1000 orang lebih yang tinggal di semua lapak-lapak ini. Dulu kenapa Ibu pindah ke Jakarta?"
"Awalnya diajak tetangga. Katanya di Jakarta gampang buat nyari duit. Eh, kenyataannya kayak gini."
"Kalau Lapak Sarmili sejak kapan digusur dan pindah ke sini?"
"Ada kali sekitar delapan bulanan ya, Ri?" tukas Bu Maryanti sambil menghitung jarinya dengan ragu.
"Iya. Dulunya tanah yang kami tinggali milik PT Yuapi. Tapi kemudian di jual ke perumahan. Beberapa bulan sebelum kami digusur kami udah dikasih tahu untuk pindah. Untung masih ada lahan ini. Lahan ini juga masih milik PT Yuapi. Kalau lahan ini mau dipakai atau dijual ya kami harus siap pindah lagi." timpal Bu Eri.
"Ini kan udah mau Idul Adha, biasanya di sini dapat jatah daging kurban dari mana saja?"
"Sekarang cuma dari Masjid Sarmili aja. Itu juga ga kebagian semua. Maklum, kami kan cuma pendatang. Kadang yang ngebagiin lebih ngedahuluin keluarga mereka. Ngebagiinnya juga ga pakai kupon.
"Kalau dari masjid kampus suka dapet?"
"Dulu sih dapet. Tapi udah beberapa tahun ga lagi. Apalagi dari masjid perumahan. Kami cuma dapet ya dari Masjid Sarmili aja."
"Kalau secara administratif, wilayah ini masuk kelurahan mana?"
"Kalau lapak ini masuknya Jurangmangu Barat. Kalau lapak sebelah Jurangmangu Timur. Tapi campur-campur juga sih. Maklum aja, istilahnya kami kan cuma nebeng."
"Oh begitu ya? Kami permisi dulu Bu. Maaf sudah mengganggu."
Lalu kami berpamitan dengan terlebih dulu meminta izin untuk mengambil beberapa gambar dan meminta nomor kontak Ketua Lapak.
Inilah rumah di mana mereka tinggal. Tempat bercengkerama dengan keluahga tercinta. Tempat berlindung dari dinginnya malam dan teriknya siang. Sebuah rumah yang sangat sulit untuk dikatakan layak. Tapi apa daya, hanya ini yang bisa mereka peroleh dengan segala keterbatasan ekonomi. Mereka datang ke Jakarta dengan harapan hidup yang lebih baik. Nyatanya mereka hanya terdampar di selatan Jakarta dengan hidup yang tidak sebaik impian mereka dulu.
Di Hari Raya idul Adha pun, ketika seharusnya semua orang bisa menikmati lezatnya daging kurban, tidak semua dari mereka bisa menikmatinya. Mereka hanyalah perantau. Bahkan untuk mendapatkan daging kurban pun mereka hanya dianggap prioritas ke dua bahkan terakhir. Padahal sangat banyak orang-orang yang tinggal di lapak-lapak itu. Lapak Sarmili hanyalah sebuah sampel kecil. Ada sekitar 1000 orang yang tinggal di 12 lapak yang kondisinya identik dengan Lapak Sarmili. Tidak perlu pergi ke perbatasan negeri untuk melihat orang-orang yang hidup dengan keadaan yang belum bisa disebut sejahtera. Di selatan Jakarta pun masih banyak orang-orang yang bernasib tidak seberuntung kita.
Di Hari Raya idul Adha pun, ketika seharusnya semua orang bisa menikmati lezatnya daging kurban, tidak semua dari mereka bisa menikmatinya. Mereka hanyalah perantau. Bahkan untuk mendapatkan daging kurban pun mereka hanya dianggap prioritas ke dua bahkan terakhir. Padahal sangat banyak orang-orang yang tinggal di lapak-lapak itu. Lapak Sarmili hanyalah sebuah sampel kecil. Ada sekitar 1000 orang yang tinggal di 12 lapak yang kondisinya identik dengan Lapak Sarmili. Tidak perlu pergi ke perbatasan negeri untuk melihat orang-orang yang hidup dengan keadaan yang belum bisa disebut sejahtera. Di selatan Jakarta pun masih banyak orang-orang yang bernasib tidak seberuntung kita.
kasian bnget. smoga jokowi mau mendengar yg spti ini. komen back yaw
BalasHapusIni bukan di Jakarta, tapi selatan Jakarta.
Hapuspekerjaan berat sang Gubernur baru nih..
BalasHapusTidak dibaca ya? Ini bukan di Jakarta. :)
Hapusbuat ibu-ibu yang jualan di lapak kalian harus tabah ya....
BalasHapusaku juga ikut sedih nih :( huwaaaa.... huuuwwwaa......