zORB44u1Y5Szogk9hvRg5anbZDydcDDjseaSpgOw

Tears Don't Fall


"Mas, uang belanja sudah habis."

"Sabar ya, De. Minggu depan Mas baru gajian."

"Pak Harun juga menagih uang yang waktu itu kita pinjam untuk biaya Fio masuk sekolah. Anaknya masuk rumah sakit. Pak Harun butuh sekali uang itu. Aku jual cincin ini saja ya, Mas?"

"Jangan, De. Cincin tanda pernikahan kita."

"Lalau dari mana kita mendapatkan uang untuk membayar hutang ke Pak Harun?"

"Nanti Mas usahakan cari pinjaman."

***

Tujuh bulan lalu Gani memutuskan untuk berhenti menjadi petani. Melepaskan tahta yang diwariskan nenek moyangnya turun-temurun. Menggantungkan cangkul. Berpisah dengan boneka sawah yang selalu setia menemaninya di bawah terik. Perubahan musim yang semakin tak menentu. Kemarau berkepanjangan. Semakin membulatkan tekadnya untuk merantau ke Jakarta. Berharap bisa mengubah alur cerita dalam episode kehidupannya. Mebuat kerajaan baru yang akan diwariskan turun-temurun kepada garis keturunannya.

Ribuan kali surat lamaran dia tulis. Hanya satu yang membalasnya. Sebuah perusahaan pembiayaan yang melayani kredit mobil baru dan mobil bekas. Ijazah SMK yang dipegangnya hanya mampu memberinya sebuah tahta sebagai seorang pegawai outsourcing. Jauh panggang dari api.

"Mas, terimalah. Jangan lihat isinya. Anggap saja ini ucapan terima kasih dari saya." Pak Bobi menyodorkan sebuah amplop. Sebuah ucapan terima kasih karena permohonan kredit mobilnya dikabulkan.

"Terima kasih, Pak. Tapi maaf saya tidak dapat menerimanya. Sudah tugas saya memeroses setiap permohonan kredit. Termasuk permohonan Bapak. Sekali lagi terimakasih."

Gani tak menerima amplop itu. Kode etik di perusahaan tempat dia bekerja melarangnya untuk menerima gratifikasi. Memang penghasilan sebagai pegawai outsourcing tak sebesar penghasilan pegawai tetap. Setiap hari memegang uang bernilai puluhan bahkan ratusan juta bukanlah hal yang mudah. Cukup kuat untuk mengoyahkan integritasnya. Sementara kadang untuk menyambung hidup saja dia harus meminjam ke koperasi pegawai di kantornya. Tapi baginya, harga diri tak terkira nilainya. Tak ada mata udang yang dapat membelinya. Dia selalu yakin rejeki setiap orang sudah ada Yang Maha Mengaturnya. Bahkan cicak saja tak kehabisan rejeki. Padahal makanannya adalah nyamuk. Punya sayap dan tentu saja bisa terbang. Tak seperti cicak yang hanya merayap di dinding.

***

"Kalau sudah dapat segera kabarin ya, Mas. Aku sudah tak enak hati sama Pak Harun. Dari kemarin lusa dia menagih uang itu."

"Iya, De. Jangan lupa doakan supaya Mas segera diangkat menjadi pegawai tetap."

"Tak diminta pun selalu kudoakan, Mas. Ini Fio mau bicara."

"Halo Pah! Papah kok ga pulang-pulang? Ga kangen ya sama aku? Pah, sepatu aku bawahnya udah bolong. Kalau Papah pulang bawain aku sepatu baru ya?"

Seketika butiran-butiran itu tak tertahan lagi. Jatuh bagai hujan yang turun di awal musim. Deras. Deras sekali. Lalu mengalir memenuhi pipinya.

"Halo! Halo Pah. Mah, ga ada suaranya."

"Mungkin pulsanya habis, sayang. Besok saja kita telpon papah lagi."

Butiran-butiran yang coba ditahannya mebanjiri lubang hidungnya. Membuat suaranya sendu. Sengaja dia tak menjawab telepon Fio. Tak mau membuatnya kelihatan cengeng di depan putra mahkotanya. Juga tak mau menambah beban yang harus dipikul permaisurinya.

____________________
Sumber gambar: Blogspot.
Baca Juga
Abah
Generasi Micinial

Artikel Terkait

2 komentar