zORB44u1Y5Szogk9hvRg5anbZDydcDDjseaSpgOw

Dalam Industri yang Kuat Terdapat Persaingan yang Sehat


"Ting!"

Pintu lift terbuka. Tampak sebuah lift yang sarat akan penumpang. Beruntung masih ada sedikit lahan untuk menampung badanku yang tipis ini. Aku masuk ke dalam lift tanpa memandangi satu per satu muka yang sudah menyesaki lift. Namun sepertinya suara orang-orang di dalam lift ini tidak asing di telingaku.

"Loh kok orang lantai 15 semua?"

"Iya dong. Rahmat sok jaim nih, tahunya orang lantai 15 semua."

"Hahaha." puas mereka semua menertawakanku.

Itulah sekelumit perilaku aneh yang hanya dilakukan orang-orang yang tinggal di lantai 2. Lantai 2 dari atas maksudku. Seringkali kami membajak lift yang naik ke lantai 16. Apalagi saat jam pulang kantor.

Anggap saja sebagai intermezzo. Tidak perlu dikomentari lucu atau tidak. Semua pembaca sudah tahu kalau itu sangat garing. Segaring kacang yang sedang kulahap. Kebetulan hari ini aku ikut focus group discussion (FGD) yang dihadiri beberapa Manajer Investasi (MI). Tetapi bukan cerita tentang investasi yang akan aku bagi hari ini. Ada topik lain dalam FGD yang membuatku tertarik untuk menuliskannya. Suatu prinsip yang layak untuk diadopsi dalam kehidupan sehari-hari.

Persaingan yang Sehat. Itulah yang menarik perhatianku. Persaingan yang sehat yang membuat suatu industri menjadi kuat. Pada kesempatan kali ini hanya dua industri yang akan aku tulis terkait dengan persaingan yang sehat. Cukup dua saja agar tulisan ini tidak terlalu panjang.

Pertama adalah industri perbankan. Dalam industri perbankan dikenal sebuah organisasi profesi yang disebut Ikatan Bankir Indonesia (IBI). Di mana Pak Agus Martowardojo, Menteri Keuangan, termasuk salah seorang anggota badan pengawasnya. IBI sendiri merupakan hasil merger antara Bankers Club Indonesia (BCI) dan Institut Bankir Indonesia (IBI). Tolong, jangan samakan dengan Indonesia Lawyers Club. Memang fungsi IBI adalah sebagai wadah dari profesi bankir. Fusngsi yang sama seperti organisasi profesi lainnya, yakni meningkatkan profesionalisme, kompetensi, dan lain sebagainya. Akan tetapi, apabila kita tarik benang merahnya, tujuan dari IBI adalah untuk menciptakan suatu kepercayaan (trust) agar masyarakat mau terjun ke industri perbankan.

Seperti ini contoh sederhananya. Misalkan ada dua orang laki-laki yang sedang bersaing untuk mendapatkan hati seorang perempuan. Akan tetapi, si perempuan sudah tidak percaya lagi terhadap laki-laki. Perempuan itu menganggap semua laki-laki bajingan. Dalam suatu level tertentu kedua orang laki-laki tadi harus bekerja sama untuk meyakinkan si perempuan bahwa tidak semua laki-laki bajingan. Tujuannya apa? Tujuannya agar si perempuan mau kembali menjalin hubungan dengan laki-laki. Lalu mereka naik ke level berikutnya, ketika si perempuan sudah percaya bahwa tidak semua laki-laki bajingan, saat itulah kedua laki-laki itu bersaing secara sehat untuk mendapatkan hati perempuan tadi.

Demikian pula bankir-bankir yang tergabung dalam IBI. Pada suatu level mereka bekerja sama untuk menciptakan suatu kepercayaan agar masyarakat mau terjun ke industri mereka. Setelah level itu tercapai, pada level berikutnya mereka bersaing agar masyarakat mau menjadi nasabah di bank mereka. Sebuah persaingan yang sehat. Coba bayangkan apabila bankir-bankir itu bersaing dengan tidak sehat. Jotos-jotosan dari awal atau saling menjelek-jelekan. Jangankan masyarakat mau menjadi nasabah di bank mereka, melirik industri perbankan saja mungkin sudah jengah.

Kedua adalah industri asuransi. Kita ambil satu contoh. Misalkan ada tender polis untuk asuran si kapal tangker dari sebuah perusahaan migas. Perusahaan-perusahaan asuransi akan bersaing mati-matian untuk mendapatkan tender tersebut. Bukan tidak mungkin black campaign pun dilakukan untuk menjelek-jelekan lawannya. Tetapi apa yang terjadi ketika pemenang tender sudah diumumkan? Mereka rukun kembali. Bisa dikatakan bahwa antarperusahaan asuransi tidak akan bermusuhan lebih dari dua hari. Perusahaan asuransi yang mendapatkan tender tadi kemudian mereasurasikan lagi polis tersebut kepada perusahaan asuransi lainnya yang tidak berhasil mendapatkan tender.

Kita ketahui bersama bahwa filosofi dari asuransi adalah pengalihan risiko (risk transfer). Apabila perusaah asuransi pemenang tender hanya sendirian mengelola risiko dari kapal tangker tadi, terlalu besar risiko yang diambilnya. Dengan mereasuransikannya, berarti perusahaan asuransi tadi membagi risiko yang harus ditanggungnya kepada perusahaan asuransi lain. Jadi perusahaan asuransi yang mendapat tender tadi sifatnya hanya sebagai leader. Sementara dalam menjalankan bisnisnya tentu saja satu sama lain saling membutuhkan untuk memanajemen risiko yang ada.

Alangkah baiknya apabila dalam kehidupan sehari-hari kita menerapkan prinsip persaingan sehat seperti ini. Kita semua bekerja sama untuk membangun negeri ini. Lalu, setelah negeri ini bangkit, kita bersaing secara sehat untuk meraih mimpi kita masing-masing. Namun tentu saja ini hanyalah sebuah pemikiran yang teramat ideal. Karena dalam kehidupan nyata semuanya tidak akan sedemikian ideal seperti apa yang kita impikan. Akan selalu ada faktor A, B, C, sampai Z. Bahkan bisa jadi sampai faktor AA, AB, AC, dan seterusnya. Sekian. Selama berakhir pekan.

____________________
Sumber gambar: deviantART
Baca Juga
Abah
Generasi Micinial

Artikel Terkait

5 komentar

  1. hmmm bener bget biar tidak ada yg dirugikan heheh komen back yaw

    BalasHapus
  2. hmm... andai sikap itu bisa diterapkan di segala bidang, terutama pelaksanaan Hukum di Indonesia.

    kepercayaan rakyat sama aparatur pelaksana hukum sudah kian memudar, asli bila semua yang berkepentingan mau bekerjasama membangun kembali hal itu. Banyak hal kemajuan akan terlaksana deh.

    contoh aja, KPK ma Polri rebutan kasus simulator sim. :(

    BalasHapus
    Balasan
    1. betul, idealnya demikian. tapi tentu saja kenyataannya tidak selalu semulus apa yang kita harapkan. tetap OPTIMIS! :)

      Hapus