Militansi kembali menjadi topik yang memanas, sepanas percikan bom yang diledakkan teroris-teroris itu. Meski begitu, militansi tidak selalu berkaitkan dengan hal-hal berbau negatif. Karena bisa jadi militansi merupakan sifat yang sangat berpengaruh terhadap pencapaian suatu tujuan. Terutama tujuan organisasi. Menurut Wikipedia, kata militansi merujuk kepada orang atau kelompok orang-orang yang ikut serta dalam suatu pertempuran fisik/verbal yang agresif, biasanya dikarenakan suatu penyebab. Secara khusus, seorang yang militan turut serta dalam tindak kekerasan sebagai bagian dari alasan memperjuangkan suatu tujuan politis.
Memang militansi akan identik dengan militer. Tetapi sejatinya militansi tidak mutlak hanya dimiliki oleh militer. Karena menjadi militer pun adalah pilihan. Bukankah kita dilahirkan sebagai manusia sipil, bukan militer? Dulu, saya pernah hidup sebagai manusia setengah militer. Di mana makan pun tidak boleh lebih dari lima menit dengan berbagai aturan lain yang melekat. Kini, mau makan berjam-jam sambil tidur-tiduran pun tidak ada aturan yang melarang saya. Betul, jika kita memilih untuk menjadi militer, kita tetap memiliki kesempatan untuk kembali menjadi sipil. Bukankan para tentara pun suatu saat akan pensiun dan kembali menjadi sipil.
Apabila merujuk kepada definisi militansi yang dikemukakan oleh Wikipedia, kita akan terjebak ke dalam indikator yang sangat-sangat klise. Apalagi ketika militansi dikaitkan dengan beribadah atau berketuhanan. Bagaimana seorang hamba menjadi militan? Ikut melakukan tindakan kekerasan yang dianggap sebagai bagian dari ritual ibadah? Haruskah kita membenarkannya?
Militansi identik dengan militer. Militer identik dengan pakaian yang sama dan seragam serta sangat tunduk kepada atasan. Jangan-jangan ormas yang berseragam itu dapat dikategorikan sebagai militansi juga. Bahkan ketika mereka sangat tunduk kepada pimpinannya tanpa mempertimbangkan baik atau buruknya, itulah yang disebut taklid. Taklid atau taqlid (Arab: تقليد) adalah mengikuti pendapat orang lain tanpa mengetahui sumber atau alasannya. Saya tidak sedang berbicara tentang suatu agama tertentu. Karena tentu saja di setiap agama pun selalu ada hamba yang menjadi militansi. Di Islam ada, di Kristen ada, di Yahudi juga ada. Pun di agama-agama lainnya. Tidak akan berujung ketika kita berbicara militansi dalam konteks ibadah. Karena dalam kitab suci tidak ditemukan firman-firman tentang militansi.
Ketika pikiran seseorang sudah diselimuti taklid, salah pun akan dianggap benar. Apalagi benar, mungkin akan dianggap super benar sehingga akan mendewakan orang yang menjadi panutannya. Menjadikan orang itu sebagai orang suci yang tidak pernah melakukan salah. Padahal hanya Yang Maha Sempurna yang tidak pernah melakukan salah. Bahkan, lebih parah lagi, mungkin akan medewakan dirinya sendiri ketika seseorang diselimuti taklid kepada dirinya. Padahal kesalahan bukanlah merupakan aib. Mengakuinya pun bukanlah suatu kehinaan. Jangan seperti senior yang sedang mengospek juniornya, selalu berlindung di balik pasal-pasal senioritas. Karena jelas, tidak ada manusia yang luput dari salah. Pernahkah mendengar bahwa orang yang berani mengakui dan memperbaiki kesalahannya bahkan disebut ksatria?
Saya pun kadang lebih senang hidup dengan membenarkan apa yang sebenarnya salah. Saya akui memang sulit untuk keluar dari kondisi tersebut. Karena manusia dititipi sifat egois. Sifat yang sering digunakan untuk mengakui dirinya paling benar jika dibandingkan dengan orang lain. Dalam bahasa lainnya, mungkin taklid bisa diidentikkan dengan partisan. Partisan adalah pemikiran kebanyakan orang di mana kalau dia memiliki keyakinan terhadap A, maka yang lain adalah salah di matanya. Partisan berkeyakinan A dan tidak mau tahu apa-apa tentang B atau C karena dianggap sudah pasti salah.
Militansi dan taklid, keduanya merupakan masalah hati dan akan sangat berbahaya jika keduanya disatukan dalam satu hati. Jadi teringat apa yang saya dengar kemarin di speaker masjid kantor. Meski hanya mendengar sekilas, masih jelas bergema telinga saya bahwa katanya ibadah adalah masalah hati. Memang kita melakukan ritual, tapi toh pada akhirnya akan berujung ke masalah hati. Ikhlas atau tidak, hanya Tuhan yang tahu. Bahkan kita pun tidak dapat menilai apakah ibadah yang kita lakukan sudah dengan ikhlas atau belum.
Jika memang masalah hati, artinya kita harus melakukan perbuatan-perbuatan yang menyenangkan hati-Nya. Itulah perbuatan-perbuatan yang disebut taqwa. Jika kita adalah hamba yang militan, apakah benar militansi tersebut merupakan perbuatan yang disukai-Nya? Jangan-jangan militansi tersebut hanyalah perbuatan yang kita sukai dan kita taklid kepada diri sendiri. Membenarkan bahwa perbuatan itu adalah perwujudan dari taqwa kepada-Nya padahal bukan.
Ibarat orang pacaran, kadang merasa telah melakukan sesuatu yang akan menyenangkan pasangannya. Namun, sangat disayangkan ketika ternyata perbuatan itu hanyalah perbuatan yang hanya disukainya dan tidak disukai pasangannya. Ketika dia tetap keukeuh bahwa itu adalah perbutan yang sangat disukai pasangannya, akhirnya apa? Putus! Begitu pun ketika militansi yang buruk dibumbui dengan taklid, terputuslah hubungannya dengan Tuhannya. Na'udzubillahi mindzalik.
____________________
Sumber gambar: inilahjabar.com
hmmm kirain militan tuh smacam bagian dri militer gan,komen back yaw
BalasHapusAsik tulisannya, nambah wawasan dan semoga mencerahkan yang hatinya keruh hehe..
BalasHapusSemoga mencerahkan hati penulisnya juga. :D
HapusBahasanya berat nih.. tapi nice posting!! ^^b
BalasHapus