"Maju jangan hanya untuk dirimu. Di belakangmu ada mereka yang tersingkirkan. Jangan lupa ceritakan kisahmu untuk yang di depan. Kehidupan kita inspirasi di masa datang." -Pandji Pragiwakksono, Ode untuk Ayah
Dalam talkshow di salah satu stasiun TV narasumbernya bilang, "Di dunia ini tidak ada orang miskin, yang ada adalah orang yang memiskinkan dirinya." Benarkah demikian? Atau jangan-jangan sistem perekonomian dunia saat ini memang mengharuskan adanya orang miskin?
Tidak usah repot-repot mendefinisikan kata "miskin". Apalagi sampai memakai definisi yang dipakai BPS untuk menghitung berapa orang miskin di Indonesia. Miskin adalah ketika masih belum tahu besok bisa makan atau tidak. Miskin adalah ketika tidak tahu nanti malam mau tidur di mana.
Selama ini, pajak diklaim sebagai alat pendistribusian kesejahteraan yang paling efektif. Saya tidak sepenuhnya setuju dengan pendapat tersebut. Saya sependapat jika sistem pemumutan pajak saat ini merupakan penghimpunan dana dari orang kaya yang paling efektif. Namun bagaimana dengan pemanfaatan dana yang terhimpun tersebut. Apalagi jika dana terhimpun tersebut hanya digunakan untuk menyubsidi BBM yang pada akhirnya tetap dinikmati orang-orang kaya. Apalagi jika para pengguna anggaran yang sebagian besar berasal dari uang pajak hanya sibuk mengejar penyerapan. Jangankan output. Apalagi outcome.
Kembali ke pertanyaan di awal tadi. Saya setuju jika ada yang menstigma bahwa ada orang yang memiskinkan dirinya. Itu berarti orang yang malas. Tapi tidak semua orang miskin pemalas. Pernah menonton acara TV yang mempelihatkan kehidupan orang-orang miskin? Apakah mereka pemalas? Saya berani menjawab tidak. Dengan terpaksa saya mengatakan bahwa sistem perekonomian dunia yang eksis saat ini memang mengharuskan adanya orang miskin.
Saya tidak sedang mengambinghitamkan sistem. Pernah baca tulisan saya yang berjudul "The Three Pillars of Satanic Finance"? Ketika manusia di muka bumi terlalu sibuk mencari keuntungan individual tanpa ada waktu untuk memikirkan nasib penghuni bumi lainnya. Itulah alasan kenapa saya bilang sistem perekonomian di dunia saat ini memang mengharuskan adanya orang miskin. Iya dunia, karena kemiskinan tidak hanya menjadi masalah di negara-negara miskin dan berkembang. Kemiskinan juga menjadi masalah di negara maju. Jika kita telusuri asal usul krisis subprime mortgage yang sempat melanda Amerika Serikat, di sana kita akan bertemu dengan faktor kemiskinan yang ikut berperan dalam terciptanya krisis. Bedanya, di negara maju seperti Amerika Serikat kemiskinan disembunyikan dengan menggaji orang-orang miskin. Namun harus digarisbawahi jika negara maju pun hanya mampu menyembunyikan, bukan menghilangkan kemiskinan.
Hambatan utama orang miskin yang rajin untuk keluar dari jeratan kemiskinan adalah sulitnya mencari modal usaha. Berapa penghasilan yang bisa dibawa pulang seorang pencari rebung liar? Apa usahanya kurang keras untuk mencari nafkah? Bandingkan dengan jika tenaga yang dikeluarkan si pencari rebung tadi digunakan untuk mengolah sawah miliknya sendiri. Sayangnya, akan sangat sulit bagi bank untuk menggelontokan dana bagi orang-orang seperti si pencari rebung tadi. Alasannya banyak. Intinya tidak profitable.
Mari kita tengok sistem yang dibangun oleh Muhammad Yunus, peraih Nobel Perdamaian, bersama Grameen Bank melalui aktivitas bisnis sosialnya yang mengimplementasikan sistem microfinance atau financial inclusion. Lebih teknisnya silakan googling. Terlalu panjang jika saya bahas di sini. Pada intinya, keuangan inklusif menjangkau orang-orang miskin yang selama ini tidak memiliki akses akan lembaga keuangan. Keuangan mikro memberikan bantuan pinjaman modal kepada orang-orang miskin dengan tanpa agunan dan memudahkan mereka untuk mengembalikan pinjaman tersebut.
Dalam bisnis sosial, seorang pengusaha tidak terfokus untuk mencari laba. Tapi memikirkan seberapa besar manfaat yang dihasilkan dari kegiatan bisnisnya untuk ikut menyejahterakan orang lain. Jika menggunakan konsep penganggaran berbasis kinerja yang sempat saya singgung di awal, pengusaha tidak akan terfokus pada output, tetapi outcome. Apalagi jika hanya terfokus pada penyerapan angaran.
Beruntung di indonesia sudah ada kementerian yang khusus mengurusi UKM, Kementerian Koperasi dan UKM. Bahkan sudah sejak bertahun-tahun lamanya di Indonesia ada yang namanya Kredit Usaha Rakyat (KUR). Saya juga pertama kali tahu tentang KUR dari tukang gorengan yang mendapat pinjaman modal dari sana.
Namun kita tahu, kemampuan pemerintah sangatlah terbatas. Pemerintah tidak mungkin akan berhasil jika hanya sendirian memerangi kemiskinan. Peran serta masyarakat dibutuhkan di sini. Terutama para pengusaha melalui aktivitas bisnis sosial. Kenapa CSR belum efektif? Karena CSR berada di luar lingkaran bisnis itu sendiri sehingga tidak berkesinambungan. Karena CSR identik dengan cara negara kaya menyembunyikan kemiskinan. Apalagi seringkali CSR hanya dijadikan alat untuk memperkecil angka pajak terutang yang harus dibayar perusahaan.
payah,kapitalisasi merusak smuanya,kcuali kembali ekonomi syariah heheh komenback y
BalasHapusBtw nama blognya ganti nih?
BalasHapusTidak ganti kok. Ini hanya header edisi khusus. :D
Hapuskak, follow blog saya ya :D wah banyak posting seputar pajak nih? saya juga ada postingan tentang pajak, siapa tahu bisa share. thanks
BalasHapuspengen gw gaplok tuh orang yang bilang "... yang ada orang yang memiskinkan dirinya..." ya dia enak, nongol di tipi aja dapet duit, belom pernah kali tiap hari mesti bangun pagi banget, peras keringat sampe malem, dapetnya cuma bisa buat nasi sebungkus! #emosi
BalasHapusSabar, Om. Ingat umur. :P
Hapusberarti semua pihak harus berpera aktif dlm memerangkan kemiskinan :)
BalasHapusfiat money perusak tatanan indah kehidupan sosial,klo penulis pernah baca satanic finance berarti paham mksud gue, sistem ekonomi yg paling bagus adalah FLOW CONCEPT, Indonesia saat ini memakai STOCK CONCEPT sebuah sistem yg hanya berpihak kpd si pemilik modal, analogi sederhana utk stock concept sperti comberan d jkt, taukan comberan d jkt? mampet,item,bau,bnyk sampah......
BalasHapus