zORB44u1Y5Szogk9hvRg5anbZDydcDDjseaSpgOw

Guru Oemar Bakri


Melihat perkembangan dunia pendidikan di Indonesia yang sepertinya begini-begini saja, tidak ada perubahan yang sangat signifikan, rasanya wajar jika tidak banyak yang tahu bahwa sebenarnya anggaran pendidikan di Indonesia itu sangat-sangat besar nominalnya. Dalam APBN 2013, anggaran pendidikan kita mencapai angka Rp336,8 T atau 20% dari total belanja negara.

Tentu saja angka 20% ikut berdampak terhadap ruang fiskal (fiscal space) yang ada. Negara tidak boleh kurang menghitung dan mengalokasikan berapa nominal rupiah dari angka 20% tersebut. Setiap ada penaikan atau penurunan anggaran belanja negara akan berdampak terhadap alokasi anggaran pendidikan. Sekalipun kenaikan tersebut untuk membayar subsidi. Bahkan ketika anggaran untuk membayar bunga utang pemerintah bertambah, alokasi anggaran pendidikan pun mau tidak mau harus ikut bertambah. Itu hanya sebagian contoh saja. Masih banyak kondisi lain yang secara langsung turut menaikkan anggaran pendidikan.

Tentu saja "pengkavlingan" anggaran seperti ini akan mempersempit ruang fiskal. Karena tidak hanya sektor pendidikan yang harus dibiayai oleh negara. Namun tentu saja angka 20% tersebut bukan hasil perhitungan anak TK. 20 Februari 2008, MK mengeluarkan sebuah putusan terkait pengujian angka 20% yang terdapat dalam UU Sisdiknas tersebut. Menurut MK, angka 20% tersebut sudah sesuai dengan amanat Pasal 31 ayat 4 UUD 1945.

Alokasi sebesar 20% tersebut di antaranya adalah untuk mendukung penuntasan wajib belajar sembilan tahun melalui pengalokasian dana BOS, meningkatkan profesionalitas dan kualitas guru atau dosen melalui peningkatan kualifikasi akademik, perbaikan gedung dan pembangunan sekolah atau kelas baru, meningkakan kesejahteraan guru dan dosen, beasiswa hingga pendidikan tinggi bagi keluarga kurang mampu, dan beasiswa hingga pendidikan doktoral bagi juara olimpiade sains internasional.

Terkait peningkatan profesionalitas dan kualitas guru atau dosen, saya mempunyai sebuah pengalaman buruk. Ketika itu, saya pergi ke warnet untuk memperbarui tulisan di blog ini. Ketika saya hendak membayar, tampak penjaga warnet sedang sibuk. Ternyata dia sedang sibuk mengerjakan skripsi. Padahal dia tidak pernah mengenyam bangku kuliah. Usut punya usut, ternyata dia sedang mengerjakan skripsi orang lain. Pemesan skripsi tersebut membutuhkan skripsi untuk mendapatkan titel sarjana agar dapat lolos sertifikasi guru yang otomatis akan melipatgandakan penghasilannya. Kasihan para sarjana yang benar-benar mengerjakan skripsi dengat otaknya sendiri. Semoga saja di daerah lain tidak terjadi hal demikian.

Jika dikaitkan dengan otonomi daerah, fungsi pendidikan termasuk dari fungsi pemerintah pusat yang dilimpahkan ke daerah. Sesuai dengan prinsip money follow function, anggarannya pun turut dilimpahkan ke daerah. Masalahnya, seperti yang pernah saya utarakan dalam "Dilema Otonomi Daerah", tidak semua daerah memiliki kemampuan untuk mengelola dana sebesar itu. Apalagi, seringkali kepala daerah seenaknya mengangkat PNS, yang sebagian besar adalah guru, untuk menaikan elektabilitasnya atau untuk memenuhi janji kampanyenya sehingga anggaran pendidikan tersebut justru habis untuk membiayai belanja pegawai. Tidak dapat dipungkiri jika kenyataannya tidak sedikit pemerintah daerah yang lebih banyak menghabiskan APBD-nya untuk membiayai belanja pegawai. Apalagi jika UU Desa yang menginginkan semua perangkat desa diangkat sebagai PNS dikabulkan DPR.

Intinya, alokasi anggaran pendidikan yang begitu besarnya harus dikelola secara bijaksana, transparan, dan akuntabel. Kita harus melek terhadap semua ini.

Saya menulis seperti ini semata-mata karena tidak ingin generasi di bawah saya ikut merasakan apa yang pernah saya alami. Bersekolah di sekolah yang ruang kelasnya hampir rubuh. Padahal jumlah ruang kelas yang ada pun sudah lebih sedikit dari jumlah kelasnya. Hanya mempunyai sebuah lemari yang berisi buku-buku yang disebut perpustakaan. Tapi itu bukan alasan untuk menciutkan semangat belajar. Sayangnya, biaya pendidikan yang tidak murah memaksa banyak teman saya yang jauh lebih rajin dan lebih pintar dari saya yang tidak berkesempatan untuk melajutkan sekolahnya. Bersyukurlah yang pernah berkesempatan untuk menimba ilmu di sekolah dengan fasilitas yang lengkap.

Bang Iwan, masih adakah guru Oemar Bakri? Kami merindukannya. Bukan sepeda onthelnya. Tapi kesederhanaan dan keteladanannya.
Baca Juga
Abah
Generasi Micinial

Artikel Terkait

5 komentar

  1. boro-boro kang, yg ada mah sekarang dunia pendidikan malah jadi salah satu ladang buat ngeruk uang. Bener apa kata Cepot juga.

    BalasHapus
  2. guru juga manusia, ditengah arus budaya global, dan semakin terkikisnya nilai-nilai agama di masyarakat, membuat banyak orang termasuk guru hanya mengejar harta saja.

    ditunggu kunjungan baliknya di blog.satugerai.com

    BalasHapus
  3. Kebijakan ini sbenarnya udah langkah yg tepat. Mengingat IPM negara kita jauh dari harapan dibandingkan negri lain. Skrng tergantung pengawasannya. Saya ykin, ini pasti sukses. Ingat, kemajuan sebuah bngsa tergantung pendidikan dari generasinya,. Untuk skripsi tadi, itu hnya segelintir orng saja. Maklum lah namanya jga demokrasi, pasti banyak yg kontrovesial.
    Dan yg pasti, jika ada kesalahan, belajar dri pengalaman.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Siap! Maksud saya adalah bahwa peraturan yang ada masih sangat longgar sehingga pengawasannya belum maksimal. Contohnya yang skripsi tadi itu.

      Hapus