zORB44u1Y5Szogk9hvRg5anbZDydcDDjseaSpgOw

Sejarah Tidak untuk Dihapal


Sejak SD, pelajaran yang paling tidak saya sukai adalah pelajaran sejarah. Bagi orang yang sangat tidak menyukai hapalan seperti saya, pelajaran sejarah ibarat beban berat yang harus dipikul. Padahal sebenarnya kita tidak perlu memikul beban itu.

Misalnya, kita diharuskan menghapal tanggal lahir para pahlawan dan tanggal-tanggal peperangan yang sering kali masuk ke dalam soal ujian. Tapi kita lihat sekarang, hapalan-hapalan itu tidak ada gunanya. Kecuali jika kita mengikuti kuis yang kebetulan menanyakan itu. Tidak dihapal pun, jika tanggal-tanggal tersebut harus kita tahu, dengan bantuan mesin pencari kita bisa dengan cepat menemukan jawabannya. Itulah kenapa di awal tadi saya bilang bahwa pelajaran sejarah yang diajarkan di sekolah-sekolah hanya menjadi beban yang sebenenarnya tidak perlu. Toh kemudian banyak dari hapalan itu yang sudah terlupakan.

Menghapal tanggal suatu peristiwa tanpa mengetahui sebab akibat terjadinya peristiwa itu hanya akan membuat kita bingung. Misalnya dalam mempelajari sejarah Indonesia, jika kita hanya hapal tanggalnya tanpa paham bagaimana suatu peristiwa di masa lalu terjadi, kita akan bingung mau melangkah ke mana. Kita menjadi tidak tahu datang dari mana sehingga tidak tahu mau ke mana. Padahal hidup harusnya dijalani ke depan dipahaminya ke belakang. Jangan-jangan kita sedang mengalami krisis identitas. Karena itu, kita tidak tahu mau dibawa ke mana negeri ini. Dan bukan tidak mungkin jika semua itu berawal dari pelajaran sejarah yang tidak lebih dari sekadar menghapal tangggal-tanggal dan tempat-tempat bersejarah.

Sejak membaca catatan Soe Hok Gie, termasuk sedikit mengintip skripsinya, saya mulai tertarik untuk mempelajari sejarah. Ternyata sejarah yang sudah diketahui secara umum saja banyak yang tidak faktual. Tentang peristiwa 30 September 1965 misalnya, di dalamnya masih banyak misteri yang belum terungkap. Yang kita tahu peristiwa itu adalah pemberontakan TKI. Karena itulah yang diajarkan di sekolah. Apalagi pada masa orde baru kita selalu disuguhi filmnya. Bukan film dokumenter, tapi fiksi yang direka seolah dokumenter.

Bung Karno termasuk pemimpin yang lebih mengedepankan fisi sejarah daripada faktualnya. Kita ambil satu contoh. Sejak SD kita dicekoki pemahaman bahwa kita dijajah Belanda selama 350 tahun. Tapi apa iya? Sebenarnya, Indonesia tidak dijajah selama itu. Hanya beberapa wilayah saja yang merasakan penjajahan selama itu, wilayah di mana Belanda pertama kali menginjakkan kakinya di bumi pertiwi. Apalagi saat itu nusantara belum bersatu. Tujuan Bung Karno membuat sejarah bahwa Indonesia dijajah selama 350 tahun adalah untuk membangkitkan semangat untuk merebut kemerdekaan. Kasarnya Bung Karno ingin berkata seperti ini, “Kita udah dijajah 350 tahun loh, mau berapa lama lagi?”

Banjir yang terjadi di Jakarta pun bisa ditelusuri sejarahnya. Kanal Banjir Barat dan Timur sudah direncanakan sejak jaman VOC.  Kemudian proyek itu baru terlaksana di tahun 1970-an dan 2010-an. Maka wajar saja jika kanal tersebut tidak efektif untuk menanggulangi banjir yang terjadi saat ini. Proyek yang direncanakan untuk Jakarta dengan penduduk yang masih sedikit baru terealisasi ketika penduduk Jakarta sudah berjuta-juta. Kemudian kita tahu banyak sekali daerah di Jakarta yang diberi nama dengan nama-nama yang ada hubungannya dengan air dan pohon: Rawa Selatan, Rawa Belong, Gambir, Rawamangun, dan masih banyak lagi. Maka idealnya Jakarta adalah sebuah kota air yang dihiasi rimbun pepohonan. Karena sejarahnya Jakarta adalah kota yang dibangun di atas rawa yang diurug.

Satu lagi contoh jika belajar sejarah itu seharusnya menarik. Siapa yang tidak pernah mendengar sosok Nyi Roror Kidul. Tapi berapa orang yang mengetahui sejarahnya. Yang kita tahu, Nyi Roro kidul adalah sosok mistik penguasa laut selatan. Pada mulanya, sosok Nyi Roro Kidul diciptakan sastrawan Jawa atas perintah sultan ketika darat dan laut telah dikuasai penjajah. Dengan adanya sosok Nyi Roro Kidul, sultan ingin menumbuhkan suatu keyakinan bahwa meskipun semua wilayah telah jatuh ke tangan penjajah, ratunya tetap orang Jawa.

Sejarah bukan primbon, tidak untuk dihapal. Belajar sejarah berarti melawan kemapanan. Melawan kemapanan penguasa yang terkadang semaunya sendiri mengarang kisah sejarah. Jangankan yang sudah terjadi beratus tahun lamanya, yang terjadi tahun kemarin saja ada yang tidak diketahui publik. Karena jika kita hanya mengandalkan apa yang diucapkan oleh penguasa, kita hanya akan tahu sejarah hasil karangannya atau sejarah yang ditutup-tutupi, bukan kisah yang sebenarnya terjadi.
Baca Juga
Abah
Generasi Micinial

Artikel Terkait

1 komentar

  1. hmmm tp masa biar mengalami hrus putar wktu kembali k masa lalu??? komen back y

    BalasHapus