zORB44u1Y5Szogk9hvRg5anbZDydcDDjseaSpgOw

Benci Tapi Rindu Investor Asing


Dalam seminar tentang potensi perkembangan ekonomi syariah di Indonesia yang diadakan oleh Sharia Accounting and Finance Forum (SAFF), Sekolah Tinggi Akuntansi Negara, Rifki Ismail dari Direktorat Perbankan Syariah, Bank Indonesia, mengatakan bahwa menurut pandangan ekonomi syariah, seharusnya seluruh kekayaan alam yang ada di Indonesia dikuasai oleh negara dan tidak diserahkan kepada investor asing. Kemudian saya bertanya, lantas bagaimana seharusnya pengelolaan sumber daya alam menurut kacamata ekonomi syariah? Akhirnya ada semacam pemakluman terhadap realitas yang ada.

Bung Karno pernah berkata, ”Biarkan kekayaan alam di perut bumi ini dibiarkan sampai generasi generasi bangsa saja yang bisa mengeluarkannya.” Sebuah pernyataan yang sangat idealis. Memang sering kali idealisme bertolak belakang dengan realita yang ada. Jika mengacu kepada amanat konstitusi, sangat jelas bahwa bahwa kemakmuran rakyat adalah hasil dari segalanya.

Dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 disebutkan bahwa “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.” Pasal tersebut seperti turun dari surga. Terlalu indah dan sempurna sampai mungkin melupakan realitas yang ada. Kembali ke pernyataan Rifki Ismail tadi, jika tidak ada investor, khususnya investor asing, dari mana pemerintah akan mendapatkan modal untuk mengelola seluruh pertambangan yang terbentang dari Sabang sampai Merauke.

Faktanya, mengelola pertambangan tidaklah mudah dan sangat berisiko. Kontraktor pertambangan yang membantu mencari ladang migas baru harus menghabiskan biaya sekitar US$1,6 miliar dan pada akhirnya harus menuai kegagalan karena sumurnya kering. Dalam berinvestasi ada falsafah high risk high return. Falsafah ini tidak mengecualikan pemerintah jika pemerintah ingin berinvestasi di sektor pertambangan tanpa mengandalkan investor asing. Hingga kemudian akan muncul sebuah pertanyaan, apakah negara berani mempertaruhkan anggaran yang sangat besar hanya untuk mencari sumber minyak yang belum tentu dapat menghasilkan?

Harus kita sadari bahwa untuk mengeksplorasi bahan galian tambang yang terkandung di dalam perut bumi Indonesia membutuhkan modal yang sangat besar. Untuk melakukan lifting migas atau menggali batubara dan mineral lainnya membutuhkan modal yang sangat besar dengan risiko kegagalan tentu saja juga sangat besar. Dari mana pemerintah mendapatkan modal itu jika bukan dari investor, khususnya investor asing? Apalagi jika melihat pasar modal kita yang masih didominasi para pemain asing, jelas investor dalam negeri belum bisa diandalkan. Apalagi jika hanya mengandalkan modal pemerintah yang tentu saja sangat-sangat terbatas.

Bung Hatta pernah menyampaikan ide untuk memberi jalan tengah sekaligus meyakinkan masyarakat bahwa pengelolaan sumber daya alam secara kontraktual dengan melibatkan modal asing bukan berarti menggadaikan kemerdekaan. Yang paling penting adalah kendali dan penguasaan sumber daya alam harus tetap berada di tangan pemerintah. Modal asing harus dipandang sebagai penyokong pemerintah dalam mengelola sumber daya alam. Sistem perekonomian saat ini juga sangat tidak memungkinkan lagi untuk menghindari imbas globalisasi yang mengiringi masuknya modal asing. Modal asing itu kemudian merembes ke berbagai sektor, termasuk pertambangan. Semangat anti modal asing sudah pasti akan sia-sia jika tidak diikuti kemampuan dan ketersediaan modal swakelola yang memadai.

Kegagalan pemerintah dalam membeli saham divestasi PT Newmont Nusa Tenggara merupakan suatu pelajaran berharga bahwa untuk menasionalisasi pertambangan tidak semudah menasionalisasi perusahaan-perusahaan warisan penjajah dulu. Setiap investor pertambangan jelas hitam di atas putihnya. Kita juga tidak bisa terus-menerus mengutuki pendahulu kita yang seolah mengobral sumber daya alam Indonesia. Jika membaca literatur-literatur sejarah, tentu saja bukan literatur yang ada di sekolah-sekolah, kita bisa sedikit melihat benang merah kenapa pendahulu kita mengobral sumber daya alam yang kita miliki. Silakan baca literatur yang menjelaskan kenapa PKI dikambinghitamkan dalam kudeta yang disebut SUPERSEMAR.

Ah, kebiasaan ngelantur saya kembali kambuh. Saya juga benci jika kita sangat tergantung kepada modal asing karena seringkali mereka mendapatkan keuntungan yang lebih besar dibandingkan keuntungan yang diperoleh negara. Akan tetapi, ada kenyataan pahit yang harus kita telan, bahwa kita masih sangat merindukan kehadiran investor asing untuk menjadi penyokong pemerintah dalam mengelola sumber daya alam, khususnya sumber daya alam bahan galian pertambangan.

____________________
Sumber gambar: VIVA.co.id
Baca Juga
Abah
Generasi Micinial

Artikel Terkait

Posting Komentar