zORB44u1Y5Szogk9hvRg5anbZDydcDDjseaSpgOw

Gono Gini Divestasi PT NNT


Menyambung tulisan sebelumnya, “Katalisator Pertumbuhan Ekonomi”, saya ingin belajar tentang pembelian saham divestasi oleh pemerintah. Lebih khusus lagi untuk mencari tahu kenapa pembelian saham divestasi PT Newmont Nusa Tenggara (PT NNT) oleh pemerintah pada tahun 2010 silam oleh DPR dianggap tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Kerjasama antara pemerintah dengan PT NNT dimulai pada tahun 1986 yang ditandai dengan ditandatanganinya Kontrak Karya (KK) antara pemerintah dengan PT NNT. Sesuai dengan KK tersebut, mulai tahun 2006 sampai dengan tahun 2010, PT NNT wajib mendivestasikan sahamnya sebesar 31%. Divestasi tersebut dilakukan secara bertahap.

Dalam prosesnya, PT NNT wanprestasi terhadap kesepakan divestasi yang tertuang dalam KK. Karena itu, pada tahun 2008 pemerintah menggugat PT NNT ke arbitrase internasional karena telah gagal melaksanakan divestasi saham untuk penawaran tahun 2006 dan 2007. Setahun kemudian arbitrasse internasional mengeluarkan putusan yang memenangkan gugatan pemerintah terhadap PT NNT. Atas dimenangkannya gugatan tersebut PT NNT diwajibkan untuk segera melaksanakan divestasi sesuai KK.

Pada April 2011, pemerintah menyatakan akan membeli 7% divestasi saham PT NNT untuk penawaran tahun 2010. Setelah dilakukan negosiasi, disepakati nilai  7% saham divestasi tersebut adalah sebesar USD271 juta. Pembeliannya akan dilakukan oleh Pusat Investasi Pemerintah (PIP). Bulan Mei 2011, PIP dan Nusa Tenggara Partnership BV melakukan penandatanganan kesepakatan perjanjian atas jual beli 7% saham divestasi tersebut.

DPR menilai pembelian saham divestasi PT NNT oleh pemerintah melalui PIP tersebut tidak sejalan dengan hasil Rapat Kerja (Raker) Komisi XI DPR dan pemerintah yang dilaksanakan pada tanggal 26 Februari 2009. Dalam raker tersebut, Komisi XI DPR meminta pemerintah, dalam hal ini PIP, agar lebih fokus dalam mengelola dana investasi pemerintah sesuai dengan tujuan awalnya yaitu untuk pembiayaan dalam rangka percepatan pembangunan infrastruktur. Selain itu, Komisi XI DPR meminta agar proyek-proyek PIP dilaksanakan dengan skala prioritas yang tepat agar dana investasi pemerintah bersifat revolving fund (dana berputar) agar dapat digunakan secara optimal.

Pemerintah berargumen bahwa pembelian saham divestasi PT NNT sudah sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Ketentuan tersebut meliputi Pasal 41 UU Perbendaharaan Negara yang menyebutkan bahwa pemerintah dapat melakukan investasi jangka panjang untuk memperoleh manfaat ekonomi, sosial, dan/atau manfaat lainnya dalam bentuk saham, surat utang, dan investasi. Selain itu, dalam Pasal 3 ayat (2) huruf a junto Pasal 15 ayat (1) PP Nomor 1 Tahun 2008 tentang Investasi Pemerintah juga disebutkan bahwa PIP dapat melakukan investasi pemerintah dalam bentuk investasi surat berharga dengan cara pembelian saham atas saham yang diterbitkan perusahaan. Argumen tersebut juga diperkuat oleh PMK Nomor 44 tahun 2011 tentang Perubahan Atas PMK Nomor 181 tahun 2008 tentang Pelaksanaan Investasi Pemerintah. Dalam PMK tersebut dijelaskan bahwa investasi dengan cara pembelian saham dilakukan atas saham yang diterbitkan oleh perusahaan yang berbentuk BUMN, BUMD, dan/atau badan usaha swasta berbentuk PT.

Namun DPR menolak argumen pemerintah tersebut. Menurut DPR, pembelian saham divestasi PT NNT oleh pemerintah melalui PIP, yang merupakan BLU di bawah Kementerian Keuangan, menggunakan dana yang beraasal dar APBN harus dibahas dan mendapat persetujuan DPR, dalam hal ini Komisi XI yang merupaakan mitra kerja Kementerian Keuangan. Raker Komisi XI dengan Menteri Keuangan terkait PIP pada tanggal 26 Februari 2009 sebagaimana telah disebutkan sebelumnya hanya memperbolehkan PIP untuk melakukan investasi dalam rangka percepatan pembangunan infrastruktur.

Adapun mekanisme penggunaan anggaran oleh BLU yang harus dibahas dan mendapat persetujuan DPR adalah melalui sekema pengajuan Rencana Bisnis Anggaran (RBA) BLU. Dalam skema tersebut, PIP sebagai BLU mengajukan RBA sebagai usulan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian/Lembaga (RKA K/L) kepada Menteri Keuangan, dalam hal ini Direktorat Jenderal Anggaran (DJA). RKA K/L tersebut kemudian dibahas DJA bersama BLU dan K/L terkait. RKA K/L yang telah dibahas tersebut kemudian dibahas Menteri Keuangan bersama DPR untuk kemudian diajukan dan ditetapkan dalam APBN oleh Menteri Keuangan melalui persetujuan DPR.

Terkait dengan mekanisme tersebut, DPR menyatakan bahwa dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang diadakan tanggal 12 Mei 2011 antara Komisi XI DPR dengan PIP dengan agenda RBA 2011 tidak ada pembahasan mengenai rencana pembelian saham divestasi PT NNT oleh PIP.

Dalam Lampiran II Pernyataan Nomor 06 PP Nomor 71 tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintah dijelaskan bahwa investasi pemerintah terbagi atas investasi jangka pendek dan investasi jangka panjang. Investasi jangka panjang pun terbagi dua, yaitu investasi permanen dan nonpermanen. Investasi permanen adalah investasi yang tidak dimaksudkan untuk diperjualbelikan, tetapi untuk memperoleh dividen dan/atau pengaruh yang signifikan. Investasi permanen tersebut berupa penyertaan modal pemerintah pada perusahaan negara/daerah, badan internasional, dan badan usaha lainnya yang bukan milik negara.

Menurut DPR, pembelian saham divestasi PT NNT seharusnya tergolong investasi permanen dan dapat disebut sebagai investasi langsung sehingga merupakan penyertaan modal kepada PT NNT. Penyertaan modal merupakan pemisahan kekayaan negara dari APBN. Penyertaan modal tersebut harus ditetapkan melalui APBN dan mendapat persetujuan DPR. Karena perjanjian pembelian divestasi saham PT NNT tidak ditetapkan dalam APBN dan tidak mendapat persetujuan DPR, DPR menyatakan bahwa perjanjian pembelian saham divestasi PT NNT tersebut tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Baca Juga
Abah
Generasi Micinial

Artikel Terkait

2 komentar