zORB44u1Y5Szogk9hvRg5anbZDydcDDjseaSpgOw

Mempermainkan Bahasa Tuhan


Seru sekali saya bisa mengikuti kelas legal drafting. Karena di dalamnya tidak hanya dibahas bagaimana teknik membentuk peraturan perundang-undangan. Memang cuma tiga hari, masih sangat jauh dari kata cukup. Karena diklat untuk menjadi pejabat fungsional penyusun dan perancang peraturan perundang-undangan sendiri lamanya tiga bulan.

Entahlah, sebelumnya saya pernah belajar tentang hukum. Tapi rasanya berbeda dengan ketika saya belajar di kelas pengantar ilmu hukum sekitar lima tahun silam. Wah, sudah lama juga ya? Mungkin karena sekarang saya tidak dituntut untuk mendapat nilai yang tinggi (score oriented). Waktu itu nilai saya amat buruk sampai-sampai saya harus membuat makalah untuk memperbaiki nilai tersebut. Bagaimana tidak? Saya paling tidak suka dengan yang namanya hapalan. Sementara di kelas mata kuliah itu hampir semuanya harus dihapal. Mulai dari menghapal pasal-pasal sampai istilah-istilah hukum yang merupakan istilah dalam Bahasa Belanda.

Mungkin karena tidak ada tuntutan tadi makanya setiap kali saya memperlajari sesuatu saya bisa lebih rileks. Tidak ada beban untuk memikirkan bagaimana mendapat nilai yang tinggi. Yang ada hanyalah bagaimana saya bisa memahami apa yang sedang saya pelajari (learning oriented). Memang saat ini tidak ada dosen yang membimbing saya, tapi pimpinan, senior di kantor, dan teman-teman yang lebih dulu paham selalu bersedia dan banyak membantu.

Jadi, di kelas tadi sempat dibahas tentang frasa "DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA" yang selalu dicantumkan dalam setiap pembukaan peraturan perundang-undangan sebelum nama jabatan pembentuk peraturan perundang-undangannya. Kalau kata narasumbernya, frasa itu muncul agar setiap peraturan yang dibuat dapat dirahmati oleh Tuhan.

Saya kurang setuju dengan pendapat tersebut. Iya saya setuju jika kita berharap agar semua peraturan perundang-undangan yang dibentuk dapat dirahmati Tuhan. Namun, ternyata ada sebuah pesan besar di balik frasa tersebut. Dalam hal ini, saya lebih setuju dengan argumen yang dilontarkan dosen saya dulu. Beliau bilang, bahwa frasa "DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA" yang terdapat pada setiap putusan pengadilan merupakan cerminan bahwa hakim mendapat mandat langsung dari Tuhan untuk menentukan keadilan di pengalilan dunia.

Hal ini diperjelas dalam Pasal 2 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman. Dalam pasal tersebut dengan sangat jelas disebutkan bahwa peradilan dilakukan demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa yang bermakna bahwa segala putusan hakim harus mampu memberikan rasa keadilan yang berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa pada masyarakat. Makna yang sangat luas dan penting, tidak hanya berkaitan dengan tanggung jawab hakim kepada pencari keadilan dan masyarakat. Lebih luas lagi, secara spiritual juga berkaitan erat dengan tanggung jawab hakim kepada Tuhan.

Memang apa yang dicontohkan dosen saya tersebut merupakan putusan pengadilan, bukan merupakan peraturan prundang-undangan. Tapi bukankah putusan pengadilan tersebut bisa ada juga karena peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum lahirnya putusan tersebut? Apabila yang diamanatkannya saja sudah memikul tanggung jawab yang begitu besar di hadapan Tuhan, maka sudah semestinya para pejabat pembentuk peraturan perundang-undangan pun memahaminya sebagai sebuah tanggung jawab langsung di hadapan Tuhan. Dan, sudah semestinya agar tidak menyisipkan kepentingan pribadi atau golongan dalam setiap peraturan perundang-undangan yang dibentuknya.

Maka dari itu, kiranya wajar jika saya menyebut peraturan-perundang-undangan sebagai "bahasa Tuhan" yang diterjemahkan ke dalam bahasa manusia. Karena ada semacam mandat kepada pejabat pembentuk peraturan-perundang-undangan sebagai pemimpin di muka bumi untuk membentuk suatu peraturan perundang-undangan yang dapat memberikan keadilan bagi umat manusia. Bahkan jika kita memaknainya lebih luas lagi, seharusnya kita tidak dengan gampangnya mempermainkan peraturan-prundang-undangan yang sudah dibentuk. Ingat, di sana ada nama Tuhan. Kita semua adalah manusia hukum, orang hukum. Kita tidak dapat mengingkarinya karena kita hidup di negara hukum. Itu jelas disebutkan dalam konstitusi kita.

Sayangnya, seringkali peraturan perundang-undangan tersebut dipermainkan dengan mudahnya oleh para mafia hukum. Misalnya proses peradilan dagang sapi yang dilakukan aparat penegak hukum dengan seorang terduga kasus pembunuhan. Dengan beberapa tawaran, terduga pembunuh tersebut dapat memilih pasal-pasal dalam UU KUHP terkait pembunuhan. Ada Pasal 338 tentang pembunuhan dengan sengaja, Pasal 340 tentang pembunuhan berencana, Pasal 359 tentang pembunuhan karena kelalaian, atau Pasal 373 tentang pembunuhan dengan penganiayaan. Tentu saja hukuman tiap pasal tadi beragam, mulai dari tuntutan hukuman maksimal lima tahun penjara sampai hukuman mati. Itu merupakan tuntan masimal, belum lagi jika si tersangka pembunuh bermain di proses hukum berikutnya.

Contoh tadi hanyalah contoh puncak gunung es. Sebuah contoh yang tampaknya terlalu vulgar. Kita ambil contoh yang lebih sederhana. Misalnya dalam Pasal 33 UU Perkawinan disebutkan, "suami isteri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia, dan memberi bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain." Kata dan frasa "saling", "cinta mencintai", dan "satu kepada yang lain" bukan karena redundansi yang tidak disengaja. Semua itu disengaja untuk memberikan penekanan. Karena pada dasarnya perkawinan adalah hubungan perdata dan diatur dalam undang-undang yang di dalamnya disebut nama Tuhan. Mungkin bisa dibilang ketika sudah tidak saling hormat-menghormati kita sudah mengingkari perjanjian perdata yang diamanatkan dalam bahasa Tuhan yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa manusia.

Ah, jangan bilang berat. Bukankah tanpa ada frasa tersebut pun semua apa yang kita lakukan memang harus dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan? Frasa tersebut hanyalah pengingat agar kita tidak mempermainkan bahasa Tuhan yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa manusia. Jangan pernah bermain-main, apalagi sampai menghilangkan hak orang lain yang nyata-nyata sudah diamanatkan dalam peraturan perundang-undangan, dalam bahasa tuhan yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa manusia.
Baca Juga
Abah
Generasi Micinial

Artikel Terkait

Posting Komentar