zORB44u1Y5Szogk9hvRg5anbZDydcDDjseaSpgOw

Kebijakan Blanket Guarantee


Sebagai homo economicus, manusia mengawali transaksi ekonomi antar sesamanya atas dasar saling percaya (trust). Sepanjang sejarah umat manusia, menjaga kepercayaan adalah prinsip dasar utama yang membuat perekonomian menjadi semakin kompleks, tumbuh besar, dan stabil. Tanpa adanya kepercayaan tersebut, struktur dasar perekonomian tidak akan mampu berdiri kokoh.

Belum lekang dari ingatan kita bagaimana dahsyatnya krisis finansial global yang pecah pada tahun 1997-1998. Hal ini membawa dampak yang serius terhadap kondisi sektor industri keuangan di Indonesia, terutama industri perbankan. Kepercayaan masyarakat terhadap industri perbankan pada saat itu telah mencapai pada titik nadir. Pasca terjadinya kerusuhan Mei 1998, dalam kurun waktu singkat, jutaan nasabah menarik dana simpanannya di bank secara besar-besaran (rush). Akibatnya kondisi perbankan di Indonesia semakin terpuruk. Dunia perbankan sudah tidak mampu untuk menahan gempuran rush tersebut. Kisah pelik ini terus bergulir hingga akhir tahun 1998.

Pada saat itu, bank-bank umum nasional mengalami kesulitan likuiditas dan/atau solvabilitas akibat terganggunya Pasar Uang Antar Bank (PUAB). Sejumlah langkah penyelamatan yang dilakukan oleh Bank Indonesia sebagai otoritas moneter tidak cukup kuat untuk menahan terjadinya kesulitan likuiditas yang terjadi di industri perbankan tersebut. Tidak sedikit bank yang mengalami kebangkrutan. Program restrukturisasi dan pembiayaan ulang harus menyisakan pengalaman pahit. Setidaknya ada 82 bank ditutup, 13 bank dinasionalisasi, dan beberapa bank lainnya terpaksa direkapitalisasi atau dimerger. Beberapa bank pemerintah pun harus dikonsolidasikan menjadi lembaga keuangan yang lebih besar.

Dampak dari krisis finansial global tahun 1997-1998 menyisakan lembaran hitam dalam kisah sejarah industri keuangan Indonesia. Situasi tidak terkendali seperti saat itu jelas tidak bisa dibiarkan berlarut-larut. Untuk mengatasi masalah ini, pada tahun 1998 pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk memberikan jaminan atas seluruh kewajiban pembayaran bank umum (blanket guarantee). Pemerintah membentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) guna melakukan penyehatan perbankan, penyelesaian aset bermasalah, dan mengupayakan pengembalian uang negara yang tersalur pada sektor perbankan. Dengan kebijakan blanket guarantee ini, pemerintah menjamin pembayaran terhadap seluruh kewajiban bank, termasuk pembayaran simpanan masyarakat di bank jika sewaktu-waktu bank harus dilikuidasi.

Blanket guarantee bertujuan untuk memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap sektor perbankan. Agar masyarakat tidak khawatir lagi untuk menyimpan uangnya di bank. Dengan adanya blanket guarantee, jika dikemudian hari terjadi krisis yang berdampak terhadap suatu bank, uang masyarakat akan tetap aman dan mendapat jaminan pengembalian dari pemerintah. Dengan kebijakan ini, pemerintah juga berharap kondisi sektor keuangan bisa kembali normal dan stabil. Pada saat yang bersamaan, dunia perbankan juga dapat memperbaiki diri dan merebut kembali kepercayaan masyarakat.

Apabila dilihat dari aspek penganggaran negara, kebijakan blanket guarantee yang ruang lingkup penjaminannya tidak terbatas akan sangat membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Skema blanket guarantee bisa memicu timbulnya moral hazard baik dari pihak pengelola bank maupun dari pihak nasabah. Pengelola bank dapat menjadi kurang hati-hati (prudent) dalam mengelola dana masyarakat. Pun sebaliknya, nasabah bank akan menjadi tidak peduli terhadap kondisi keuangan bank karena mengetahui simpanannya dijamin secara penuh oleh pemerintah. Program penjaminan atas seluruh kewajiban bank kurang mendorong terciptanya disiplin pasar (market discipline).

Meskipun demikian, organ yang berperan menjaga kepercayaan publik sekaligus mempertahankan stabilitas sistem perbankan nasional melalui penjaminan kewajiban pembayaran bank harus tetap ada. Apalagi ketika peran sektor perbankan sebagai salah satu pilar utama perekonomian menjadi semakin signifikan. Hanya saja, penjaminan kewajiban pembayaran bank tersebut juga harus tetap memperhatikan risiko beban APBN dan moral hazard yang mungkin timbul tadi.

Menurut Best practice di dunia internasional, penjaminan kewajiban pembayaran bank harus dilakukan dengan mekanisme pembatasan. Biasanya dengan memberikan penjaminan simpanan nasabah bank sampai dengan batas jumlah tertentu. Pengurangan penjaminan dari kondisi saat itu sampai ke lingkup dan tingkat terbatas yang semakin ideal harus diakukan dengan hati-hati dan bertahap (gradually phased out). Pada saat pengurangan penjaminan telah mencapai lingkup dan tingkat yang terbatas itulah pelaksana pemberian penjaminan akan dilakukan oleh sebuah lembaga yang mengurusi penjamin simpanan.

Dengan pertimbangan untuk membangun sistem penjaminan simpanan yang handal, pemerintah kemudian membentuk Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Dalam proses pembentukan LPS, Darmin Nasution yang pada saat itu menjabat sebagai Direktur Jenderal Lembaga Keuangan, Kementerian Keuangan, bertindak sebagai ketua tim pengarah. Sementara itu, tim pelaksananya dipimpin oleh Firdaus Djaelani, Anggota Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (Kepala Eksekutif Pengawas Industri Keuangan Non Bank), yang pada saat itu menjabat sebagai Direktur Perasuransian,  Direktorat Jenderal Lembaga Keuangan, Kementerian Keuangan.

LPS yang ada saat ini mengadopsi dari sistem yang telah digunakan oleh lembaga serupa yang telah ada di beberapa negara, antara Philippines Deposit Insurance Corporation dan Korea Deposit Insurance Corporation. Di samping itu, LPS juga melakukan konsultasi dengan Canada Deposit Insurance Corporation dan International Association of Deposit Insurers.

Sekian kisah singkat terkait dengan blanket guarantee yang kemudian melatarbelakangi dibentuknya suatu lembaga yang berfungsi untuk menjamin simpanan nasabah bank yang saat ini kita kenal sebagai LPS.

____________________
Sumber gambar: Inilah
Baca Juga
Abah
Generasi Micinial

Artikel Terkait

Posting Komentar