Pernah mendengar istilah pencucian uang (money laundering)? Bukan, istilah pencucian uang di sini bukan dalam arti denotasi, melainkan konotasi. Istilah tersebut mengacu kepada praktik-praktik untuk menyembunyikan, menyamarkan, atau mengaburkan asal-usul harta kekayaan yang berasal dari hasil tindak pidana agar seolah-olah merupakan harta kekayaan yang diperoleh secara sah. Contohnya adalah aset dari kasus bailout Bank Century yang saat ini beberapa asetnya diketahui berada di luar negeri.
Dalam dunia pencucian uang berlaku dalil “No crime, no laundering.” Dan, dalam praktiknya, tindakan pencucian uang tidak berdiri sendiri. Pencucian uang merupakan kejahatan yang muncul menyertai tindak pidana yang mendahuluinya. Sama halnya dengan korupsi dan illegal logging, pencucian uang tergolong ke dalam tingkat kejahatan luar biasa (extra ordinary crime).
Upaya penanganan tindak kejahatan luar biasa tersebut tampaknya masih lebih kepada mekanisme penindakan dengan mengacu ke dalam ketentuan-ketentuan pidana sehingga pelakunya diganjar dengan hukuman pidana penjara. Memang hukuman penjara dapat memberikan deterrent effect. Akan tetapi, jika tidak disertai dengan upaya untuk menyita atau mengambil harta kekayaan hasil kejahatan luar biasa serta merampas berbagai sarana yang memungkinkan terjadinya kejahatan luar biasa, efeknya masih belum cukup efektif untuk menekan tingkat kejahatan luar biasa tersebut. Membiarkan pelaku tetap menguasai harta kekayaan hasil kejahatan luar biasa dan sarana yang memfasilitasinya akan memberikan peluang bagi pelaku atau yang memiliki keterkaitan dengan pelaku untuk menikmati harta kekayaan hasil kejahatan luar biasa tersebut. Bahkan bukan tidak mungkin akan mengulanginya.
Belum adanya suatu rezim anti pencucian uang (anti money laundering regime) yang sesuai dengan standar internasional membuat Indonesia pada tahun 2001 sempat masuk ke dalam daftar negara yang tidak kooperatif dalam mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang (Non Cooperative Countries and Territories/NCCTs). Dimasukkannya Indonesia ke dalam daftar NCCTs telah membawa konsekuensi negatif tersendiri baik secara ekonomi maupun politik. Secara ekonomi, hal tersebut dapat mengakibatkan mahalnya biaya yang ditanggung oleh industri keuangan Indonesia apabila melakukan transaksi dengan mitranya di luar negeri (risk premium). Biaya ini tentunya menjadi beban tambahan bagi perekonomian yang pada gilirannya mengurangi daya saing produk-produk Indonesia di luar negeri. Sementera secara politik, masuknya Indonesia ke dalam NCCTs dapat menggangu pergaulan Indonesia di kancah internasional.
Oleh karena itu, lahirlah rezim anti pencucian uang. Dalam mengungkap kejahatan luar biasa, rezim tersebut menggunakan sebuah paradigma baru yaitu mengikuti aliran dana (follow the money). Melalui pendekatan ini, akan dapat diungkap pelaku, jenis tindak pidana, serta lokasi dan jumlah harta kekayaan disembunyikan. Pendekatan ini berawal dari sebuah konsepsi mendasar bahwa harta kekayaan hasil kejahatan (proceeds of crime) tersebut merupakan lifeblood of the crime. Artinya, hasil kejahatan merupakan darah yang menghidupi tindak kejahatan itu sendiri, sekaligus merupakan titik terlemah dari mata rantai tindak pidana pencucian uang (TPPU).
Upaya untuk memotong mata rantai kejahatan tersebut, selain relatif mudah dilakukan dengan pendekatan rezim anti pencucian uang, pun akan memperkuat deterrent effect yang diakibatkan karena tujuan pelaku kejahatan untuk menikmati hasil kejahatannya menjadi terhalang atau sulit dilakukan. Upaya tersebut akan semakin efektif apabila harta keyaan yang diduga bersumber dari hasil kejahatan itu dapat diblokir terlebih dahulu. Apabila harta kekayaan tersebut terbukti adalah hasil kejahatan setelah melalui proses hukum berikutnya, barulah harta kekayaan hasil kejahatan itu kemudian disita dan dirampas oleh negara untuk negara berdasarkan putusan pengadilan.
Secara formal, pembentukan rezim anti pencucian uang Indonesia ditandai dengan lahirnya UU Tindak Pidana Pencucian Uang pada tahun 2002 silam. Meski demikian, upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang itu sendiri secara parsial dan sporadis telah dilakukan sebelum dikeluarkannya undang-undang tersebut. Misalnya dapat terlihat dalam ketentuan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia dalam Peraturan Bank Indonesia tentang Prinsip Mengenal Nasabah yang dikeluarkan pada bulan Juni tahun 2001.
Dalam perkembangannya, diperlukan sebuah upaya untuk membuat sebuah terobosan baru dalam rangka memapankan rezim anti pencucian uang yang lebih menekankan pada pengejaran aset hasil kejahatan (follow the money) daripada mengejar pelakunya (follow the suspect). Upaya terutama dalam hal perampasan aset dengan menerapkan sistem perampasan tanpa pemidanaan atau non-conviction based (NCB) forfeiture yang senafas pendekatan pada rezim anti pencucian uang. Non-conviction based (NCB) forfeiture adalah suatu inovasi yang dapat diadopsi oleh setiap negara sesuai dengan kebutuhannya, sebagaimana dikatakan oleh Theodore S. Greenberg (2009) “Non-Conviction Based (NCB) asset forfeiture is an innovation that can be adapted to the needs of a wide range of countries with differing legal traditions. The Guide explains how they can make use of this tool in their asset recovery programmes”.
Secara sistematis, setelah tindakan penyelidikan dan penyidikan dilakukan penegak hukum, maka upaya pengembalian aset-aset yang diperoleh secara tidak sah oleh pelaku kejahatan, dapat dimulai dengan tiga tahapan. Ketiga tahapan tersebut yaitu tindakan untuk melacak atau menelusuri aset, tindakan pencegahan guna menghentikan pergerakan aset (pemblokiran dan penyitaan), dan tindakan perampasan aset.
Di Indonesia, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) merupakan bagian dari rezim anti pencuciaan uang. Sebagai financial inlteligence unit (FIU) di Indonesia, PPATK memiliki orientasi utama terhadap penelusuran aset hasil kejahatan dengan pendekatan follow the money. Oleh karena itu, PPATK memiliki peran yang sangat penting dan strategis dalam program assets recovery, terutama dalam hal pemberian informasi intelijen di bidang keuangan untuk keperluan penelusuran aset (assets tracing), baik pada waktu proses analisis transaksi keuangan, maupun pada saat proses penyidikan, serta penuntutan dan pemeriksaan terdakwa di sidang peradilan. Penelusuran aset hasil kejahatan tersebut dapat dilakukan oleh PPATK baik di dalam maupun luar negeri.
Penelusuran aset di dalam negeri dilakukan dengan pentrasiran di pelbagai penyedia jasa keuangan (PJK), bank maupun bukan bank, serta penyedia jasa/barang lainnya. Dalam rezim anti pencuciaan uang, PJK dan penyedia jasa/barang lainnya yang bertindak sebagai garda terdepan berkewajiban untuk melakukan deteksi secara dini terhadap transaksi nasabah yang mencurigakan untuk dilaporkan kepada PPATK. Dalam rangka penyelamatan aset secara dini, dengan kewenangannya maka penyidik, penuntut umum, atau hakim akan memerintahkan PJK dan penyedia jasa/barang lainnya untuk melakukan pemblokiran sementara terhadap harta kekayaan setiap orang atau perusahaan yang telah dilaporkan oleh PPATK. PJK dan penyedia jasa/barang lainnya setelah menerima perintah wajib melaksanakan pemblokiran sementara setelah surat perintah pemblokiran diterima.
Untuk menelusuri aset hasil kejahatan yang ditempatkan di luar negeri dilakukan dengan kerjasama antar sesama FIU, melalui tukar menukar informasi. Pertukaran informasi antar sesama FIU ini memiliki kelebihan, di antaranya mendapatkan hasil yang lebih cepat apabila dibandingkan dengan mekanisme tukar-menukar informasi melalui jalur yang lain. Pertukaran informasi antar sesama FIU ini dapat dilakukan baik atas dasar Memorandum of Understanding (MoU) ataupun resiprositas, dengan menggunakan norma-norma yang diatur oleh Egmont Group atau sesuai dengan ketentuan yang ada dalam MoU. Norma tersebut mengatur tata cara pertukaran informasi yang bersifat rahasia, tidak diperbolehkan untuk diteruskan ke pihak lain, serta tidak dapat dijadikan sebagai barang bukti di pengadilan, dimana permintaan atau pemberian informasi tersebut dapat dibuat dalam bentuk tertulis atau elektronik. Untuk menelusuri aset hasil kejahatan yang ditempatkan di luar negeri dilakukan dengan kerjasama antar sesama FIU, melalui tukar menukar informasi.
Pertukaran informasi antar sesama FIU ini memiliki kelebihan, di antaranya mendapatkan hasil yang lebih cepat apabila dibandingkan dengan mekanisme tukar-menukar informasi melalui jalur yang lain. Pertukaran informasi antar sesama FIU ini dapat dilakukan baik atas dasar MoU ataupun resiprositas, dengan menggunakan norma-norma yang diatur oleh Egmont Group atau sesuai dengan ketentuan yang ada dalam MoU. Norma tersebut mengatur tata cara pertukaran informasi yang bersifat rahasia, tidak diperbolehkan untuk diteruskan ke pihak lain, serta tidak dapat dijadikan sebagai barang bukti di pengadilan, dimana permintaan atau pemberian informasi tersebut dapat dibuat dalam bentuk tertulis atau pun elektronik.
Keunggulan FIU dalam mendapatkan informasi yang lebih cepat dan akurat ini adalah suatu hal yang seharusnya dapat dimanfaatkan secara optimal oleh para penegak hukum, untuk dapat mengamankan dan mengembalikan harta kekayaan negara dari para pelaku kriminal. Misalnya dalam rangka mengembalikan harta kekayaan negara (assets recovery) pada kasus bailout Bank Century yang menimbulkan kerugian negara yang cukup besar dan menjadi sorotan publik. Terakhir, konon sebagian besar aset tersebut tersimpan di Swiss dan Korea Selatan.
Kita menyadari bahwa semakin hari gerak, dinamika dan perubahan-perubahan adalah bagian dari keniscayaan yang harus kita hadapi. Menyikapi hal ini, kita dituntut untuk dapat melakukan adaptasi setiap saat dalam menjalaninya. Dalam arti yang lebih luas, perubahan adalah esensi dan pertanda kehidupan itu sendiri. Perubahan-perubahan dan dinamika yang terus berkembang tersebut, mengasah kita agar selalu awas terhadap perkembangan yang terjadi. Modus-modus operandi yang dilakukan oleh para pelaku tindak pidana pencucian uang terus berkembang dan mengambil celah agar sulit terlacak. Tren penggunaan rekening pihak ketiga dalam melakukan pencucian uang dengan menggunakan rekening istri pihak dan anak serta usaha yang legal misalnya, suatu hal yang perlu dilihat secara jeli. Uang hasil tindak pidana ini kemudian diinvestasikan ke dalam berbagai instrument keuangan yang tidak hanya sekadar investasi pada deposito atau saham.