zORB44u1Y5Szogk9hvRg5anbZDydcDDjseaSpgOw

Rivalitas Abadi


Ada satu pepatah lama yang bilang, "Musuh terbesar adalah diri sendiri." Kalau diresapi, maknanya tidak sesederhana kalimatnya. Pepatah tersebut sangat relevan jika dikaitkan dengan kegiatan belajar atau mencari ilmu, bukan sekolah atau kuliah, karena proses belajar tidak hanya di dalam ruang kelas saat kita berada di sekolah atau kampus.

Biasanya, di kelas kita menganggap musuh atau rival kita adalah teman sekelas. Menganggapnya sebagai rival abadi. Bagaimanapun kita harus mendapat ranking 1, mendapatkan ranking yang paling bagus dibandingkan teman kita. Kita selalu risau ketika teman kita mendapat nilai 100 sementara kita hanya mendapat nilai 90.

Bahkan, ada yang menganggap nilai sebagai rival utamanya. Itu akan terjadi jika nilai dijadikan ancaman untuk tidak naik kelas atau sebagai alasan untuk dapat dikeluarkan dari sekolah. Jika itu terjadi, kita hanya akan terfokus untuk mendapatkan nilai yang paling bagus. Memang dengan begitu anggapan teman sebagai musuh terbesar akan sedikit berkurang. Namun, mengutamakan nilai justru akan membuat kita lupa pada tujuan kita belajar. Kita belajar untuk mencari ilmu, bukan mencari nilai.

Beruntung, katanya sekarang di sekolah sudah tidak ada lagi pengurutan ranking. Semoga itu akan sedikit menyadarkan kita agar tujuan bersekolah adalah untuk mencari ilmu, bukan nilai. Paradigma seperti ini tidak akan muncul jika sekolah sangat mengedepankan nilai. Apalagi jika nilai sudah dijadikan sebagai ancaman. Ngeri.


Dulu saya termasuk orang yang menganggap teman sekelas dan nilai adalah rival. Dari SD sampai SMP yang ada di kepala saya adalah bagaimana caranya untuk menjadi ranking 1, bukan bagaimana untuk mengerti pelajaran yang disampaikan guru agar ilmu saya bertambah. Sampai ketika saya masuk SMA, pola pikir seperti itu kemudian membuat saya terpuruk, sangat terpuruk. Ternyata meski dari SD dan SMP kita mendapat ranking 1 belum tentu kita adalah orang paling pintar. Karena di dunia ini tidak hanya ada satu sekolah bahkan tidak hanya ada satu kelas.

Sejak SMA itulah kadar ketergantungan saya terhadap nilai dan rivalitas teman sekelas mulai berkurang. Belajar ya belajar. Ketika sebelumnya sering sangat kecewa ketika nilai saya ada yang menyaingi, saat itu sudah hilang. Toh ketika saya masih bisa mendapat ranking 1 saya menjadi orang yang cepat berpuas diri. Mungkin ranking atau nilai bisa mengantarkan kita ke sekolah favorit di jenjang berikutnya atau membuka kesempatan yang lebih lebar untuk memasuki dunia kerja. Akan tetapi,  setelah itu semua tercapai lalu apa gunanya sebuah nilai? Mungkin tidak lebih dari sebagai kenangan jika kita pernah meraih ranking 1.

Semua itu tidak akan terjadi jika kita menganggap diri sendiri sebagai rival, bukan teman sekelas atau nilai. Dengan menempatkan diri sendiri sebagai rival abadi kita akan berusaha mencapai target-target yang kita tentukan dengan terus memperbaiki diri sendiri. Tidak lagi peduli dengan siapa atau apa yang menjadi rival kita. Satu-satunya yang menjadi rival abadi kita adalah diri kita sendiri.


Dalam dua minggu ini saya mengikuti dua diklat yang berbeda. Rasanya berbeda dengan ketika saya mengikuti pelajaran di bangku sekolah atau kuliah. Dengan tidak menganggap teman sebagai rival atau nilai sebagai target utama, karena nilai bukan lagi ancaman, saya bisa mengeksplorasi lebih luas lagi apa yang disampaikan pengajar. Pertanyaan yang diajukan tidak lagi "Ujiannya dari bab berapa?", "Kisi-kisinya mana, Pak?", atau "Ini masuk ujian ga, Pak?"

Saya merasa lebih nyaman untuk belajar. Jarang sekali dihinggapi rasa kantuk padahal belajarnya dari pagi sampai sore, bahkan malam. Mungkin karena tidak ada lagi nilai yang dijadikan ancaman, yang justru malah sering menjadi beban. Memang terakhir ada ujiannya. Tapi kalau pun nilai saya jelek dan saya tidak lulus dari ujian tersebut, saya hanya tidak akan mendapatkan sertifikat dan tidak akan dikeluarkan dari kantor. Seandainya saya bisa lulus ujian, anggap saja itu sebagai bonus. Toh persoalan dalam pekerjaan sehari-hari lebih kompleks dari soal ujian yang sebenarnya dapat kita lalui dengan hanya menjadi seorang penghapal.

Kita tidak akan mendapatkan apa yang disampaikan pengajar ketika kita hanya terfokus dengan bagaimana agar bisa lulus ujian sampai mengabaikan hal yang lebih penting dari itu. Memang ini hanya soal paradigma atau cara berpikir terhadap sesuatu. Tapi, bukankah suatu hal tidak akan menjadi besar jika mengabaikan hal-hal sederhana yang sangat mendasar?
Baca Juga
Abah
Generasi Micinial

Artikel Terkait

Posting Komentar