zORB44u1Y5Szogk9hvRg5anbZDydcDDjseaSpgOw

Pertamax Gan


Saya bukan seorang Kaskuser, akun Kaskus saja tidak punya. Karena itu, Pertamax yang saya maksud adalah Pertamax dalam arti yang sebenarnya, bukan yang ada dunia Kaskus.

Tentu kita masih ingat, dua tahun lalu MUI pernah mengeluarkan fatwa haram bagi orang mampu yang mengonsumsi BBM bersudsidi. Dalam Sekolah Pasar Modal Syariah kemarin, mumpung bertemu langsung dengan orang MUI, saya bertanya terkait dengan wewenang MUI dalam mengeluarkan sebuah fatwa. Pada saat itu, pertanyaan saya lebih spesifik yaitu terkait dengan label syariah yang diberikan MUI pada PT Golden Traders Indonesia Syariah.

Jawaban yang saya peroleh kala itu adalah bahwa MUI mengeluarkan fatwa karena ada yang meminta fatwa. Sederhananya ada yang bertanya kepada MUI. Begitu pula dengan fatwa yang mengharamkan BBM bersubsidi yang dikonsumsi oleh orang mampu. Pada saat itu, seorang pejabat dari Kementerian ESDM, menterinya kalau tidak salah, bertanya kepada MUI terkait dengan bagaimana hukumnya orang mampu yang mengonsumsi BBM bersubsidi. Karena itulah, MUI mengeluarkan fatwa tersebut.

Di media sosial saya pernah bertanya tentang posisi fatwa MUI dalam tata hukum Islam. Sayangnya, kala itu pertanyaan saya hanya dicecar oleh orang yang malah manganggap saya Islam liberal. Malum saja, kita tidak terbiasa untuk berdiskusi yang bukan debat kusir, kita terbiasa menonton Indonesia Lieur Club.  Padahal saya bertanya karena ketidaktahuan saya. Tapi ternyata, rata-rata orang yang pro dan kontra  terhadap fatwa MUI, keduanya keliru memahami posisi fatwa MUI dalam tata hukum Islam. Yang menganggap bahwa fatwa tersebut memiliki kekuatan hukum tetap ataupun yang menganggap bahwa MUI kurang kerjaan karena asal mengeluarkan fatwa, keduanya keliru. Termasuk saya di dalamnya.

Fatwa itu sendiri bukan merupakan aturan yang mengikat. Artinya, fatwa tersebut boleh dilanggar atau diabaikan. Sebuah fatwa baru menjadi aturan yang mengikat atau memiliki kekuatan hukum tetap ketika sudah ditetapkan oleh regulator atau pemerintah. Fatwa-fatwa DSN-MUI terkait dengan pasar modal misalnya, tidak memiliki kekuatan hukum tetap selama regulator pasar modal tidak menerbitkan suatu produk hukum yang mewajibkan pelaksanaan fatwa tersebut.

Begitu pula dengan fatwa terkait BBM bersubsidi tadi. Kita tidak akan mendapatkan sanksi apabila kita mengabaikan atau melanggarnya, karena Kementerian ESDM selaku yang meminta fatwa tidak membuat suatu produk hukum berdasarkan kepada fatwa MUI tersebut.

Namun demikian, apakakah ingin melompat ke dalam sebuah jurang karena tidak akan ada orang yang menghukum kita apabila terjerumus ke dalam jurang tersebut? Maksud saya, mari kita bertanya kepada hati kecil kita, apakah layak atau tidak kita mengonsumsi BBM bersubsidi tersebut? Jangan kepada hati besar, nanti malah dengan besaar hati mengonsumsi BBM bersubsidi. Kalau jawabannya tidak, berarti kita sudah mengambil apa yang bukan hak kita. Apalagi seorang blogger yang sering berkoar-koar tentang BBM bersubsidi yang tidak tepat sasaran. Harusnya dia malu. Masalahnya, "dia" ini siapa?

Menurut sebuah survei yang dilakukan sebelum pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi, dalam sebulan, pengendara mobil pribadi yang mengonsumsi BBM bersubsidi mendapatkan subsidi sekitar Rp1.000.000,00 dan pengendara motor sekitar Rp100.000,00. Sementara itu, pengguna angkutan umum hanya sekitar mendapatkan jatah subsidi sebesar Rp10.000,00 per bulannya.

Banyak cara untuk menjadi Indonesia. Dan, semuanya bisa di mulai dari diri kita masing-masing. Salah satunya dengan tidak mengambil apa yang bukan menjadi hak kita.

____________________
Sumber gambar: Pertamina
Baca Juga
Abah
Generasi Micinial

Artikel Terkait

1 komentar

  1. Recently, banyak orang berdebat dengan modal menonton acara-acara debat di TV yang kadang (ataupun sering) ngga ada hasil ataupun kesimpulannya. That's why curiosity is damned these days.

    Dan soal fatwa MUI, saya baru tahu ternyata fatwa tersebut dikeluarkan jika ada yang meminta. Saya kira selama ini fatwa keluar karena MUI ikut memperhatikan isu-isu negara. Atau mungkin bisa keduanya.

    Terakhir, saya pikir fatwa dikeluarkan karena dianggap lebih menyentuh masyarakat.

    BalasHapus