zORB44u1Y5Szogk9hvRg5anbZDydcDDjseaSpgOw

Risiko Investasi Menurut Perspektif Syariah


"Cen, katanya kalau investasi saham bisa untung banyak ya?"

"Lo jangan mau dibohongin. Gue aja langsung sengsara gara-gara saham."

"Yah, berarti investasi saham pasti rugi ya?

"Iye, Cok! Mending lo taruh aja duit lo di bawah bantal, lebih aman."

Tidak sedikit orang yang beranggapan seperti Ucok, bahwa investasi saham pasti merugikan. Bukan mustahil, adanya orang-orang seperti Ucok adalah karena tidak sedikitnya orang-orang seperti Ucen. Yang coba-coba berinvestasi saham, tanpa memiliki pengetahuan yang memadai, dan langsung gagal. Sayangnya Ucen tidak berani mencobanya lagi.

Usut-punya usut, ternyata Ucen pernah membeli saham batubara, yaitu saham PT Bumi Resources Tbk (BUMI). Tahun 2008, saham batubara memang sedang menjadi primadona, termasuk saham BUMI. Pada Juni 2008 saham ini mencetak rekor pada angka Rp8.650,00 per lembar. Ucen mengoleksinya pada saat sedang diskon, yaitu bulan Juli 2008 dengan harga Rp6.500,00. Sayangnya, dua bulan kemudian harganya melorot lebih dari 50%. Hingga puncaknya, pada Januari 2009 harga saham BUMI mencapai titik nadir, Rp460,00 per lembar. Saat itulah Ucen merealisasikan kerugiannya dan minggat dari pasar modal.

Pada dasarnya, setiap investasi tentu saja memiliki risiko. Jangankan investasi, menaruh uang di bawah bantal pun tentu saja berisiko, risiko pencurian atau risiko kebakaran. Kemudian muncul sebuah pertanyaan, apakah risiko tersebut sesuai dengan prinsip-prinsip syariah? Dan, bagaimana perspektif syariah tentang adanya risiko tersebut? Beruntung, dalam Sekolah Pasar Modal Syariah minggu lalu saya mendapat penjelasan dari seorang Muhammad Gunawan Yasni, anggota Dewan Syariah Nasoional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI).

Menurut Ibnu Taimiyyah, risiko terbagi ke dalam dua kategori: risiko komersial dan risiko akibat gambling. Risiko komersial yaitu ketika seseorang membeli suatu komoditas untuk dijual guna memperoleh laba dan kemudian bertawakal kepada Allah akan hasilnya. Risiko ini adalah jenis risiko yang harus diambil oleh para pedagang dan meskipun seseorang pedagang kadang dapat merugi, namun inilah sifat dari suatu usaha komersial. Sementara itu, gambling dapat diartikan memakan harta secara bathil. Hal inilah yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya.

Risiko komersial, terbagi ke dalam tiga kelompok. Kelompok pertama adalah risiko yang dapat diabaikan (negligible/gharar yasir). Untuk suatu tolerable risk maka kemungkinan dari kegagalan haruslah lebih kecil daripada kemungkinan tingkat keberhasilannya. Misalnya ketika hendak berangkat kerja kita naik ojek. Tetapi, karena sedang buru-buru kita tidak sempat menanyakan ongkosnya, apalagi menawarnya. Padahal pemerintah baru saja menaikkan harga BBM dan kemungkinan ongkos ojek juga ikut naik. Namun, tentu saja risiko dari kemungkinan naiknya ongkos ojek tadi masih dapat kita toleransi (tolerable) karena kenaikkannya masih mungkin untuk kita bayar.

Kelompok ke dua, risiko yang tidak dapat dihindarkan (inevitable/la yumkin takhruj minhu). Mengindikasikan bahwa tingkat penambahan nilai dari suatu aktivitas transaksi tidak dapat diwujudkan tanpa adanya kesiapan untuk menanggung risiko. Contoh yang paling mudah untuk mengilustrasikan risiko yang tidak dapat dihindarkan adalah pernikahan. Uhuk! Ketika mencari calon pasangan hidup, setiap orang pasti memiliki kriteria masing-masing, baik kriteria fisik maupun kriteria nonfisik. Cantik misalnya. Ketika menemukan seorang perempuan cantik, kita sebagai laki-laki, harus menanggung risiko yang tidak dapat dihindarkan bahwa semakin hari kecantikan fisik akan semakin berkurang. Pun dengan ketampanan. Bahkan, kesolehan pun bisa saja berkurang. Itu risiko.

Terakhir adalah risiko yang tidak diinginkan dengan sengaja (unintentional/ghairu maksud). Mengisyaratkan bahwa tujuan dari suatu transaksi ekonomi yang normal adalah untuk menciptakan nilai tambah, bukan untuk menanggung risiko. Sehingga risiko bukan merupakan sesuatu yang menjadi keinginan dari suatu transaksi keuangan dan investasi. Maksudnya, kita tidak mengambil risiko dengan sengaja padahal kita bisa menghindarinya. Misalnya, ketika ujian kita hanya mengandalkan perhitungan jumlah kancing karena kita tidak pernah belajar. Atau, seperti cerita Ucen tadi. Ucen nekad, bukan berani, mengambil risiko berinvestasi saham tanpa terlebih dahulu memahami seluk-beluk investasi saham.

Selain Ibnu Taimiyyah, ada juga Al Suwailem yang membedakan risiko ke dalam dua tipe. Meski demikian, pengelompokkannya hampir sama dengan Ibnu Taimiyyah. Kedua jenis risiko menurut Al Suwailem adalah risiko pasif dan risiko responsif. Risiko pasif adalah risiko yang hanya mengandalkan keberuntungan, spekulatif. Sementara itu, risiko responsif memungkinkan adanya distribusi probabilitas hasil keluaran (outcomes) dengan hubungan kausalitas yang logis.

Sudah sangat jelas bahwa risiko berbeda dengan spekulasi. Terkait dengan spekulasi, Rasulullah SAW pernah bersabda, "Janganlah kalian membeli ikan di dalam air (laut), karena perbuatan semacam itu termasuk gharar (tidak pasti)." (HR. Ahmad). Wallahu a'lam bishawab.
Baca Juga
Abah
Generasi Micinial

Artikel Terkait

Posting Komentar