zORB44u1Y5Szogk9hvRg5anbZDydcDDjseaSpgOw

Ibarat Menanam Jengkol


Alhamdulillah minggu ini hasil Diklat Prajabatan (Prajab) diumukan. Saya lulus dengan nilai yang sudah bisa diprediksi. Soal nilai bagi saya bukan segalanya. Ini bukan pembelaan. Apalagi hanya untuk sebuah ujian pilihan ganda. Memang sewaktu ujian saya salah melihat jadwal. Tetapi salah jadwal atau tidak sama saja, sama-sama tidak belajar. Orang yang sudah lama mengenal saya mungkin paham apa yang saya maksud.

Bagi saya, Prajab kemarin serasa nostalgia. Nostalgia hidup di asrama dengan suasana semi militer. Meski hanya tiga minggu tapi cukup untuk menyelami kenangan selama tiga tahun. Hanya ada yang kurang jika ingin bernostalgia, senioritas. Tidak ada senioritas dalam Prajab. Padahal, hal yang paling berkesan dari kehidupan asrama adalah senioritas. Lebih tepatnya penyalahgunaan wewenang senior. Ah, sudahlah.

Pada saat Prajab ada materi tata upacara sipil. Waktu itu semua petugasnya dipilih secara suka rela. Anehnya, ketika ditawarkan untuk menjadi inspektur upacara tidak ada satu pun yang berani mengangkat tangan. Dalam hati saya ngedumel, "Kalau begini saja tidak berani, bagaimana bisa mau jadi pemimpin?" Lagi pula, saya pikir tugasnya hanya memeragakan layaknya seorang inspektur upacara. Kalaupun ada salah, namanya juga belajar. Yang penting sudah berani mencoba. Ternyata tidak hanya memeragakan gerakannya. Tapi juga harus memberikan amanat layaknya seorang inspektur upacara yang sebenarnya.

"Konspirasi ini! Kenapa ga ada yang ngasih tahu gue kalau harus pidato segala?" Tapi itulah risiko orang yang suka mengangkat tangan sebelum memikirkan mau berkata apa. Memang itulah cara saya untuk menantang diri sendiri. Di setiap forum yang saya ikuti, selalu saya beranikan untuk mengangkat tangan dan berbicara. Tujuannya untuk melatih kemampun verbal. Waktu masuk kuliah, saya termasuk mahasiswa pemalu. Serius. Untuk berbicara di depan kelas saja sekujur tubuh saya gemetar. Presentasi pun hanya membaca buku teks. Beruntung, sekarang saya sudah menjadi orang yang tidak tahu malu untuk berkoar-koar di depan orang banyak.

Kembali ke laptop. Saat itulah saya merasa kebiasaan ngeblog sangat berguna. Di blog saya terbiasa untuk bercerita panjang lebar tentang suatu hal. Maka ketika saya harus berbicara di depan umum, saya tinggal menebalkan kulit wajah. Soal materi, anggap saja sedang menulis sebuah blog post.

Sejauh itu, saya rasa pelaksanaannya cukup lancar. Hanya ada beberapa kesalahan. Dan, yang dianggap paling fatal adalah gestur saya yang dianggap tidak mencerminkan seorang inspektur upacara. Wajar saja, di kampus lama memang dididik untuk menajdi seorang orator aksi turun ke jalan, bukan orator upacara resmi. Ya, begitulah hasilnya.

Waktu itu, tema pidato saya adalah pohon mangga. Ceritanya begini.

Ketika mulai menginjakkan kaki di Kementerian Keuangan, ada sebuah pertanyaan yang patut untuk kita pikirkan, "Untuk apa kita bekerja di Kementerian Keuangan?" Meski kita berasal dari satu almamater yang sama, jawabannya akan tetap beragam. Mungkin ada yang akan menjawab, "Karena orang tua saya menginginkan saya menjadi PNS.", "Karena saya mencari kuliah gratis.", dan bla bla bla. Tapi bukan itu jawabannya. Pertanyaan ini adalah tentang akibat, bukan tentang sebab. Tentang akibat apa yang ingin kita timbulkan dengan keberadaan kita di Kementerian Keuangan ini.

Mungkin ada yang menjawab bahwa akibat yang diinginkannya adalah mendapatkan penghasilan. Jawaban itu tidak salah. Namun, apakah hanya itu saja yang kita inginkan? Jika kita merujuk kepada teori kebutuhan dasar manusia yang dikemukakan oleh Abraham Maslow atau yang dikenal sebagai Piramida Maslow, physical atau kebutuhan materi berada pada level paling bawah. Dan, bukan tidak mungkin itu juga yang ada dalam pikiran beberapa oknum senior kita yang terjerat hukum yang hanya ingin mencapai level paling bawah tersebut.

Untuk lebih memahami tujuan kita berada di Kementerian Keuangan saya ingin mengibaratkannya seperti menanam mangga. Ketika menanam mangga, belum tentu kita akan memetik buahnya. Ketika kita memetik buahnya pun, tidak mungkin kita memakan semua buah mangga itu. Sebagian akan kita berika kepada tetangga dan kerabat, atau bahkan dijual. Begitu pula bekerja di Kementerian Keuangan. Selain kita, banyak orang yang secara tidak langsung akan merasakan hasil dari pekerjaan kita. Negara ini tidak akan berjalan dengan baik apabila kita gagal mengumpulkan penerimaan negara dan gagal mengalokasikan pengeluarannya.

Sebelum memakan dagingnya, terlebih dahulu kita harus mengupas kulit mangga. Itu juga perjuangan. Dan, ada kalanya ketika kita memakan buahnya ternyata rasanya masam. Padahal kita sudah merawat pohon mangga tersebut dengan baik. Tapi ternyata hasilnya tidak sesuai dengan yang kita harapkan. Begitu pula dalam bekerja. Ketika kita sudah merasa bekerja dengan baik, terkadang masih ada saja suara-suara minor yang ditujukan ke telinga kita. Sekali lagi, padahal kita sudah merasa bekerja dengan baik. Anggap saja itu sebagai bahan introspeksi dan evaluasi. Apalagi kalau matangnya dipaksa, rasanya akan hambar.

Belum selesai sampai di situ. Setelah menikmati semua dagingnya, kita akan menemukan biji mangga. Biji mangga tersebut memiliki arti bahwa kita harus menanamnya kembali. Agar generasi setelaah kita, anak cucu kita, bisa menikmati buah mangga sama seperti yang kita nikmati. Bahkan akan lebih baik lagi jika buahnya lebih enak daripada yang kita nikmati saat ini. Pun dalam bekerja, kita tidak hanya bekerja untuk generasi kita. Tapi juga untuk generasi-generasi setelah kita, untuk anak cucu kita. Maka dari itu harus ada sesuatu yang baik yang kita wariskan untuk mereka. Itulah tugas kita.

Intinya begitu. Terlalu pnjang jika saya tuliskan semuanya. "Tapi kok judulnya Ibarat Menanam Jengkol?" Nah, itu dia. Ternyata ada sebagian kecil orang di Kementerian Keuangan yang hati kecilnya lebih menginginkan untuk menanam jengkol. Jangan meremehkan jengkol. Harga jengkol lebih mahal daripada harga mangga. Artinya, banyak orang yang menginginkan jengkol tetapi supply sedikit sehingga harganya naik.

Untuk yang ingin menanam jengkol, alangkah lebih baik jika orang itu pindah saja ke kebun jengkol, tidak lagi berada di kebun mangga. Bukankah pilihannya hanya ada dua, cintai dengan sepenuh hati atau pindah ke lain hati? Namun, alangkah lebih baik lagi jika sebelum pindah ke kebun jengkol terlebih dahulu dipelajari cara-cara menanam jengkol yang baik. Dan, jangan lupa untuk melunasi hutang sebesar Rp30.000.000,00 kepada juragan mangga. Sekian dulu ngelanturnya.
Baca Juga
Abah
Generasi Micinial

Artikel Terkait

2 komentar

  1. TGR-nya cuma 30 juta ya? Hmmm... Uang remun setahun dua tahun cukup lah buat bayar.

    Kalo saya sih belum berani pindah ke kebun jengkol, soalnya masih belum yakin mau ke kebun jengkol, kebun pete, atau malah ke sawah nanam padi. Belum punya ilmu juga. *halah, kenapa malah curhat ngelantur begini*

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, tiga puluh juta tapi terus terdepresiasi tiap tahunnya. :D

      Hapus