zORB44u1Y5Szogk9hvRg5anbZDydcDDjseaSpgOw

Menemukan Tujuan Hidup


Kata Albert Einstein, "There is no reason to live without purpose." Apakah saya sudah menemukan tujuan hidup saya? Apakah hidup yang saya jalani sudah sesuai dengan tujuan Yang Mahapencipta kehidupan?

Konon, hanya satu dari dua puluh orang yang bisa membedakan antara tujuan hidup dengan target hidup. Memiliki rumah pribadi di usia 30 tahun adalah target hidup. Tujuan hidup adalah alasan keberadaan kita di muka bumi ini. Tuhan pasti punya alasan kenapa menciptakan manusia, sang makhluk paling sempurna, untuk menjadi khalifah di muka bumi. Setiap manusia diciptakan berbeda. Setiap manusia unik. Dua orang anak kembar identik pun pasti memiliki keunikan masing-masing.

Seseorang pernah bilang, kalau kita belum meluangkan waktu untuk hal yang kita pedulikan artinya kita belum benar-benar peduli. Time is money. Waktu adalah komoditas paling berharga. Setiap detik yang kita luangkan dengan tulus dan gembira untuk hal yang kita pedulikan akan membuat kita semakin dekat dengan tujuan hidup kita.

Tujuan hidup akan mengantarkan kita pada kehidupan yang lebih bermakna. Menemukan tujuan hidup sangat berkaitan dengan menemukan apa yang kita pedulikan. Tanpa ada paksaan, tanpa keharusan, tanpa pengorbanan. Kita akan menjalani hidup dengan tulus, sukarela, dan gembira.

Dua puluh empat tahun dan saya masih belum benar-benar yakin apakah saya sudah menemukan tujuan hidup saya. Jangan-jangan saya hanya terfokus kepada target-target hidup yang saya tentukan sendiri. Tetapi, setidaknya saya sudah tahu apa yang ingin saya tuju dalam beberapa tahun ke depan.

Obrolan dengan seorang teman mengingatkan saya tentang ketulusan orang tua. Seperti yang tertulis dalam lirik sebuah lagu, "Hanya memberi tak harap kembali." Beberapa orang teman di kantor lama saya sering membawa pulang snack rapat untuk diberikan kepada anaknya. Kebetulan waktu itu kami selalu memesan snack rapat sendiri. Selama harganya tidak melampaui pagu anggaran, berbagai macam makanan sering kami pesan: donat, pizza, pempek, dll. Bukan soal jenis makanan yang mereka bawa pulang. Ini soal kepedulian. Ketika mereka mendapatkan makanan, mereka meluangkan waktu untuk mengingat orang yang mereka pedulikan, anaknya, dan merefleksikan kepeduliannya. Sekecil apapun mereka mempunyai kesempatan untuk membahagiakan anaknya, mereka akan melakukannya, dengan tulus.

Ini mengingatkan saya ketika saya masih tinggal di rumah. Ketika Bapa pulang dengan membawa snack rapat, Bapa suka bilang, "Buat kamu aja, Bapak udah sering makan gituan." Saya tahu kata-kata itu tidak hanya terlontar begitu saja. Kata-kata itu keluar dari ketulusan hatinya. Bahkan, saya yakin apapun akan mereka lakukan, apapun akan mereka berikan, untuk membahagiakan anaknya, untuk saya, dengan tulus. Namun, saya belum yakin apakah saya sudah bisa membalas semuanya. Malah saya tidak yakin saya akan bisa membalasnya. Apalagi jika ikut memperhitungkan faktor ketulusan. Apakah saya sudah tulus ingin membalas jasa-jasa mereka?

Akhir-akhir ini, sebuah lagu selalu terngiang di telinga saya. Sebuah lagu milik Coldplay, yang di-cover oleh Secondhand Serenade, Fix You.

When you try your best but you don't succeed
When you get what you want but not what you need
When you feel so tired but you can't sleep
Stuck in reverse

And the tears come streaming down your face
When you lose something you can't replace
When you love someone but it goes to waste
Could it be worse?

Lights will guide you home
And ignite your bones
And I will try to fix you

Dua puluh empat bukan angka yang mengharamkan galau. Carpe diem.
Baca Juga
Abah
Generasi Micinial

Artikel Terkait

2 komentar

  1. Wah mat.. Tujuan hidupku juga masih gak jelas. Padahal jauuuuuh lebih tua dari Mamat. Ironis yak

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mau sampai kapan kita seperti ini, Mba? :D

      Hapus