zORB44u1Y5Szogk9hvRg5anbZDydcDDjseaSpgOw

Kontroversi Statusiasi Hilirisasi Mineral


Kurang dari empat bulan lagi pemerintah harus memberlakukan kewajiban peningkatan nilai tambah mineral di dalam negeri (hilirisasi). Hilirisasi merupakan amanat dari Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba). Dalam UU Minerba diatur bahwa per Januari 2014 seluruh bijih mineral wajib diolah di dalam negeri.

Akan tetapi, semakin dekat dengan batas waktu pemberlakuan hilirisasi mineral, sikap pemerintah dinilai semakin melunak. Hal ini setidaknya terjadi karena dua hal, yaitu ketidaksiapan instalasi pengolahan dan pemurnian (smelter) serta situasi ekonomi nasional yang akhir-akhir ini semakin memburuk.

Sebagai alternatif ketidaksiapan smelter, pemerintah mengisyaratkan bahwa pengusaha masih boleh melakukan ekspor bijih mineral pada tahun 2014. Menurut Tamrin Sihite, Dirjen Minerba Kementerian ESDM, toleransi tersebut hanya diberikan kepada pengusaha yang sedang serius membangun smelter. Keseriusan tersebut dilihat dari pengusaha yang baru melakukan studi kelayakan maupun pengusaha yang sudah sedang benar-benar membangun smelter. Namun, tentu saja pemerintah harus terlebih dahulu menyiapkan payung hukum agar tidak bertentangan dengan UU Minerba.

Berbicara tentang smelter, saya teringat dengan cerita dari salah seorang pengusaha timah dari Belitung. Dalam proses pengolahan ingot timah, dihasilkan sisa pengolahan yang disebut tin slag. Meski merupakan sisa pengolahan, tin slag merupakan bahan baku yang dapat diolah untuk dapat dijadikan mineral tanah jarang atau rare earth mineral. Mineral tanah jarang adalah bahan baku berteknologi tinggi yang digunakan sebagai bahan untuk memproduksi antara lain: ipods, turbin, kendaraan hybrid, serat optik, lampu pijar hemat energi, penangkal pemandu rudal nuklir, dan produk berteknologi tinggi lainnya.

Mineral tanah jarang belum begitu dikenal di kalangan pengusahaan mineral karena memerlukan proses pengolahan yang tidak sederahana. Namun, nilai jualnya jauh lebih tinggi dari mineral lainnya. Smelter yang digunakan pun tidak sama dengan smelter yang biasa digunakan untuk pengolahan dan pemurnian ingot timah. Tentu saja modal yang diperlukan pun lebih besar lagi.

Terkait dengan perkembangan situasi perekonomian nasional yang semakin memburuk, pemerintah ibarat memakan buah simalakama. Di satu sisi UU Minerba mengamanatkan untuk dilakukan hilirisasi industri mineral. Tetapi smelter yang ada belum siap untuk mendukung penerapan aturan mengenai hilirisasi ini. Di sisi lain, dalam situasi perekonomian seperti sekarang ini, ekspor sangat diperlukan untuk mendukung kebijakan stabilisasi dan pertumbuhan ekonomi makro. Itulah yang memotivasi pemerintah untuk sesegera mungkin mengambil langkah-langkah penyederhanaan prosedur ekspor bijih mineral atau relaksasi ekspor mineral. Pemerintah memerlukan devisa untuk memperbaiki defisit neraca perdagangan.

Mahendra Siregar, Wakil Menteri Keuangan II yang baru-baru ini ditunjuk sebagai Ketua BKPM, pernah mengemukakan tentang pentingnya sebuah road map industri pertambangan mineral yang saat ini kita belum punyai. Kita bisa mencontoh bagaimana Cina mengamankan cadangan sumber daya alamnya. Kita bisa menerapkan kebijakan hilirisasi dan trade policy dengan menaikkan bea keluar. Bea keluar tersebut lebih kepada trade policy, bukan revenue policy, untuk menarik investasi dalam negeri agar investor mau ikut berinvestasi dalam pembangunan smelter di dalam negeri. Dum tempus habemus, operemur bonum.
Baca Juga
Abah
Generasi Micinial

Artikel Terkait

Posting Komentar