zORB44u1Y5Szogk9hvRg5anbZDydcDDjseaSpgOw

Delisa dan Monster Mabuk


Jakarta menggeliat di balik kilauan sinar matahari yang dipantulkan kaca-kaca gedung pencakar langit. Orang-orang beranjak untuk mulai mengukir kisah mereka hari ini. Yang berdagang pergi ke pasar. Yang berolahraga pergi ke taman kota. Yang datang kepagian ke satu forum pun ikut singgah di taman kota.

Terik matahari di atas langit Blok M membuat tubuh saya yang kering kerontang semakin mengeriput. Habis dari Jalan Galuh saya berbelok ke kanan dan ke kiri sampai ke Blok M. Padahal seharusnya saya berbelok ke kiri dan ke kanan. Terus, pas ada Patung Pizzaman di Bundaran Senayan seharusnya saya berputar ke arah Senayan. Ah, selalu begitu, kebiasaan lama yang tidak pernah ditinggalkan. 

Setelah parkir, saya masuk ke Istora Senayan. Di sana sedang ada Indonesia Book Fair 2013. Mata saya berputar-putar. Sebuah stan penerbit berdiri di pojok ruangan menghentikan perputaran mata saya. Saya teringat obrolan tentang buku dengan seorang teman kantor. Saya memang suka membaca tulisan-tulisan Darwis Tere Liye. Tapi saya tidak segila teman lama saya yang benar-benar tergila-gila dengan tulisan Darwis Tere Liye. Bagi saya tulisan Dewi Lestari dan Djenar Maesa Ayu lebih menggoda mata, untuk dibaca. Tapi teman kantor saya bilang, "Hafalan Shalat Delisa" berbeda dengan novel-novel Darwis Tere Liye yang lain.

Saya menjadi penasaran ingin membaca "Hafalan Shalat Delisa". Mungkin bukan kebetulan di stan itu saya menemukan buku "Hafalan Shalat Delisa" yang tinggal satu eksemplar. Ketika membayar, kasir menawarkan jika novel yang baru saya beli ingin ditandatangani penulisnya. Bola mata saya kembali berputar, mencari penampakan Darwis Tere Liye. Wajahnya memang tidak terkenal. Dia sering tidak mau diambil fotonya. Kasir kemudian membukakan bungkus plastik novel dan menyerahkannya ke seseorang yang sedang duduk sila di atas kursi di samping meja kasir. Oh, ternyata itu penulisnya. Penampilannya sangat sederhana.

Mata saya sebenarnya masih ingin berputar-putar dan menjarah buku-buku di sana. Tapi dompet saya sudah menjerit-jerit mengajak pulang, kasihan. Siang itu, saya berhasil mengajak pulang dua buah buku fiksi, "Hafalan Shalat Delisa" dan "Drunken Monster", juga beberapa buku lain termasuk buku cerita anak dan buku mewarnai untuk keponakan kecil saya. 

Setelah makan bersama teman saya dan temannya, pada sekitar pukul tiga sore, pengeras suara di pameran mengumumkan sebentar lagi akan ada bedah buku "Drunken Monster" bersama penulisnya, Pidi Baiq. Sudah lama dia ada dalam daftar penulis idola saya. Saya pertama kali mengenal karyanya bukan dari tulisan tapi dari lagu-lagu The Panasdalam yang sering membuat saya mabuk, bukan mabuk cinta tapi mabuk darat, laut, dan udara.

Beberapa menit kemudian saya sudah sedang dalam perjalanan menuju Pulogebang. Dengan senang hati saya melewatkan acara bedah buku bersama salah satu penulis terbaik yang pernah saya kenal. Kasihan dia tidak kenal saya. Sore itu saya harus ikut mengajar anak-anak di Rumba. Sebenarnya bukan harus karena memang tidak wajib melainkan karena ingin.

Setiap malam minggu saya selalu ikut mengajar di sana. Sejak kapan setiap malam minggu saya ikut mengajar di sana? Tentu saja sejak pertama kali saya ikut mengajar di sana. Kelas sudah dimulai ketika saya tiba di Rumba. Artinya malam minggu kemarin saya datang terlambat. Anak-anak sedang menulis harapan dan impian mereka. Saya pun ikut menulis harapan saya. Saya berharap Delisa bisa menyelamatkan saya dari pengaruh Monster Mabuk.
Baca Juga
Abah
Generasi Micinial

Artikel Terkait

Posting Komentar