zORB44u1Y5Szogk9hvRg5anbZDydcDDjseaSpgOw

Instant Love


Menjepret foto selfie dengan tongsis sedang ngetren. Sebagai salah satu aksesoris kamera ponsel, tongsis ikut memiliki peran dalam menggerus kehidupan kamera digital, apalagi kamera analog. Termasuk di antaranya kamera Polaroid. Meski begitu, kamera Polaroid tetap memiliki tempat tersendiri di hati penggemarnya.

Hari Minggu lalu kami bertandang ke rumah kakak. Kakakku memberikan sebuah buku sebagai hadiah ulang tahun. Setibanya di rumah, saya baru membukanya. Rupanya itu adalah buku tentang fotografi analog. Lebih tepatnya tentang kamera Polaroid, Instant Love: How to Make Magic & Memories with Polaroids.

Buku karangan Jeniffer Altman, Susannah Conway, dan Amanda Gilligan ini terbagi ke dalam lima chapter.
Chapter pertama bertajuk The Basics. Biasanya orang awam cenderung menyebut semua kamera instan dengan sebutan Polaroid. Padahal Polaroid sendiri terdiri dari beberapa tipe kamera dengan format film yang berbeda pula. Dalam chapter ini dijelaskan tentang jenis-jenis kamera, yaitu Polaroid Land Camera, Polaroid SX-70, Polaroid 600, Polaroid Spectra, Fuji Instax Mini, dan Fuji Instax Wide. Kita akan tahu bagaimana sejarahnya, tipe film yang digunakan, dan informasi-informasi berguna lainnya.

Saya pernah mengambil sebuah foto dengan obyek yang sangat menakjubkan. Tapi kemuadian saya sadar bahwa komposisi yang saya ambil sangatlah buruk. Chapter ke dua berjudul The Art of Composition. Di dalamnya diuraikan teknik-teknik fotografi seperti rule of thirds, depth of field, perspective, dan framing

Mendapatkan hasil jepretan dengan komposisi yang baik dengan kamera Polaroid tidaklah mudah. Tidak seperti menjepret dengan kamera digital. Kita tidak bisa menjepret ratusan kali untuk mendapatkan satu hasil jepretan terbaik. Dengan kamera Polaroid, jepretan pertama akan sangat menentukan. Apalagi beberapa jenis film Polaroid cukup mahal. Walau bagaimanapun, dengan mempelajari beberapa peraturan dasar dari komposisi, kita tidak akan mendapatkan hasil jepret yang mengecewakan.

Chapter selanjutnya adalah Capturing the Light. Dari namanya sudah bisa ditebak apa yang dibahas dalam chapter ini. Masing-masing tipe film yang berbeda, merespon cahaya dengan cara yang berbeda pula. Tetapi teori dasar pencahayaan yang dijelaskan dalam buku ini dapat diaplikasikan untuk semua jenis film. Bahkan dapat pula diaplikasikan ketika kita menjepret dengan kamera digital.

Storage, Display, and Projects adalah chapter ke empat. Dalam chapter ini kita akan mengetahui tahap selanjutnya setelah kita menjepret foto dengan komposisi yang artistik da merekam memori dalam sebuah kotak kecil film, mulai dari pentingnya penyimpanan foto sampai bagaimana mendisplainya.

Chapter terakhir adalah Inspirational Portfolios. Ada lima tema portofolio yang akan menunjukkan kepada kita bagaimana cita rasa yang bisa kita cicipi dengan mengeksplorasi kamera instan. Lima tema yang ada hanyalah contoh kecil dari banyak tema yang dapat kita jepret dengan kamera Polaroid.

Saya pertama kali menjajal kamera instan ketika acara ulang tahun Ajeng, yaitu Fujifilm Instax 7s. Karena itu adalah kali pertama dan saya belum tahu teorinya, hasil jepretannya sudah bisa ditebak, biasa saja. Karena memang latihan tetap saja yang utama. Semoga setelah mebaca buku ini dan mengetahui teorinya serta sering berlatih, hasilnya bisa lebih baik lagi. Dan, semoga ulang tahun berikutnya ada yang memberi kado kamera Polaroid.
Baca Juga
Abah
Generasi Micinial

Artikel Terkait

1 komentar