Kisah panjang Lapangan Banteng dimulai sejak abad ke tujuh belas kala Anthony Paviljoen, seorang pegawai VOC, membeli wilayah tersebut. Saat itu wilayah Lapangan Banteng masih berupa hutan dan rawa. Setelah dibeli Anthony wilayah itu dikenal dengan nama Paviljoenveld (Lapangan Paviljoen) dan menjadi salah satu dari sekian banyak tanah partikelir di sekeliling Batavia. Dalam perkembangannya, sebelum menjadi taman kota, Lapangan Banteng pernah menjadi kawasan untuk berburu satwa masyarakat kelas atas Batavia hingga menjadi terminal bis antarkota.
Sore itu terjadi kehebohan di lantai tujuh belas salah satu gedung di kawasan Lapangan Banteng. Pak Jono (bukan nama sebenarnya) mendapat kiriman paket. Karena pengirimnya tidak dikenal, Pak Jono membuka paketnya bareng-bareng. Bintang kerlap-kerlip. Langit gonjang-ganjing. Anak ayam melolong. Paket bukan sembarang paket. Dilalah isinya barang klenik, sebuah batu akik dan beberapa lembar mantra. Bukan paket parsel lebaran. Apalagi paket anak gajah. Tertulis penjelasan jika mantra itu untuk mendapatkan nomor togel.
Pak Jono tidak bisa menyangkal. Dicek di aplikasi kepegawaian pun di kantor itu yang namanya Jono ya cuma Pak Jono seorang. Barulah tiga hari kemudian diketahui bahwa paket itu memang bukan untuk Pak Jono. Seorang satpam berpangkat kopral datang ke lantai tujuh belas menanyakan paket itu. Pantas saja namanya tidak ada di aplikasi. Lagi pula tidak semestinya Kopral Jono memberikan alamat kantor untuk pengiriman barang kleniknya.
Terang saja barang klenik itu tidak ada, sudah dibakar Bang Sandi yang memang menggandrungi batu akik. "Batunya palsu kok, dibakar aja meleleh." Kopral Jono hanya bisa merajuk. Konon batu akik dan mantra itu akan digunakan Kopral Jono untuk menyembuhkan ibunya yang sedang sakit. Nahas, tidak satu pun yang mempercayai pleidoi Kopral Jono.
Ternyata batu akik tidak hanya digandrungi orang Indonesia. Orang barat juga menggandrunginya. Tidak hanya Obama yang dihadiahi cincin batu bacan–yang katanya harganya selangit–oleh SBY. Termasuk hal-hal mistis di dalamnya, orang barat juga percaya. Bukan sembarang orang pula yang percaya pada kemampuan mistis batu akik, Napoleon juga percaya jika batu itu bertuah dan dijadikan jimat. Napoleon I dan Napoleon III memakai cincin batu karnelian–batu akik yang ditemukan di India, Brazil, and Uruguay.
Cincin batu akik selalu melingkar di jari manis Napolen I dan Napoleon III. Batu akik tersebut diyakini dapat melindunginya saat menghadapi musuh, menjadikannya kebal peluru dan senjata tajam. Beredar kabar dari mulut ke mulut ada yang percaya jika konon kematian Napoleon I dan Napoleon III karena lupa memakai cincin karneliannya.
Napoleon I kalah dalam Pertempuran Waterloo. Kekalahan pasukan Perancis, di bawah pimpinan Napoleon melawan pasukan Inggris, Belanda, dan Jerman di bawah Jenderal Wellington dan sekutu Prussianya di bawah Feldmarschall Blücher, mengakhiri kekuasaan seratus hari Napoleon dan diikuti dengan akhir dari Kekaisaran Perancis yang Pertama pada 22 Juni 1815. Napoleon menjadi tawanan perang oleh pihak Inggris dan ditahan di Pulau St. Helena di lautan Atlantik hingga meninggal pada 5 Mei 1821 sebagai orang buangan.
Sementara Napoleon III tergeletak tewas dalam Perang Inggris-Zulu. Perang Inggris-Zulu adalah perang yang terjadi pada tahun 1879 antara Britania Raya dan Kekaisaran Zulu.
Mitos cincin Napoleon turut mengilhami tentara Hitler. Hampir semua prajurit memakai cincin batu akik badarbesi yang berasal dari batuan mineral hematite. Selain batu akik badarbesi, ada juga batu akik lainnya yang dipercaya bisa membuat orang jadi kebal. Jimat ini dikenal dengan nama kul buntet, berupa fosil kerang yang terisi dan terlapisi mineral pirit.
Banteng bukan satu-satunya nama hewan yang digunakan untuk menamai wilayah Lapangan Banteng. Tahun 1828, untuk memperingati kemenangan Belanda atas Perancis pada Pertempuran Waterloo, dibangun Monumen Patung Singa (de Nederlandse Leeuw) sama persis dengan yang berada di Waterloo, Belgia, sehingga banyak orang menyebut wailayah itu sebagai Lapangan Singa. Namun, pada saat penjajahan Jepang (tahun 1942) monumen tersebut dihancurkan karena dianggap salah satu tanda kejayaan kolonial Belanda. Kemenangan Belanda di Waterloo pun sempat menginspirasi nama baru tempat ini kala itu menjadi Waterlooplein.
Setelah proklamasi kemerdekaan, Bung Karno mengganti nama Waterlooplein menjadi Lapangan Banteng. “Bangsa Indonesia adalah bangsa banteng, bangsa yang pemberani” ujar Bung Karno dalam salah satu pidatonya. Personifikasi nasional ini dipatrikan oleh Soekarno karena Waterlooplein dianggap simbol kolonialisme yang harus dihapuskan.
Perubahan nama menjadi Lapangan Banteng ternyata belum membuat Bung karno merasa puas. Ia kemudian memerintahkan Henk Ngantung. Ide pembuatan patung tersebut kemudian diterjemahkan Henk Ngantung dalam bentuk sketsa. Ide tersebut tercetus dari pidato Bung Karno di Yogyakarta. Pidato Bung Karno telah menggerakkan massa untuk bertekad membebaskan saudara-saudaranya di Irian Barat dari belenggu penjajahan Belanda. Pelaksanaan pembangunan dilakukan oleh tim pematung Keluarga Arca Yogyakarta pimpinan Edhi Sunarso. Patung Pembebasan Irian Barat berada tepat di lokasi bekas berdirinya Monumen Patung Singa.