Untuk apa? Kata-kata tidak ada gunanya dan selalu sia-sia. Lagi pula siapakah yang masih sudi mendengarnya? Di dunia ini semua orang sibuk berkata-kata tanpa peduli apakah ada orang lain yang mendengarnya. Bahkan mereka juga tidak peduli dengan kata-katanya sendiri. Sebuah dunia yang sudah kelebihan kata-kata tanpa makna. Kata-kata sudah luber dan tidak dibutuhkan lagi. Setiap kata bisa diganti artinya. Setiap arti bisa diubah maknanya. Itulah dunia kita Alina.
Nukilan cerpen Sepotong Senja Untuk Pacarku terasa sangat menyentil. Semua orang sibuk berkata-kata tanpa peduli ada yang mendengarnya atau tidak. Bahkan tanpa peduli terhadap kebenaran kata-katanya. Kemarin misalnya, semua orang sibuk berkata-kata tentang Anies Baswedan yang katanya melakukan Test The Water atau tentang Menteri BUMN yang katanya melarang memakai jilbab lebar. Pada akhirnya diketahui bahwa keduanya keliru. Padahal cerpen itu ditulis Seno Gumira Ajidarma lebih dari dua dekade yang lampau, tetapi tetap menyentil.
Kencangnya perkembangan teknologi informasi menyeret kita ke era baru dalam sejarah peradaban umat manusia. New media atau media baru telah menjadi kekuatan utama yang mempercepat perkembangan masyarakat global dalam dua dekade terakhir. Dengan sifatnya yang digital, konvergen, interaktif, hypertextual, dan virtual, media baru telah membawa interaksi manusia dan masyarakat ke tingkat yang sangat kompleks.
Istilah media baru merupakan sebuah kata yang umum digunakan untuk mendeskripsikan semua bentuk media yang terkoneksi dengan internet. Keberadaan media baru ini didasarkan pada kemampuannya yang merupakan wujud dari pengembangan fungsi media konvensional. Dalam New Media and Cultural Identity in the Global Society, Guo-Ming Chen dan Kai Zhang mengemukakan bahwa kemunculan media baru ini telah melahirkan revolusi informasi, yang merupakan kelanjutan dari revolusi agrikultur dan revolusi industri.
Semangat reformasi informasi yang diusung media baru membuat kita berada pada kondisi paradoks perpaduan otomatisasi sosial dan otonomi individu, yang kemudian membentuk automodernity–sebuah tahapan budaya baru. Automodernity merupakan reaksi terhadap postmodern yang memberikan penekanan pada konflik sosial dan budaya dengan merayakan kemampuan otonomi individu untuk mengeksploitasi ketidak teraturan (unregulated) dan sistem sosial yang otomatis.
Pada era ini, setiap individu maupun kelompok harus meniscayakan diri untuk secara aktif berinteraksi dengan media baru. Ini bukan sekadar untuk mengekspresikan identitas individu atau kelompok, yang lebih penting adalah menggunakan media baru sebagai wadah komunikasi untuk melakukan pemberdayaan maupun pembebasan diri dari segala macam aturan yang membatasi ruang gerak.
Media konvensional seperti koran, majalah, radio, dan televisi tidak lagi menjadi satu-satunya sumber informasi. Informasi membanjir deras dari segala sudut. Jurnalisme lama pun tergeser oleh kehadiran jurnalisme masa kini dengan karakter yang serba cepat dalam mengejar informasi di lapangan. Namun, kemudian banyak yang mempertanyakan kualitas konten yang disampaikan jurnalisme era reformasi informasi. Karena tentu saja, meski ada perubahan, jurnalisme tetap harus berpegang teguh pada prinsip-prinsip jurnalisme profesional.
Dalam BLUR: How To Know What’s True In The Age of Information Overload, Bill Kovach dan Tom Rosenstiel menulis tentang cara mengasah keterampilan verifikasi dengan pola pikir skeptis (skeptical knowing). Dalam jurnalisme masa kini, setiap individu memiliki porsi tanggung jawab yang lebih besar untuk ikut memverifikasi. Sebab itu, kita perlu berpikir skeptis agar tidak menelan bulat-bulat seluruh isi berita yang diterima, tetapi memverifikasinya terlebih dulu untuk mengetahui kredibilitasnya. Apalagi jika berita itu merupakan produk jurnalisme kaum kepentingan atau berita yang berasal dari media sosial.
Memang kita harus melek berita, tetapi bukan berarti semua berita kita perlukan. Pada era ketika informasi membanjir deras, kita perlu melalukan diet informasi. Karena tentu saja tidak semua berita kita perlukan. Jika tidak, bukannya kita ikut berpesta di tengah hingar bingar perayaan reformasi informasi, tetapi malah terjerembab ke dalam kesesatan informasi karena pemberitaan yang keliru.