Menteri Sosial, Khofifah Indar Parawansa, blusukan menemui orang Rimba di Taman Nasional Bukit Duabelas, Jambi. Blusukan ini menyusuli meninggalnya sebelas orang Rimba karena kekurangan pangan. Dalam blusukannya, Khofifah turut memberikan bantuan berupa bahan makanan, pakaian, dan lima belas slof rokok berbagai merk.
Namun, baru lebih dari sepekan kemudian media-media heboh memberitakannya. Gara-garanya adalah siaran pers Tulus Abadi, Anggota Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), yang dilayangkan ke banyak meja redaksi. Dalam siaran persnya, YLKI mempersoalkan pembagian rokok oleh Khofifah. Menurutnya, hal tersebut bahkan melanggar PP 109 Tahun 2012, di mana siapapun dilarang membagikan produk rokok secara cuma-cuma kepada siapapun, dan bla bla bla.
Saya bukan perokok. Seumur-umur, tidak pernah sekali pun saya merokok. Dulu Bapa adalah seorang perokok. Tetapi ketika saya lahir, Bapa sudah berhenti merokok. Mungkin karena itu pula saya tidak menjadi perokok–faktor lingkungan. Saya bisa pusing sampai mual-mual ketika mencium bau asap rokok. Karena itu, saya sangat tidak suka dengan orang yang suka merokok sembarangan. Pernah saya batal mudik hanya gara-gara mendapat kursi di bagian belakang bis yang merupakan ruangan merokok. Padahal saya sudah mengantre di terminal selama berjam-jam.
Meski begitu, saya tidak ingin ikut menghakimi apa yang dilakukan Khofifah sebagai sesuatu yang tragis, menyalahi aturan, bertolak belakang dengan program mengurangi kemiskinan, atau apa pun itu. Saya tidak ingin membabi buta membenci rokok. Saya bisa menghormati seorang yang sedang merokok di tempat khusus merokok, bukan di toilet, transportasi umum, atau ruang publik lainnya. Bahkan, ketika berkunjung ke rumah Ua, yang merupakan seorang perokok, saya kerap membawakan sebungkus rokok untuknya.
Mungkin alasan saya untuk tidak membabi buta membenci rokok tidak jauh berbeda dengan alasan YLKI bersuara keras soal rokok. Satu kenyataan yang tidak dapat dielakkan bahwa YLKI adalah salah satu LSM penerima dana kampanye anti-rokok dari Bloomberg Initiative. Konon, tiga tahun lalu saja jumlahnya mencapai Rp5,5 miliar. Bukan kebetulan pula jika siaran pers yang dilayangkan YLKI ke banyak meja redaksi tadi bertepatan dengan pengumuman dari Bloomberg Philantropies dan Bill and Melinda Gates Foundation tentang dana baru anti-rokok. Konon angkanya mencapai Rp4 triliun.
Sebagai seorang fiskus, saya paham betul jika negara mendapat keuntungan dari industri rokok yang telah ikut mendanai APBN, dalam hal penerimaan perpajakan. Tahun lalu saja, Pendapatan Cukai Hasil Tembakau melampaui angka Rp100 triliun. Sebuah angka yang cukup fantastis. Angka yang berhasil mengalahkan Pendapatan PPh Migas dan hanya terpaut sedikit dari Pendapatan PPh Pasal 21.
Saya tidak akan keberatan jika dikatai sebagai antek kapitalis. Toh itu hanya kata orang. Toh ketika berbicara tentang perpajakan, kita kerap menyinggung ajaran The Four Maxims-nya Adam Smith, salah seorang pelopor sistem ekonomi kapitalis yang terkenal dengan buku An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations.
Lagi pula, sistem ekonomi yang kita anut saat ini–yang katanya merupakan sistem ekonomi kerakyatan, sistem ekonomi demokrasi, sistem ekonomi Pancasila, atau apa pun namanya–adalah sebuah sistem ekonomi yang sedikit mirip dengan sistem ekonomi campuran, sebuah sistem ekonomi yang merupakan kombinasi antara “sisi baik” dari sistem ekonomi liberalis-kapitalis dan sosialis-komunis. Artinya, kita harus mengakui bahwa masih ada darah kapitalis dalam sistem ekonomi kita.
Saya selalu percaya jika di dunia ini tidak ada yang benar-benar
independen. Satu-satunya yang independen hanyalah Tuhan. Sementara kita,
makhluk-Nya, akan selalu bergantung kepada makhluk lainnya. Hal inilah
yang pada akhirnya akan mempengaruhi tidak-tanduk kita.
Sebagai seorang fiskus saya tahu industri rokok telah ikut berkontribusi untuk membuat dapur APBN tetap mengepul. Saya pun paham dengan posisi YLKI yang juga harus menjaga agar dapurnya tetap mengepul. Bukan tidak mungkin, masih ada banyak dapur yang bergantung pada asap rokok, baik itu kalangan pengusaha rokok, negara, maupun LSM yang mendapat milyaran bahkan triliunan dana kampanye anti-rokok.