Untuk mewujudkan visi misinya, pemerintahan Jokowi-JK memiliki sembilan agenda prioritas. Kesembilan agenda ini disebut sebagai Nawa Cita (9 Agenda Perubahan). Salah satunya adalah “Daulat Energi Berbasis Kepentingan Nasional”. Tentu saja, untuk menjalankan agenda tersebut Jokowi-JK masih mempunyai banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan, termasuh pekerjaan rumah di sektor batubara.
Pekerjaan rumah tersebut berpangkal pada desentralisasi kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah yang dibungkus dalam otonomi daerah. Pada era reformasi, daerah diberikan kewenangan yang lebih karena adanya kesenjangan pembangunan antardaerah selama pemerintahan orde baru. Pemberian kewenangan yang lebih besar kepada daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan publik diiringi dengan tanggung jawab yang semakin besar pula. Ibarat kata Spiderman, “With great power comes great responsibility.”
Sayangnya, tidak semua pemerintah daerah mempunyai kapasitas dan kapabilitas yang sama, termasuk dalam mengelola izin tambang. Otonomi daerah ditafsirkan keliru sebagai kewenangan mutlak untuk mengobral izin tambang. Jumlah izin tambang meningkat tajam dalam satu dekade terakhir, dari 350 pada 2004 menjadi 10.922 pada 2014. Dari 10.922 izin tambang, baru sekitar 6.042 pemegang Ijin Usaha Pertambangan (IUP) yang bersertifikat Clean and Clear (CnC). Selebihnya masih belum CnC, yang artinya masih banyak yang tidak membayar pajak karena tidak mempunyai NPWP. Ditjen Minerba juga mencatat, sejak 2005 hingga 2013, piutang negara tercatat sebesar Rp1.308 miliar, terdiri dari iuran tetap Rp31 miliar (2,3%) dan royalti sebesar Rp1.277 miliar (97,6%).
Bagi-bagi izin tambang kerap meningkat menjelang dan pascapilkada, meningkat menjelang pilkada ketika petahana mencari suntikan dana kampanye dan meningkat pascapilkada ketika yang terpilih hendak mengembalikan modal kampanyenya. Akibatnya, Indonesia menduduki urutan eksportir batubara nomor satu di dunia, mengalahkan Amerika, Rusia, dan Tiongkok–tiga negara dengan cadangan batubara terbesar. Dari lima besar negara ekportir batubara, Indonesia adalah yang paling sedikit memiliki cadangan batubara, yaitu 3,3% dari cadangan batubara (2010).
Pada umumnya, negara-negara dengan angka produksi batubara yang besar memprioritaskan produksinya untuk kebutuhan domestik. Amerika Serikat menggunakan lebih dari 95% produksi batubaranya untuk konsumsi domestik. Dua raksasa ekonomi Asia, Tiongkok dan India, juga memilih memanfaatkan sebagian besar batubaranya untuk keperluan domestik sebagai sumber energi pembangunan ekonomi ketimbang sebagai komoditi ekspor. Kondisi serupa juga terjadi di Rusia, Polandia, dan Afrika Selatan. Lebih dari 70% produksinya digunakan untuk konsumsi dalam negeri.
Semua itu sangat bertolak belakang dengan Indonesia. Dalam Keputusan Menteri ESDM Nomor 29016 K/30/MEM/2013 kebutuhan batu bara domestik diperkirakan mencapai 95,55 juta ton. DMO batubara dipasok untuk kebutuhan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) milik PT PLN sebesar 57,4 juta ton, sejumlah 19,9 juta ton dipasok PLTU milik swasta atau independent power producer (IPP), dan sisanya untuk kebutuhan industri semen dan industri lain.
Nahasnya, angka ekspor yang sangat besar itu tidak diimbangin dengan besarnya pendapatan negara dari sektor batubara. Tidak tanggung-tanggung, dalam hasil kajian yang dipublikasikan tahun 2013, KPK menghitung terdapat ratusan triliun rupiah potensi pendapatan negara yang tidak terpungut setiap tahunnya.
Melihat cadangan batubara yang hanya tinggal sekelumit dengan angka eksploitasi yang demikian gemuknya, diperkirakan dalam kurun dua dekade mendatang Indonesia akan mengimpor batubara. Maka tarif listrik akan meningkat yang diikuti dengan melambungnya harga barang, yang tentu saja akan menimbulkan gejolak di dalam negeri.
Sebagai tindak lanjut dari hasil kajiannya, KPK melakukan koordinasi dan supervisi dengan beberapa instansi terkait baik di jajaran pemerintah pusat maupun pemerintah daerah di 12 provinsi. Hasilnya, sekitar 400 IUP telah dicabut. Royalti dari minerba pun naik sekitar Rp5 triliun.