Ketika penerimaan migas tidak lagi mampu menjadi tulang punggung penerimaan negara, pemerintah mulai menggenjot penerimaan perpajakan. Pada prinsipnya, setelah membayar pajak, masyarakat harus bisa menikmati layanan pemerintah secara gratis. Semestinya, ketika membuat SIM atau bahkan kuliah di PTN, masyarakat tidak lagi harus dikenakan pungutan selain pajak. Namun, penerimaan perpajakan saja belum mampu untuk menjaga agar dapur APBN tetap mengepul. Karena itu, biaya-biaya atas layanan pemerintah kemudian ditanggung bersama oleh pemerintah dan masyarakat melalui pungutan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
Jenis dan tarif PNBP diatur dalam Pasal 2 dan 3 UU PNBP. Besaran tarif PNBP ditetapkan dengan mempertimbangkan dampak pengenaannya terhadap masyarakat, beban biaya yang ditanggung pemerintah atas penyediaan layanan, serta aspek keadilan dan kewajaran beban yang harus ditanggung masyarakat. Akan tetapi, sebaik-baiknya peraturan dirancang tetap saja sulit untuk memuaskan semua pihak, apalagi peraturan terkait pungutan, termasuk Pasal 2 ayat (2) dan (3) serta Pasal 3 ayat (2) UU PNBP. Pasal-pasal tersebut berulang kali digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Pasal-pasal tersebut dianggap merugikan atau setidaknya berpotensi merugikan hak konstitusional. Pasal-pasal dalam UU PNBP yang memberikan wewenang kepada pemerintah untuk menetapkan jenis dan tarif PNBP dengan Peraturan Pemerintah (PP) dianggap sebagai bentuk dari tidak adanya jaminan atas kepastian hukum yang adil dalam hal pungutan PNBP. Adanya kata “atau” dalam rumusan Pasal 3 ayat (2) UU PNBP yang merupakan pilihan atau alternatif pengaturan atas penetapan jenis dan tarif PNBP, yaitu dengan PP atau UU, dianggap sebagai rumusan norma yang tidak memberikan kepastian dan keadilan hukum.
Pasal-pasal dalam UU PNBP tersebut dianggap bertentangan dengan Pasal 23A UUD 1945, yang berbunyi “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan Undang-Undang.” Norma konstitusi tersebut diinterpretasikan tegas mengatur bahwa pungutan negara baik dalam bentuk pajak maupun pungutan lain yang bersifat memaksa harus dilakukan berdasarkan UU. Konsep tersebut dikenal dan dipraktikkan di negara-negara maju. Di Inggris misalnya, terkenal dalil No taxatio without representation. Maka penetapan jenis dan tarif PNBP di Indonesia yang dilakukan dengan PP dinggap telah bertentangan dengan konstitusi.
Benarkah demikian?
Jika kita baca dengan lebih cermat, sejatinya UU PNBP merupakan pelaksanaan amanat Pasal 23A UUD 1945. Sebagai pelaksanaan amanat Pasal 23A UUD 1945, UU PNBP mengatur kriteria wajib bayar, tata cara pembayaran, sampai prosedur penagihan PNBP. Pemberlakuan Pasal 2 ayat (2) dan (3) dan Pasal 3 ayat (2) UU PNBP membuktikan bahwa negara telah memberikan pengakuan, jaminan, dan perlindungan hukum terhadap pemungutan PNBP. Maka, pengaturan jenis dan tarif PNBP dalam PP merupakan bentuk pemenuhan amanat UUD.
Selain itu, jika jenis dan tarif PNBP, yang jumlahnya sangat banyak itu–lampiran satu PP jenis dan tarif PNBP bisa sampai beratus-ratus halaman, harus secara detil diatur dengan undang-undang maka akan ketinggalan zaman karena apresiasi kenaikan tarif sangat fluktuatif, sehingga tidak mungkin diatur dalam undang-undang. Untuk menyusun satu undang-undang bisa menghabiskan waktu sampai tiga tahun. Itu pun kalau lancar. Kalau tidak, bisa lebih lama lagi. Jika ini terjadi, akan semakin banyak potensi penerimaan negara yang tidak terpungut dan negara akan semakin sulit mewujudkan kesejahteraan umum sebagaimana termaktub dalam pembukaan UUD 1945.
Mungkin sebaiknya kita akhiri saja drama adu pasal dalam UU PNBP dengan pasal dalam UUD 1945 ini. Tidak ada gunanya. Dari dulu sampai sekarang, MK selalu menolak gugatan terhadap pasal-pasal tersebut. Anehnya, sampai saat ini masih saja ada yang menggugat pasal-pasal tersebut. Bahkan hakim konstitusi sampai pernah menyarankan agar penggugat terlebih dulu membaca putusan-putusan MK atas gugatan terhadap pasal-pasal tersebut sebelum maju ke MK.