Sampai beberapa tahun terakhir, jika dibandingkan dengan industri media, industri keuangan mendapat pengaruh perkembangan teknologi yang terbilang masih relatif lebih kecil. Baru belakangan ini, sekelompok perusahaan memanfaatkan perkembangan teknologi untuk menantang sistem keuangan tradisional yang telah lama bercokol. Dua di antaranya adalah Bitcoin dan TransferWise. Nama yang disebut terakhir adalah layanan valuta asing peer-to-peer antarnegara tanpa menggunakan jasa perbankan.
Sama seperti sektor keuangan komersial, mau tidak mau, sektor keuangan publik pun harus mengikuti laju perkembangan teknologi. Lagi pula, untuk mengurangi permasalahan yang kerap masih terdengar, semisal keterbatasan waktu layanan setoran di loket perbankan dan tidak adanya Bank/Pos Persepsi di beberapa daerah karena kondisi geografis maupun ekonomis, pemerintah harus ikut menceburkan diri ke dalam arus perkembangan teknologi. Tidak hanya itu, akan lebih baik lagi jika pemerintah dapat menghilangkan pengenaan biaya atas transaksi penerimaan yang terkadang masih dikeluhkan oleh masyarakat.
Baru-baru ini, Kementerian Keuangan telah meluncurkan Modul Penerimaan Negara Generasi 2 (MPN G2), yang merupakan sistem penerimaan negara secara elektronik. MPN G2 bertujuan untuk mempermudah masyarat dalam membayar penerimaan negara. Dengan moto Praktis, Cepat, dan Aman, diharapkan transaksi terkait penerimaan negara dapat dilakukan secara mandiri tanpa terikat waktu dan menekan jumlah kesalahan.
Sayangnya, penerapan teknologi pada sektor keuangan publik sedikit ternodai ketika mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM, Denny Indrayana, ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi proyek Payment Gateway. Payment Gateway adalah proyek sistem pembayaran online dalam pembuatan paspor di Direktorat Jenderal Imigrasi, Kementrian Hukum dan HAM. Payment Gateway sendiri bukan merupakan pengembangan Sistem Informasi Manajemen Keimigrasian (SIMKIM), sistem yang sebelumnya sudah ada, karena tidak ada dalam cetak birunya.
Kasus Payment Gateway ini pertama kali terendus dalam temuan dari dua audit yang dilaksanakan oleh BPK, dalam hal ini Auditor Keuangan I di tahun 2014. Audit pertama berkaitan dengan pemeriksaan kinerja pelayanan paspor di Ditjen Imigrasi. Audit kedua adalah pemeriksaan dengan tujuan tertentu, yaitu PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak).
Jika kita kembali pada fundamen perbendaharaan negara, akan lebih mudah bagi kita untuk memahami kasus Payment Gateway ini. Sesuai Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, penetapan sistem penerimaan kas negara dan penunjukkan bank dan/atau lembaga keuangan lainnya dalam rangka pelaksanaan penerimaan negara adalah kewenangan Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara (BUN), bukan kewenangan menteri atau pimpinan lembaga negara teknis.
Menurut fundamen tersebut, semestinya menteri atau pimpinan lembaga negara teknis yang merupakan Chief Operating Officer (COO) tidak perlu mencampuri kewenangan Menteri Keuangan sebagai Chief Financial Officer (CFO). Menteri atau pimpinan lembaga negara teknis hanya berfokus untuk memberikan layanan kepada masyarakat sesuai dengan tugas dan fungsinya. Sementara itu, masalah pengelolaan keuangan negara biarlah menjadi urusan Menteri Keuangan. Pembagian atau pemisahan kewenangan seperti ini jelas diperlukan untuk menghindari pemusatan kekuasaan atau wewenang pada satu pihak.
Selain itu, Payment Gateway juga melibatkan dua vendor sebagai payment aggregator. Payment aggregator adalah penghimpun dana pembayaran paspor dari pemohon, sehingga penerimaan negara tidak langsung disetor ke Rekening Kas Umum Negara (RKUN), baru beberapa hari kemudian masuk ke RKUN. Ini bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak, di mana seluruh PPNBP wajib disetor langsung secepatnya ke Kas Negara. Maksud langsung dan secepatnya di sini adalah menjadi prioritas dan dilaksanakan pada kesempatan pertama.
Penampungan dana pembayaran paspor di rekening vendor ini menjadi sorotan utama aparat penegak hukum karena belum mengantongi izin dari BUN dan menimbulkan bunga yang menguntungkan vendor. Belum lagi, kedua vendor tersebut juga mendapatkan fee untuk setiap transaksi, Rp5.000,00 untuk Nusa Satu dan Rp4.500,00 untuk Finnet. Fee tersebut dibebankan kepada wajib bayar. Padahal penyetoran penerimaan negara seharusnya gratis, surat setoran saja seharusnya gratis, disediakan oleh negara.
Pernah ada Bank Persepsi yang izinnya dibekukan oleh Kementerian Keuangan sehingga tidak dapat menerima transaksi penerimaan negara. Tetapi hal tersebut tidak diumumkan kepada nasabahnya dan bank tersebut tetap menerima setoran penerimaan negara. Mereka kemudian bekerja sama dengan bank lain untuk menyetorkannya ke RKUN. Artinya, tidak menerima fee pun sebenarnya Bank Persepsi sudah mendapat keuntungan. Saat ini Bank/Pos Persepsi menerima Rp5.000,00 per transaksi penerimaan negara yang diterima da divalidasi dengan Nomor Transaksi Penerimaan Negara (NTPN). Fee atau imbal jasa tersebut dibebankan kepada negara.
Tulisan ini hanya analisis fundamental sederhana terkait pengelolaan keuangan negara agar di kemudian hari kita tidak lagi terjerumus ke dalam lubang yang sama. Karena itu, perlu saya garis bawahi bahwa soal apakah kasus ini memang masuk ke ranah pidana atau bukan, dan apakah Denny Indrayana terbukti melakukan tindak pidana korupsi atau tidak, adalah urusan penegak hukum yang harus dibuktikan di pengadilan. Kita tunggu saja proses hukumnya.