zORB44u1Y5Szogk9hvRg5anbZDydcDDjseaSpgOw

Monetisasi Waktu Alakadarnya


Saya punya kebiasaan untuk selalu menyampul buku. Hampir semua buku saya sampul sendiri. Jika ditengok ke belakangan, kebiasaan ini sudah saya lakukan sedari SD. Waktu itu, buku-buku tulis selalu saya sampul berlapis. Pertamanya saya sampul dengan sampul warna cokelat, bergambar. Terakhir dipoles dengan sampul plastik bening. Di sampul warna cokelat biasanya ada wejangan, peribahasa, semisal rajin pangkal pandai, hemat pangkal kaya, atau waktu adalah uang. Peribahasa-peribahasa yang memang sangat umum.

Kadang kala saya suka bingung sendiri tentang bagaimana implementasi dari peribahasa waktu adalah uang, peribahasa yang juga dikenal orang barat sebagai time is money. Saya paham bahwa misalnya bagi seorang pekerja yang memanfaatkan waktunya untuk bekerja, ia akan mendapatkan uang. Tapi bagaimana cara memonetisasi atau mengonversi yang waktu si pekerja tadi ke dalam bentuk uang? Juga tentang bagaimana menilai waktu seseorang bisa disebut lebih berharga dibandingkan dengan waktu orang lainnya.

Untuk menjawab rasa penasaran itu terkadang saya menebak-nebak. Misalnya, Arif yang digaji dua juta per bulan oleh perusahaannya. Maka, untuk mengetahui berapa harga waktu Arif selama sejam adalah dengan membaginya empat, menjadi per minggu. Lalu saya bagi lagi dengan angka lima, menjadi per hari kerja. Kemudian untuk mengetahui monetisasinya selama sejam, angka itu saya bagi lagi menjadi delapan. Delapan adalah jumlah jam kerja Arif selama sehari. Begitulah keisengan saya dalam menghitung monetisasi waktu Arif per jamnya.

Perhitungan monetisasi jam kerja Arif itu hanya hitung-hitungan sederhana dengan asumsi cēterīs pāribus. Dalam praktiknya, tentu perhitungannya tidak akan sesederhana itu. Sabtu kemarin, saya melihat sendiri bagaimana sebuah perusahaan memonetisasi waktu. Betul saja, karena mungkin rumitnya cara berhitung, saya sampai tidak paham kenapa waktu saya selama hampir empat jam cuma dihargai dengan segelas Pop Mie dan sebotol Aqua. Padahal, waktu empat jam itu rencananya akan saya habiskan bersama keluarga, bermalam Minggu bersama isteri dan anak saya.

Ceritanya berawal ketika saya naik kereta api. Tut tut tut. Kereta melaju dari Stasiun Gambir, meninggalkan ibukota. Nahas, sampai di Stasiun Dawuan kereta terhenti. Saya dengar lokomotifnya mogok dan harus menunggu lokomotif cadangan dari Cirebon. Lama berselang kereta melaju kembali. Karena masih menggunakan lokomotif rusak, kereta kembali terhenti di Stasiun Cikampek.

Mengisi perut yang sudah keroncongan, saya mendatangi gerbong restorasi. Beruntung masih ada dua porsi nasi goreng. Sembari menyantap salah satunya saya mendengar percakapan kru kereta dengan penumpang lain. Katanya, jika kereta terlambat lebih dari tiga jam, penumpang akan mendapatkan Pop Mie. Karena kereta sudah diperkirakan akan terlambat lebih dari tiga jam, PT KAI sudah menyiapkan Pop Mie di Stasiun Cirebon. Benar saja, lewat Stasiun Cirebon saya dibangunkan dari tidur lelap oleh kru kereta yang sibuk membagikan Pop Mie dan Aqua.

Terima kasih PT KAI. Terima kasih untuk Pop Mie dan Aqua yang sangat lezat ini. Terima kasih sudah memberitahu saya bagaimana mestinya saya menghargai waktu. Kini saya sudah tidak bingung lagi tentang bagaimana mestinya memonetisasi waktu. PT KAI sudah dengan baik hati memberi tahu saya bahwa harga untuk waktu selama hampir empat jam yang bisa saya habiskan bersama keluarga adalah senilai dengan harga segelas Pop Mie dan sebotol Aqua.
Baca Juga
Abah
Generasi Micinial

Artikel Terkait

Posting Komentar