Entah sejak kapan, di negeri ini, jomblo dianggap sebagai second class society. Narasi dan imaji tentangnya dikonstruksi secara negatif. Padahal, jomblo juga memiliki perasaan: bisa merasakan cemburu, galau, berharap, putus asa, dan rasa-rasa lain yang dirasakan oleh manusia yang sudah berstatus ganda campuran. Jangan lupa bahwa setiap dari kita juga terlahir sebagai jomblo.
Miris rasanya melihat nasib jomblo yang dipandang sebelah mata dan dianggap layak untuk dijadikan bahan ejekan. Padahal, dalam membangun negeri, peran jomblo cenderung lebih besar daripada ganda campuran. Coba hitung, lebih besar mana PTKP jomblo (TK/0) atau ganda campuran (K/0)? Nah, baru deh ketahuan kalau pajak yang dibayar jomblo cenderung lebih besar dibandingkan dengan pajak yang dibayar ganda campuran.
Namun, harus kita garis bawahi bahwa premis tersebut hanya berlaku bagi jomblo istiqomah, yang setia pada prinsip kesetiaan. Tidak dengan jobil, jomblo labil. Jomblo istiqomah tidak tercipta dari individu-individu yang tetap mempertahankan hubungannya dengan alasan setia kepada pasangannya yang sudah berkhianat. Karena bagi jomblo istiqomah, kesetiaan adalah pada komitmennya, bukan kepada orangnya.
Selain itu, ciri lain dari jomblo istiqomah adalah berbakti pada nusa, bangsa, negara, dan agamanya. Bentuk nyata dari berbakti pada negara adalah taat membayar pajak. Jomblo istiqomah selalu taat membayar pajak, karena pajak adalah untuk menyatukan hati dan membangun negeri, sebagaimana yang dijanjikan pemerintah kepada para wajib pajak.
Nahasnya, setelah sunset policy jilid 2 yang digulirkan tahun 2015 ini, pemerintah juga memunculkan wacana pengampunan pajak (tax amnesty), sebuah kebijakan yang sangat tidak pro-jomblo. Bisa dibayangkan betapa perihnya luka hati yang tertorehkan. Di saat jomblo istiqomah selalu setia untuk membayar pajak dengan tertib, pemerintah justru memberi maaf kepada para pengemplang pajak, para pengkhianat. Mungkin sakitnya ibarat pacar yang tiba-tiba memutuskan tali perpacaran karena memilih untuk kembali dan memaafkan mantannya yang sudah berkhianat.
Memang, pemerintah juga memiliki wacana untuk memenuhi janjinya kepada jomblo istiqomah, janji untuk menyatukan hati dengan menaikkan PTKP. Ketika PTKP naik, otomatis jumlah pajak terutang menjadi lebih kecil. Inilah alternatif bagi pemerintah agar dapat membantu jomblo istiqomah menyatukan hati. Tidak usah munafik, menyatukan hati itu perlu modal. Lagi pula, mau dikasih makan apa anak orang nanti? Cinta saja tidak cukup.
Pada akhirnya, kita hanya bisa berharap agar kebijakan yang akan diambil bisa lebih pro-jomblo. Karena walau bagaimanapun, pemerintah pernah mengiming-imingi jomblo dengan slogan “Pajak: Menyatukan Hati, Membangun Negeri”. Jangan lantas pemerintah mengkhianatinya dan menorehkan luka di hati. Jika janji itu tidak ditepati, toh pemerintah juga yang akan dipusingkan. Negara ini butuh generasi penerus. Dan, tanggung jawab untuk melahirkan generasi penerus itu juga ada di pundak para jomblo.
sunpol jilid II dan tax amnesty beda konteks lho, Mas... Tax Amnesty lebih difokuskan bagi dana yang parkir di luar negeri. dua hal ini tentu skemanya berbeda. sebagai mantan jomblo tentu saya tetap istiqomah agar tidak kembali jadi jomblo..hahaha
BalasHapusBetul Pak, tapi tetap saja sama-sama melukai hati jomblo istiqomah yang selalu taat bayar pajak. Haha
Hapus