zORB44u1Y5Szogk9hvRg5anbZDydcDDjseaSpgOw

Ongkos Pelaju


Dua hari kemarin, hari Minggu, kami berangkat ke Car Free Day Sudirman-Thamrin. Sebetulnya, misi utamanya adalah ikut menyosialisasikan Ruang Berbagi Ilmu (RuBI), satu kerumunan dalam Gerakan Indonesia Mengajar. Karena belum bisa ikut berkerumun, Jagoan hanya berlarian kian kemari. Ia amat antusias melihat banyak anjing di Car Free Day. “AUUUMM!”, teriak Jagoan sewaktu anjing lewat di depannya. Ia menganggap semua binatang berkaki empat bersuara seperti harimau yang ditemuinya di Kebun Binatang Ragunan.

Car Free Day adalah satu inisiatif untuk mengurangi tingkat pencemaran udara di kota-kota besar di seluruh dunia yang disebabkan oleh kendaraan bermotor. Di Jakarta, kendaraan bermotor adalah sumber emisi terbesar. Emisi yang dihasilkan menjadi semakin masiv dan berlipat ketika Jakarta masih belum bisa lepas dari kemacetan.

Selain merusak lingkungan, kemacetan di Jakarta juga merugikan secara finansial. Menurut Masyarakat Transportasi Indonesia, ongkos kemacetan di Jakarta mencapai kisaran Rp150 triliun per tahun. Ongkos kemacetan tersebut belum memperhitungkan biaya kerugian kesempatan usaha karena waktu habis di jalan, termasuk potongan gaji bulanan akibat telat masuk kantor, seperti yang kerap saya alami.

Di satu kesempatan, Kepala Kantor Bank Indonesia Perwakilan DKI Jakarta, Doni Primanto Joewono, pernah bilang bahwa gaji orang Jakarta itu habis untuk biaya transportasi. Menurutnya, hal itu turun berperan dalam “memiskinkan” orang Jakarta. Argumennya itu mengamini statistik yang dilansir Badan Pusat Statistik. Dalam statistik tersebut, penduduk miskin Jakarta pada Maret 2016 adalah 384,30 ribu orang (3,75 %). Angka tersebut meningkat 15,63 ribu orang (0,14 %) dibanding September 2015, yakni 368,67 ribu orang (3,61 %).

Saya termasuk yang sepakat dengan pendapat Doni tersebut. Karena saya pun, minimal, harus menyisihkan 20% gaji untuk ongkos transportasi. Ongkos yang sangat mahal jika disejajarkan dengan kota-kota lain di Indonesia, bahkan di dunia. Sayangnya, ongkos semahal itu belum mampu memberikan keamanan dan kenyamanan bagi kami, pelaju di ibu kota. Itu pun, sebagian ongkos pergi dan pulang kerja saya sudah disubsidi pemerintah.

Iya, saya naik Commuter Line. Perjalanan Commuter Line mendapat kucuran subsidi pemerintah melalui dana Public Service Obligation (PSO) kereta api. Dana tersebut digunakan untuk menyubsidi penumpang Commuter Line melalui kebijakan tarif. Tarif per 25 km pertama adalah Rp5.000,00. Tarif itu disubsidi pemerintah sebesar Rp3.000,00. Tiap 10 km berikutnya pelaju juga hanya dikenakan sepatuh tarif atau Rp1.000,00 saja setelah dikenakan subsidi.

Selain subsidi, perang harga penyedia jasa transportasi daring juga secara tidak langsung dapat sedikit menguntungkan pelaju di Jakarta. Misal, ongkos ojek yang sebelumnya Rp25.000,00, kini bisa cuma Rp2.500,00. Kapitalis ya?

Entah, saya tidak tahu kapan mimpi buruk pelaju Jakarta ini akan berakhir. Mungkin, satu waktu nanti, tidak akan ada lagi pelaju di Jakarta, tidak akan ada lagi orang yang pergi ke kantor. Semua orang bekerja di rumah, termasuk tukang tahu bulat. Mereka berjualan menggunakan drone. Tahu buleud, dianteur dina drone, dadakan, gurih gurih nyoi!
Baca Juga
Abah
Generasi Micinial

Artikel Terkait

Posting Komentar