zORB44u1Y5Szogk9hvRg5anbZDydcDDjseaSpgOw

Bingkai Informasi


Macet adalah persoalan pelik yang kelihatannya belum akan angkat kaki dari kolong langit Jakarta. Karenanya, macet adalah kambing hitam paling banal yang kerap diutarakan orang Jakarta, seperti saya. Pagi ini, saya kembali menjadikan macet sebagai kambing hitam yang membuat saya terlambat absen pagi.

Seperti hari-hari kemarin, sebelum berangkat ke kantor saya mengantar anak dan/atau isteri lebih dulu. Apesnya, di tengah ramainya lalu lintas pagi tadi, tiga buah truk besar pengaduk semen bergantian parkir keluar dan masuk area proyek pembanguran perumahan. Sejatinya saya sudah pasrah dan tidak menaruh harapan lebih untuk dapat mengejar absen.

Harapan itu bersemi kembali ketika pukul tujuh teng saya sudah berhasil masuk ke dalam gerbong kereta. Saya pun tiba di Stasiun Gondangdia sepuluh menit kurang dari pukul delapan. Dalam kondisi normal, itu sudah lebih dari cukup. Apalagi saya langsung dapat Uber. Pengemudinya sampai heran ada orang yang tiba-tiba menyetopnya dipinggir jalan beberapa detik setelah ia mendapat order. 

Sampai di belokan Pertamina, saya mulai menaruh curiga. Ternyata benar, demonstran yang mengular keluar dari komplek Masjid Istiqlal menyeberang ke arah Kementerian Agama. Mereka adalah ribuan petani kentang dari Dieng yang jauh-jauh datang ke Jakarta agar aspirasinya didengar. Gara-gara aksi demonstrasi itu saya jadi terlambat datang ke kantor. Gaji saya dipotong. Namun, bagi saya itu masih lebih baik daripada demokrasi kita dibungkam. Puluhan tahun kita pernah mengalaminya, hidup di bawah rezim tangan besi orde baru, dan itu teramat memilukan.

Jumlah mereka, para petani Dieng itu, memang tidak sebanyak peserta aksi pada 2 Desember kemarin.Tapi kan kebenaran bukan perihal jumlah. Kebenaran bukan kehendak mayoritas yang dipaksakan. Kebenaran tidak tunduk pada dominasi teror mayoritas yang menolak kritik. Tidak ada mayoritas-minoritas dalam kebenaran. 

Hari ini Cak Munir berulang tahun. Kebetulan hari ini juga hari Kamis. Setiap hari Kamis selalu digelar Aksi Kamisan di depan Istana Negara, Jakarta. Aksi itu sudah diadakan sejak Kamis 18 Januari 2007. Sudah hampir satu dekade. Aksi Kamisan ditujukan sebagai upaya untuk memperjuangkan hal-hal yang masih tanda tanya. Aksi kamisan juga untuk mengungkap kebenaran, mencari keadilan, dan melawan lupa. 

Aksi diam, berdiri dengan payung hitam, berusaha merawat ingatan, bertahan mempertanyakan, mengingatkan, bahwa kasus-kasus pelanggaran HAM masih belum ada penyelesaiannya. Termasuk kasus pembunuhan Cak Munir. Peserta Aksi Kamisan memang tidak sampai membanjiri Lapangan Silang Monas. Tapi itu tidak berarti kebenaran yang mereka perjuangkan adalah sepele. Sekali lagi, karena kebenaran bukan soal jumlah.

Begitu pula dengan para Petani Rembang yang sedang berjalan jauh (long march) menuju Semarang untuk mengawal Putusan PK Mahkamah Agung atas kasus semen Rembang. Sebelum berangkat mereka lebih dulu nyekar juga tahlilan di makam R. A. Kartini dan mampir ke pondok Gus Mus. Selesai meminta doa dan restu Gus Mus mereka mulai berjalan kaki. “Berjuanglan dengan kesederhanaan.” demikian Gus Mus berpesan. Jumlah mereka memang tidak ribuan. Tapi itu tidak membikin mereka ciut memperjuangkan kebenaran.

Jadi, kalau ada paksi-paksi yang memperdebatkan jumlah peserta satu aksi massa sesungguhnya mereka sudah terseret ke dalam lubang pembingkaian (framing) media. Media melakukan pembingkaian untuk menggiring opini publik. Pembingkaian tidak berbohong. Ia menyeleksi informasi, menonjolkan aspek tertentu, dan/atau meniadakan informasi tertentu agar menimbulkan citra, makna, atau kesan tertentu yang dikehendaki.

Dengan menggiring publik pada perdebatan ihwal jumlah peserta aksi, injak rumput atau tidak, boikot roti, dan hal remeh semacamnya, sejatinya, secara perlahan mereka telah mengikis pesan yang ingin disampaikan dari aksi massa tersebut. Media tentu sangat diuntungkan dengan pembiangkaian seperti ini. Gorengan informasi yang mereka tulis menjadi laris manis.

Kenyataan pahitnya, kita belum siap berhadapan dengan berita hasil pembingkaian media. Akibatnya, bukan hanya yang diperjuangkan dalam Aksi 212 saja yang terkubur oleh pembingkaian media melalui penonjolan perdebatan sepele tersebut. Tapi yang diperjuangkan dalam Aksi Kamisan, aksi petani Dieng, dan aksi petani Rembang juga ikut terkubur. Persis kata Tan Malaka, kita memang lebih suka mempertentangkan perkara kecil, remeh-temeh, dan melupakan pokok yang besar.
Baca Juga
Abah
Generasi Micinial

Artikel Terkait

Posting Komentar