zORB44u1Y5Szogk9hvRg5anbZDydcDDjseaSpgOw

Emansipasi Abah

Ruang Publik untuk Ayah

Perkara paling rumit yang dihadapi para abah adalah kurangnya waktu berkualitas bersama anak. Apalagi bagi kami, para abah, yang tinggal di tepian Jakarta tapi kerja di jantung kota Jakarta. Pergi pagi pulang pagi malam adalah satu hal yang tidak dapat dihindari. Lebih nahas lagi, abah pelaku PJKA alias pergi Jumat kembali Ahad, yang hanya berjumpa anak saat pakansi di penghujung minggu. Saya pernah mengamalkannya. Buahnya, Jagoan sempat tidak kenal abahnya.

Maka, isteri saya selalu memberi kesempatan lebih bagi saya untuk melakoni waktu berkualitas berdua saja bersama Jagoan. Termasuk saat mengantar Jagoan bermain di sekolah. Sesekali saya dan Jagoan berangkat duluan. Ambunya menyusul. Lain kali malah cuma kami berdua, saya dan Jagoan, yang pergi.

Seperti anak balita pada umumnya, Jagoan kadang masih suka muntah. Gumoh kalau kata orang Jawa. Kalau orang Sunda bilangnya olab. Saat itu saya dan Jagoan berangkat ke sekolah berdua, karena ambunya sedang ada kegiatan lain yang tidak boleh ditinggalkan. Sepulang sekolah, Jagoan yang tampak kehausan saya ajak minum di bangku depan toko sepatu. 

Tidak lama setelah itu, Jagoan terlihat mengantuk. Saya pun menggendongnya, tapi Jagoan malah olab. Semua yang diminumnya serentak dimuntahkan kembali bersama lendir yang lumayan kental. Seluruh pakaiannya basah. Dengan kondisi seperti itu saya mesti membersihkan dan mengganti pakaian jagoan di muka umum. Apa sebab? Sebab seorang abah tidak boleh masuk ke dalam nursery room. Sungguh sebuah diskriminasi terhadap kaum abah.

Padahal, masih di lantai yang sama di mal itu saya tahu ada nursery room–kadang  tertulis: Mother’s Room–yang sangat bagus dan nyaman. Sayanganya, nursery room yang ada, tidak hanya di mal itu tapi hampir di semua ruang publik di Jakarta, tidak ramah abah. Terpaksa saya mengelap, membersihkan, dan mengganti pakaian Jagoan di bangku depan toko sepatu itu.

Di lain waktu, saat kami sedang jalan bertiga di Pondok Indah, jagoan buang air besar. Saat itu Jagoan sedang aktif-aktifnya begerak. Untuk mengganti popok, karena itu, harus ada empat tangan. Dua untuk mengganti popok. Dua lagi untuk memegangi Jagoan yang segera siap berlari. Lagi-lagi, tidak mungkin saya masuk ke nursery room. Bagaimana mau masuk kalau di pintunya ada mantra yang menjegal saya: “Ruang Khusus Ibu dan Balita. Pria Dewasa Dilarang Masuk”.

Bila kejadian seperti ini terulang, biasanya kami mengganti popok di lorong menuju toilet atau lorong pintu darurat. Untung kami membawa kereta bayi untuk menaruh Jagoan. Jika tidak, entah apa yang terjadi. Kami sempat kesal saat ada satpam perempuan yang meminta agar ritual ganti popok itu dilakukan di nursery room. Mungkin ia lupa bahwa nursery room yang disediakan tempatnya bekerja belum bisa ramah abah. 

Pusat perbelanjaan modern pun ternyata belum diiringi dengan pola pikir modern dari pengelolanya. Maka, wajar jika sampai lebaran kuda kelak masih belum ada nursery room yang kaum abah. Jangan heran jika di ruang publik lain, semisal kereta Commuter Line atau bus Trans Jakarta, pun masih belum ramah abah. Di sana yang ada hanyalah kursi prioritas untuk ibu membawa balita, bukan ayah membawa balita. Padahal, seruan kesetaraan gender sudah lama digaungkan. 

Dalam hal penganggaran, pemerintah telah berusaha mengikis dan menghapus ketimpangan itu dengan mencanangkan Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender (PPRG). PPRG merupakan suatu pendekatan analisis kebijakan, program, dan kegiatan untuk mengetahui perbedaan kondisi, permasalahan, aspirasi, dan kebutuhan perempuan dan laki-laki. Penyusunan PPRG diawali dengan pengintegrasian isu gender dalam penyusunan perencanaan dan penganggaran serta merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan.

Realitasnya, seruan kesetaraan gender, termasuk dalam hal mengurus anak, masih canggung dalam implementasi. Pengalaman-pengalaman saya tadi menjadi bukti paling kasat mata. Sementara itu, statistik dari kelompok dukungan Sahabat Ayah, Indonesia dinyatakan sebagai salah satu negara paling fatherless di dunia. Fakta itu diperoleh setelah dilakukan riset selama kurun 2008 hungga 2010 di 33 provinsi di Indonesia tentang keterlibatan abah dalam keluarga.

Fatherless atau yang juga dikenal sebagai father absence, fatherloss, father deficit, dan fatherlessness yang dirasakan anak akan berdampak luas. Fatherless berdampak pada rendahnya harga diri ketika anak sudah dewasa, rasa marah, serta malu karena berbeda dan tidak memiliki pengalaman kebersamaan dengan abah seperti anak lain. Hal itu akan berdampak pada kedekatan emosional yang berpengaruh terhadap perkembangan psikologis anak.

Abah menjadi antara ada dan tiada. Abah hadir secara fisik, namun absen dalam merawat dan mengasuh anak. Abah adalah sosok pencari uang, karena itu tidak perlu direpotkan dengan pekerjaan kewanitaan seperti mengasuh dan mengganti popok bayi. Satu paham yang ditentang Bung Karno dalam bukunya, Sarinah: Kewajiban Wanita dalam Perjuangan Republik Indonesia

Benih dari segala persoalan ini adalah budaya patriarkal yang terlampau kuat tumbuh dan mengakar di tengah masyarakat Indonesia. Sebab pola pikir yang digunakan masih kuno, masih menganggap si pencari nafkah lebih tinggi kedudukannya dan menganggap remeh urusan-urusan rumah tangga lainnya, yang biasanya dikerjakan para ibu. Abah dilihat sebagai sosok breadwinner alias pencari nafkah utama. Daerah operasionalnya bukan di sumur, apalagi dapur.
Baca Juga
Abah
Generasi Micinial

Artikel Terkait

Posting Komentar