zORB44u1Y5Szogk9hvRg5anbZDydcDDjseaSpgOw

Prasangka


Recok kenaikan tarif PNBP penerbitan dan/atau pengesahan STNK dan BPKB telah membikin prolog tahun 2017 menjadi terlampau bising. Kebisingan yang mestinya tak perlu-perlu amat, jika tiada prasangka tengik terhadap pemerintah. Toh tarif itu cuma naik Rp150.000,00. Itu pun bayarnya tiap lima tahun. Saya ulangi, bayarnya lima tahun sekali. Sementara itu, kredit motor atau mobil, yang cicilan per bulannya lebih dari itu, saja tidak keberatan.

Namun, publik sudah terlanjur rela dibodohi media yang bilang naik 300%, tanpa dilihat pengalinya berapa. Guru saya pernah bilang, statistik itu bisa jadi alat untuk berbohong. Selain membodohi dengan bingkai kenaikan 300%, media juga banyak yang sebetulnya tidak paham yang naik itu apa. Misal stasiun TV yang mendaku sebagai “TV Pilkada Indonesia”. Beberapa malam lalu, stasiun TV itu mewawancara orang yang salah, yaitu Plt. Gubernur DKI Jakarta, Sumarsono, untuk menanyakan alasan kenaikan tarif.

Saya sudah bilang, yang naik itu tarif PNBP, kewenangan pemerintah pusat. Tidak ada sangkutannya dengan Sumarsono. Akhirnya, reporter itu jadi ibarat anak kecil mencegat Bajaj di tepian jalan lalu teriak “Om Telolet Om”. Jangankan klakson, lampu sein saja kadang Bajaj tidak punya. Sumarsono pun menjawab sekenanya. Wajar sebetulnya, beliau tidak punya klakson, eh, kewenangan soal itu. Wawancara itu jadi seperti tidak ada faedahnya, karena sedikit pun tidak membantu meredam kebisingan.

Teladan Jomblo


Kenaikan tarif PNBP sebetulnya adalah hal yang wajar. Tentu menjadi tidak wajar ketika kenaikan itu dibarengi dengan prasangka tengik. Inflasi adalah satu contoh faktor kenaikan tarif. Jika tarif layanan tidak naik mengikuti inflasi, pemerintah harus menomboki kekurangan biaya layanan tersebut, menjadi semacam subsidi. Padahal penerima layanan tersebut belum pasti layak mendapatkan subsidi.

Saya ingin mengajak memori kita mengingat kejadian hampir dua tahun lalu. Tepatnya di tanggal 6 April 2015. Masa itu, Presiden Joko Widodo menandatangani PP Nomor 19 Tahun 2015 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis PNBP yang Berlaku pada Kementerian Agama.

Dalam PP tersebut pemerintah menetapkan tarif pencatatan nikah atau rujuk di luar KUA sebesar Rp600.000,00. Naik 1900% dari tarif sebelumnya yang dipatok Rp30.000,00 saja. Terus, kenapa tidak ada jomblo yang protes? Padahal kenaikan tarif itu bisa saja menjelma menjadi batu besar yang menghalangi niat mereka untuk menyempurnakan agamanya.

Saya yakin, para jomblo penghafal Pancasila itu tidak recok karena mereka tidak punya prasangka tengik terhadap pemerintah. Jomblo sudah terbiasa menyusuri jalan terjal dalam pengembaraannya mencari pasangan hidup. Sekadar mencari tahu alasan kenaikan tarif PNBP, karena itu, bagi mereka cuma receh. Mereka pun lalu paham bahwa kenaikan tarif itu untuk membiayai operasional KUA. Selama ini, memang tarifnya hanya Rp30.000,00, tapi dengan tarif serendah itu penghulu dipaksa untuk menerima "besek" dari sohibul hajat.

Pemerintah tentu saja menggratiskan biaya nikah jika itu dilaksanakan di KUA Kecamatan. Juga gratis bagi jomblo tidak mampu dan/atau korban bencana yang melaksanakan nikah atau rujuk di luar KUA Kecamatan. Apa ikhtiar yang dilakukan pemerintah masih kurang baik untuk mengurangi angka jomblo di bumi khatulistiwa ini? 

Tarif Deregulasi


Nawa Cita mengamanatkan agar Indonesia dapat menjadi bangsa yang mandiri secara ekonomi dan memiliki daya saing. Untuk menggapai cita-cita itu, pemerintah berupaya untuk mempermudah proses memulai usaha bagi UMKM. Upaya ini mencakup penyederhanaan prosedur, penurunan biaya, dan percepatan waktu penyelesaian atas beberapa aspek diantaranya memulai bisnis, izin mendirikan bangunan, pendaftaran properti, mendapatkan sambungan listrik, mendapatkan akses kredit, dan serupanya.

Satu langkah nyata yang telah dan sedang dilakukan pemerintah adalah membuat Paket Kebijakan Ekonomi. Paket Kebijakan Ekonomi banyak menderegulasi aturan yang menghambat pembangunan ekonomi, termasuk deregulasi ketentuan yang mengatur tarif PNBP.

Akhir Oktober tahun lalu, Presiden Joko Widodo menandatangani PP Nomor 45 Tahun 2016 tentang Perubahan ke Dua Atas PP Nomor 45 Tahun 2014 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis PNBP yang Berlaku pada Kementerian Hukum dan HAM. Termasuk inti dari deregulasi PP tersebut adalah menurunkan tarif layanan jasa hukum semisal tarif pengesahan badan hukum perseroan.

Penurunan banyak tarif dalam PP tersebut dalam rangka melaksanakan program pemerintah mengenai Kemudahan Berusaha di Indonesia terkait dengan memulai usaha, akses perkreditan, dan penyelesaian perkara kepailitan, serta untuk memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada UMKM. Namun, memang kabar seperti ini tidak menjual untuk disiarkan ke publik.

Jika prasangka tengik terhadap pemerintah masih menyelimuti sanubari, tidak keliru jika film pendek ini dijadikan penawarnya. Selamat menonton.

Baca Juga
Abah
Generasi Micinial

Artikel Terkait

Posting Komentar