zORB44u1Y5Szogk9hvRg5anbZDydcDDjseaSpgOw

Sekolah Gratis Jangan Jadi BLUD


Badan Layanan Umum (BLU) adalah konsep earmarked yang hampir mendekati ideal. Saya bilang “hampir” karena konsep BLU saat ini bukan tanpa cela. Salah satu celanya adalah dampak fleksibilitas earmarked yang menempel pada BLU berpotensi membikin sesak ruang fiskal. Saking—hampir—idealnya, semasa menjabat Menteri Perhubungan, Ignasius Jonan amat terpesona dengan konsep BLU dan mengubah hampir semua Satuan Kerja (Satker) di Kementerian Perhubungan menjadi Satker BLU. 

Di belakang Iganasius Jonan ada Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama dan pasangannya dalam Pilkada DKI Jakarta 2017, Djarot Saiful Hidayat, yang berencana meneruskan program kerjanya mengelola SMKN dalam bentuk Badan Layanan Umum Daerah (BLUD). “(Kami) akan mengelola sekolah-sekolah negeri ke dalam BLUD. Diharapkan dengan konsep pengelolaan tersebut dunia pendidikan di ibukota akan menjadi lebih baik.” tutur Ahok akhir tahun lalu. 

Menurut Ahok-Djarot, SMK dapat bergerak dalam bentuk BLUD, yang menjual barang atau jasa untuk kepentingan dan kemandirian manajemen institusi. Meski memang, untuk melihat dampak dan relevansi SMKN yang akan dikelola sebagai BLUD tersebut Dinas Pendidikan DKI Jakarta masih melakukan uji coba di tujuh sekolah. Sembari menunggu hasil uji coba tersebut, mari bersama kita cermati program kerja tersebut dari aspek legal dan filosofis pembentukan BLU/D.

Berorientasi Keuntungan


Dalam program kerjanya, Ahok-Djarot akan membentuk SMKN mandiri untuk melahirkan sumber daya manusia yang dapat langsung berkarya di dunia kerja. Ahok-Djarot akan bekerja sama dengan dunia usaha dan institusi lain untuk mengembangkan SMKN yang mandiri secara keuangan. Sebagai BLUD, SMKN akan menjual barang produksi siswa dan menggunakan keuntungan yang diperoleh untuk mengembangkan sekolah. Program kerja tersebut, menurut saya, bertentangan dengan UU Perbendaharaan Negara. 

Dalam Pasal 68 ayat (2) UU Perbendaharaan Negara diatur bahwa kekayaan BLU merupakan kekayaan negara/daerah yang tidak dipisahkan serta dikelola dan dimanfaatkan sepenuhnya untuk menyelenggarakan kegiatan BLU yang bersangkutan. SMKN karena itu, mesti memiliki motif kegiatan pemerintah sebagai penyedia layanan publik yang tidak berorientasi pada keuntungan. Kalau pun toh penetapan tarifnya menggunakan pendekatan cost plus, itu karena menjalankan fungsi regulerend penerimaan negara, bukan untuk mencari keuntungan.

Pengguna Layanan


Salah satu motif pembentukan BLU adalah fleksibilitas pengelolaan keuangan. Pengaturannya pun ada di UU Perbendaharaan Negara. Maka, jika kita berbicara soal patut tidaknya satu Satker berubah menjadi BLU, kita harus melihat siapa pengguna layanannya. Dari situ, baru kita bisa tahu dari mana sumber pendapatan BLU berasal. Pendapatan tersebut tentu didapat dari tarif yang dibayar pengguna layanan.  

Sekolah di Jakarta itu gratis, termasuk SMKN yang oleh pasangan Ahok-Djarot akan dikelola dalam bentuk BLUD. Tapi gratis bukan berarti tanpa pendanaan. Sekolah menjadi gratis karena seluruh kegiatannya ditanggung oleh pemerintah. Karena itu, entah berbentuk BLUD atau bukan, pendapatan sekolah-sekolah di Jakarta berasal dari satu sumber yang sama: pemerintah. Lain halnya jika sekolah itu tidak digratiskan. Di situ baru kita bisa bicara soal fleksibilitas.

Sumber Pendanaan


Pengelolaan finansial yang transparan menjadi salah satu fondasi pengelolaan sekolah secara profesional. Ahok-Djarot akan memastikan bahwa semua SMKN siap untuk beroperasi sebagai BLUD, dengan memastikan adanya manajemen keuangan yang baik. Adapun, sumber uang SMKN datang dari Bantuan Operasional Sekolah (BOS), Bantuan Operasional Pendidikan (BOP), dan pendapatan Unit Produksi.

Fitrah sekolah sebagai pendidikan harus dijaga, jangan malah membikinnya sebagai badan usaha yang berorientasi pada keuntungan. Peran peserta didik di sekolah adalah belajar, belajar, dan belajar. Sekolah tidak boleh menjadikannya buruh pada Unit Produksi. Jika pun ada barang dan/atau jasa yang dihasilkan selama proses belajar dan mengajar, itu hanya produk sampingan. Fungsi utama sekolah tetap menyelenggarakan pendidikan, bukan memproduksi barang dan/atau jasa.

Mari kita tengok kondisi di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Di samping tugas dan fungsi utamanya sebagai lembaga riset pemerintah, para inventor LIPI banyak menghasilkan invensi yang kemudian mendapat hak paten. Dari paten tersebut, para inventor mendapatkan jatah royalti seperti diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 72 tahun 2015 tentang Imbalan yang Berasal dari PNBP Royalti Paten kepada Inventor.

Berkaca pada LIPI, mestinya sekolah tidak menjadikan produk sampingannya sebagai sumber andalan pendapatan sekolah. Bahkan peserta didik juga mestinya mendapat hak atas pendapatan tersebut agar makin termotivasi. Jangan samakan peserta didik dengan warga binaan di Lembaga Pemasyarakatan yang tidak mendapat hak dari keuntungan penjualan produknya. Wajar warga binaan tidak mendapat jatah, karena semua haknya, termasuk hak asasi, sedang dirampas atau oleh negara. Beda dengan peserta didik di sekolah.

BLU itu porsi pendanaan dari penerimaannya harus lebih besar daripada porsi yang dialokasikan dalam APBN atau APBD. Kalau sekolah gratis, seperti sekolah kedinasan—termasuk yang ada di Jurangmangu itu—harusnya, sih, tidak laik jadi BLU. Problemnya, jika Satker BLU masih memiliki porsi besar dari APBN atau APBD, upaya untuk meringankan beban fiskal dan mengundang peran serta masyarakat, sebagai salah satu motivasi pembentukan BLU akan sulit terwujud.
Baca Juga
Abah
Generasi Micinial

Artikel Terkait

Posting Komentar