Di awal-awal saya menerima tantangan #15HariCeritaEnergi dari Kementerian ESDM, saya sempat hampir menyerah. Pasalnya, pekerjaan sedang menumpuk. Akhir pekan pun mendadak saya harus menemani isteri dinas ke Bandung. Di rumah, sudah sejak lama kami kapok dan tidak lagi menggunakan jasa asisten rumah tangga. Mau tidak mau, waktu saya untuk menulis adalah ketika anak semata wayang kami sudah tertidur. Itu pun paling cepat jam sebelas. Artinya, setiap hari, saya hanya punya waktu sekita satu jam untuk menulis hingga detik terakhir. Di hari ke dua saya sudah masuk angin karena begadang.
Tiba-tiba saya teringat cerita Muthia Zahra Feriani sewaktu mengisi workshop kepenulisan di kantor. Muthia, yang kebetulan waktu itu baru melahirkan putri pertamanya, mengaku sering meluangkan waktu untuk menulis ketika anak dan suaminya sudah terlelap. Saya jadi kembali yakin, kalau si pendiri Logika Rasa ini saja bisa, saya pun mestinya bisa.
Salah satu alasan saya mulai menulis ketika anak saya sudah terlelap adalah karena rasa ingin tahu atau kuriositasnya yang tinggi. Rasa ingin tahu ituah yang membuatnya ingin ikut mencoba memencet papat tuts laptop. Pada akhirnya, saya pun gagal untuk mulai menulis. Rasa ingin tahu itu sebetulnya harus kita syukuri. Rasa ingin tahu muncul karena manusia adalah makhluk paling sempurna yang yang diciptakan Tuhan yang dikaruniai akal dan pikiran. Manusia adalah makhluk yang mampu dan akan selalu berpikir. Manusia akan selalu memiliki hasrat rasa ingin tahu dan ingin mengerti.
Rasa ingin tahu adalah emosi yang rekat dengan perilaku ingin tahu seperti eksplorasi, investigasi, dan belajar. Rasa ingin tahu jugalah yang memunculkan berbagai penelitian serta pengujian dari hipotesis akhir, yang jika terbukti kebenarannya akan membentu satu bidang ilmu. Kuriositas tidak hanya ada dalam benak para ilmuwan dan peneliti. Kuriositas juga ada dalam benak anak-anak. Kadang-kadang anak bertanya tentang suatu hal yang tidak disangka-sangka dan membuat orangtua kebingungan mencari jawabannya. Sampai-sampai Bimbo mencipta lagu "Ada Anak Bertanya pada Bapaknya".
Pada 19 Mei lalu, Menteri ESDM Ignasius Jonan, menemui Naufal Raziek di kantornya. Siswa Kelas 3 MTSN 1 Langsa, Aceh, itu adalah penemu listrik dari pohon kedondong pagar. Dalam kesempatan itu, Menteri Jonan berpesan agar Naufal fokus sebagai penemu (inventor), berupaya agar penemuannya bermanfaat untuk orang banyak, dan mengembangkan penemuan supaya bisa diproduksi dalam skala besar. Bahkan, seperti ditulis di laman Facebook-nya, Menteri Jonan bilang Kementerian ESDM akan mengalokasikan anggaran untuk riset Naufal.
Di laman MUSTANIR.com, seorang warganet menulis skeptis dengan penemuan Naufal. Bila ada ad hominem, sampai menanyakan apa yang sudah saya perbuat dibanding Naufal, ia mendaku sedang berupaya mendesain Molten Chloride Fast Reactor (MCFR), reaktor nuklir generasi IV yang merupakan subtipe dari Molten Salt Reactor (MSR) yang menggunakan garam klorida alih-alih fluorida. Meski begitu, menurutnya, meski pun ia tidak sedang melakukan apa-apa, kritik dan skeptisisme yang dilontarkannya tetap berlaku, karena dalam dunia rekayasa kritik adalah sangat wajar dan harus dilakukan. Tentu saja selama itu didukung alasan-alasan yang kuat.
Ia pun kemudian membeberkan alasan skeptisismenya. Menurutnya, sebagai karya ilmiah tingkat SMP, listrik kedondong adalah penemuan yang bagus. Listrik kedondong mirip dengan penemuan kulit pisang sebagai pengganti baterai darurat. Pasalnya, tidak semua penemuan laik dikembangkan untuk siproduksi secara massal.
Masih menurutnya, Naufal semata-mata mengulang percobaan Sel Volta yang sering menjadi bahan praktikum di sekolah-sekolah. Bedanya, jika selama ini yang digunakan adalah jeruk nipis atau kentang, Naufal menggunakan pohon kedondong. Ia menduga pohon kedondong digunakan karena pohonnya yang terkategori asam dana memenuhi syarat untuk Sel Volta. “Persoalannya, Sel Volta tidak pernah dilirik untuk dijadikan pembangkit listrik sejak ratusan tahun yang lalu untuk alasan yang jelas: It’s simply not good enough,” jelasnya.
Dalam hasil penelitian Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) yang dimuat di laman Tempo pada 29 Mei 2017, enam buah pohon kedondong di tempat penelitian Pertamina EP hanya bisa menyalakan 1 lampu LED 5 Watt selama 20 menit, dengan perkiraan daya sebesar 1,7 Watt per jam. Terbatasnya waktu pembangkitan listrik disebabkan elektrodanya yang makin lama makin aus dan mesti diganti.
Bila diasumsikan elektrodanya bisa terus menerus diganti, meski kenyataannya mustahil untuk dilakukan, potensi listrik per 6 pohon adalah sebesar 1,7 Watt atau 0,283 Watt/pohon. Faktanya, kemampuan pembangkitan daya ini sangat tergantung kondisi keasaman pohon yang bervariasi selama setahun. Bila diasumsikan keasamannya konstan, untuk menghasilkan listrik 1 kWh dalam 24 jam, dibutuhkan pohon kedondong sebanyak ((1/24)*1000)/0,283 = ± 147 pohon.
Bila diasumsikan satu pohon kedonsong membutuhkan lahan 1 meter persegi. Kebutuhan lahan untuk 147 pohon adalah ± 147 meter persegi. Bila di satu kampung diasumsikan ada 40 rumah, dibutuhkan lahan sekitar setengah hektar, khusus untuk ditanami pohon kedondong, yang elektrodanya harus diganti setiap 20 menit.
Saya setuju bahwa untuk diaplikasikan di masyarakat, pembangunan pembangkit listrik mikro hidro lebih memiliki prospek dibanding listrik kedondong. Di kampung saya, jauh sebelum listrik PLN masuk, wakga sudah melakukan swasembada energi dengan membangun pembangkit listrik mikro hidro. Masalahnya, warganet sekarang terlalu gampang terpukau dengan suatu hal yang baru ditemui, yang belum tentu bisa diwujudkan sebagaimana harapan, tanpa memiliki kuriositas untuk mengetahui lebih dalam tentang hal itu.
Secara pribadi, saya sendiri sangat mengapresiasi apa yang telah dilakukan Naufal. Minimal, dia memiliki kuriositas untuk menemukan solusi terbaik krisis energi dengan dengan mencari sumber energi terbarukan semisal reaktor nuklir. Meski memang, reaktor nuklir masih diperdebatkan apakah merupakan sumber energi terbarukan atau bukan. Setelah itu, tinggal bagaimana kita sebagai orang yang merasa dewasa mengarahkan agar kuriositas anak-anak tersebut tetap ada di atas relnya, sehingga bisa sampai di tujuan yang kita cita-citakan bersama: energi berkeadilan.