Rasio pajak yang masih rendah, yang membuat Indonesia ada di jajaran negara-negara dengan rasio pajak paling rendah di dunia, tak patut jadi alasan untuk meredupkan pamor pajak sebagai tulang punggung APBN. Kisaran 80% porsi penerimaan negara dalam postur APBN tiap tahunnya ditutupi oleh penerimaan perpajakan. Besarnya kontribusi pajak bagi APBN membuat PNBP seolah-olah menjadi penerimaan negara yang tak dirindukan.
Akhir Agustus, pemerintah akhirnya mencapai kesepakatan final dalam perundingan dengan PT Freeport Indonesia (PTFI). Salah satunya disepakati landasan hukum yang mengatur hubungan antara pemerintah dengan PTFI adalah berupa Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), bukan Kontrak Karya (KK). Implikasinya, kewajiban PNBP PTFI berupa royalti dan landrent dihitung berdasarkan PP Nomor 9 Tahun 2012, bukan kontrak kerja sama—yang isinya bikin elus-elus dada.
Kewajiban PNBP PTFI tadi belum termasuk PNBP dari jasa pelabuhan, Izin Masuk Tenaga Kerja Asing (IMTA), karantina kesehatan, dan masih banyak jenis PNBP lainnya yang kini bisa dipungut sesuai dengan peraturan perundang-undnagan yang berlaku. Selain itu, divestasi saham PTFI sebesar 51% untuk kepemilikan nasional Indonesia pun akan mengeskalasi angka PNBP dari penerimaan dividen. Sayangnya, itu belum pantas jadi alasan untuk menaikkan pamor PNBP.
Beberapa waktu yang lalu, nusantara dibikin heboh karena naiknya tarif penerbitan dan/atau pengesahan STNK dan BPKB dalam PP Nomor 60 Tahun 2016. Digembor-gemborkan tarifnya naik 100%, padahal naiknya cuma Rp50.000,00. Itu pun dibayarnya per lima tahun. Meski begitu, kehebohan itu telah berhasil menempatkan PNBP, lagi-lagi, sebagai penerimaan negara yang tak dirindukan. Kali ini dari kaca mata publik, yang tak merindukan kenaikkan tarifnya.
Dalam siklus APBN, kebijakan pajak cuma sebatas kebijakan penerimaan. PNBP tidak seperti itu. Kebijakan PNBP juga meliputi kebijakan pengeluaran. Karenanya wajar jika Albert Einstein pernah bilang “The hardest thing in the world to understand is the income tax”. Pajak memuat terlalu banyak filosofi semu. Wajib pajak juga tidak mendapatkan kontraprestasi secara langsung dan individual.
Pajak beda dengan PNBP menggunakan skema earmarked. Earmarked membuat kebijakan PNBP mencakup kebijakan penerimaan dan pengeluaran. Atas seizin Menteri Keuangan, sebagian dana PNBP bisa digunakan oleh instansi penghasil untuk mendanai kegiatan terkait layanan yang dikenai PNBP. Misal, sebagian dana PNBP STNK digunakan untuk membayar belanja-belanja terkait layanan Kepolisian, khususnya penyediaan layanan STNK.
Minggu lalu, di Mojok Cak Rusdi menulis “Sakit dan Berobat Dengan BPJS Artinya Menderita Dua Kali”. Artikel itu bercerita tentang mengalamannya selama berobat dan dirawat di rumah sakit militer terbesar di Jakarta, bahkan di Indonesia. Jangan lupa, dana kapitasi yang dibayarkan BPJS ke rumah sakit militer itu dicatat sebagai PNBP. Ada campur tangan kebijaka pengelolaan PNBP di situ, termasuk di klinik Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP).
Sayangnya, kadang-kadang, Kementerian/Lembaga sebagai instansi pemungut PNBP juga kerap memandang PNBP sebagai penerimaan negara yang tak dirindukan. Penggunaan sebagian dana PNBP malah dianggap bisa menggerus Rupiah Murni. Akibatnya, target PNBP diusulkan seminimal mungkin untuk menekan angka pagu penggunaannya. Apalagi belum ada insentif bagi pemungut dan pengelola PNBP.
Di tahun ini, optimalisasi PNBP menjadi salah satu dari dua puluh Inisiatif Strategis Reformasi Birokrasi dan Transformasi Kelembagaan (IS RBTK) Kementerian Keuangan. Salah satu yang sudah dilakukan, per 1 Agustus Kemarin, Sistem Informasi PNBP Online (SIMPONI) telah terinterkoneksi dengan Sistem Informasi Penatausahaan Hasil Hutan (SIPUHH) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Interkoneksi ini adalah bagian dari dari implementasi Inpres Nomor 10 Tahun 2016 tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi. Inpres mengamanahkan terciptanya konektivitas SIMPONI dengan SIPUHH, Minerba One Map Indonesia (MOMI), dan Sistem Pusat Informasi Pelabuhan dan Perikanan.
Dalam ikhtiar memperingati Hari Oeang yang ke-71, Kementerian Keuangan merayakan pekan ini sebagai Pekan Hari Oeang. Di pekan Hari Oeang, masing-masing unit eselon I Kementerian Keuangan menyampaikan capaian IS RBTK dari masing-masing unit. Suatu kemujuran, di pekan Hari Oeang saya mendapat kesempatan untuk berdialog dengan Menteri Keuangan tentang kebijakan-kebijakan PNBP. Utamanya ihwal kebijakan penetapan tarif.
Saat ini, UU PNBP sedang direvisi dan dalam tahap pembahasan bersama DPR. Salah satu pokok perubahannya adalah terkait perbaikan regulasi penetapan tarif. Penetapan jenis dan tarif PNBP yang berlaku saat ini membutuhkan proses yang panjang dan lama. Akibatnya, banyak tarif yang sudah jauh dari nilai keekonomian. Padahal, selain sebagai sumber penerimaan, PNBP juga memiliki fungsi proteksi. Jika revisi tarifnya membutuhkan waktu yang lama, bisa jadi tarif PNBP kehilangan fungsi proteksinya itu.
Ah, rindu tak rindu yang penting kumpul, ke kas negara.