zORB44u1Y5Szogk9hvRg5anbZDydcDDjseaSpgOw

Seperti Dendam, Pajak Digital Harus Dibayar Tuntas


Saya orang Sunda, dan saya amat kesal kalau ada yang bilang saya tidak bisa melafalkan huruf “F” dengan pasih. Saya merasa dipitnah dengan keji. Perasaan yang sama yang juga dirasakan tetangga saya. Mereka adalah para kambing berbulu hitam. Seumur hidup, mereka mendapat label sebagai dalang pembikin onar. Pelabelan serupa ini juga berlaku untuk pajak.

Mendengar kata “pajak” sel-sel saraf dalam otak mendapat rangsangan untuk memikirkan prasangka-prasangka buruk. Itulah kenapa banyak orang yang baru-baru ini gagal paham soal pajak pajak pulsa, kartu perdana, token, dan voucer.

Kegagalan paham ini bermula ketika Menteri Keuangan Sri Mulyani meneken aturan tentang penghitungan dan pemungutan pajak terkait penjualan pulsa, kartu perdana, token, dan voucer. Mendengarnya, banyak orang yang langsung menyimpulkan bahwa sebagai konsumen akhir mereka harus merogoh kocek dalam-dalam untuk membayar pulsa telepon atau token listrik.

Padahal, aturan baru ini didesain untuk menambal bolong aturan pajak digital berupa pajak berganda. Pajak yang dua kali kita bayar padahal objeknya sama. Tapi bukan itu yang akan kita bicarakan saat ini. Menurut saya, ada hal lain terkait pajak digital yang lebih krusial untuk dipelototi. Jadi, tidak usah lagi kita buang-buang energi memprotes pajak pulsa atau pajak token listrik yang cuma pepesan kosong.

Ayo kita mundur setahun ke belakang, ketika COVID-19 mulai merebak. Di sana kita akan menemukan pemerintah yang sedang dipaksa memeras otak, menggali lebih dalam sumber penerimaan negara. Salah satu yang sudah digali pemerintah adalah perluasan basis PPN digital.

Dalam Perpu Nomor 1 tahun 2020, yang sudah direstui DPR menjadi undang-undang, diatur pengenaan PPN dalam kegiatan usaha yang dilakukan perusahaan e-commerce luar negeri. Namun, menurut pengamatan saya, masih ada bolong dalam pengaturan PPN digital tersebut.

Pada hakikatnya PPN menganut prinsip destinasi. Itulah kenapa petugas bea dan cukai di bandara akan memeriksa barang bawaan penumpang yang tiba dari luar negeri. Penumpang yang kedapatan membawa barang yang baru dibeli di luar negeri akan diminta membayar pajak. Sengaja atau tidak, penumpang tersebut telah melakukan kegiatan impor barang.

Prinsip destinasi berarti pajak dikenakan di mana barang atau jasa dikonsumsi. Turis asing yang membeli barang di Indonesia untuk dibawa pulang ke negara asalnya tidak dikenai pajak. Hal yang sama berlaku resiprokatif untuk turis Indonesia yang membeli oleh-oleh di negara yang menjadi destinasi wisatanya.

Ketika kita menggunakan jasa Google dengan beriklan di Google Ads, sebetulnya kita juga sedang melakukan kegiatan impor jasa. Karena tidak ada wujudnya, tidak ada petugas bea dan cukai yang memeriksa dan meminta membayar pajak impor. Ketiadaan petugas bea dan cukai yang perannya memaksa membayar pajak digantikan oleh Google yang ditunjuk pemerintah sebagai pemungut PPN.

Kriteria pembeli barang atau penerima jasa yang wajib dipungut pajak oleh Google adalah yang bertempat tinggal atau bertempat kedudukan di Indonesia. Selain itu, ia juga yang melakukan pembayaran menggunakan fasilitas debit, kredit, dan/atau fasilitas pembayaran lainnya yang disediakan oleh institusi di Indonesia. Kriteria lainnya adalah pembeli barang atau penerima jasa yang bertransaksi dengan menggunakan alamat internet protocol di Indonesia atau menggunakan nomor telepon dengan kode telepon negara Indonesia.

Dasar pengenaan pajak yang dipungut Google adalah sebesar nilai berupa uang yang dibayar oleh penerima jasa. Misal saya membayar Google Ads senilai USD100.00, PPN yang harus saya bayarkan adalah USD10.00. Asumsinya tarif Google Ads tersebut belum termasuk pajak. Tarif Google Ads berlaku global dan tidak semua negara mengenakan pajak dengan tarif yang sama. Bahkan ada yang tidak mengenakan pajak terhadapnya.

Penggunaan nilai transaksi sebagai dasar pengenaan pajak ini yang menurut saya tidak adil. Ketidakadilan ini bisa menimbulkan urusan-urusan yang belum tuntas setelah pajak saya dipungut Google.

Oke, mari kita ulas satu persatu. Saya ambil contoh, ada iklan saya yang tayang di pasar global. Pemanfaatan produk yang ditayangkan di iklan saya itu dilakukan di luar daerah pabean. Poster atau spanduk iklan saya dilihat oleh calon konsumen yang berkedudukan di luar negeri, di luar daerah pabean.

Semestinya, ini tidak kena pajak Indonesia. Analoginya seperti ketika saya membeli ponsel di luar negeri dan saya tidak membawanya pulang ke Indonesia. Bukankah begitu?

Misal hanya 70 persen iklan saya yang tayang di pasar lokal. Semestinya PPN yang harus saya bayarkan hanya USD7.00. Maka, atas USD3.00 yang sudah terlanjur dipungut Google tadi semestinya saya berhak atas uang kembalian berupa restitusi pajak. Ini adalah proses bisnis yang lumrah. Sama seperti hak restitusi bagi turis yang membeli barang di Indonesia untuk dibawa pulang ke negara asalnya.

Kalau pun toh nanti USD3.00 yang sudah terlanjur saya setor bisa direstitusi, menurut saya itu tetap tidak adil karena saya harus menanggung opportunity cost. Sejumlah USD3.00 tersebut bisa saya alokasikan untuk membiayai kebutuhan saya lainnya. Mari kita bayangkan jika nominalnya dilipatgandakan, tidak sekadar USD3.00 saja. Cukup lumayan, kan?

Begitu pula halnya ketika ada pelanggan Google dari luar negeri memasang iklan untuk pasar Indonesia. Atas jasa Google tersebut harus dikenai pajak. Pengenaan tersebut mengacu pengaturan bahwa pemanfaatan jasa kena pajak dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean merupakan salah satu objek PPN.

Salah satu alasan penunjukkan perusahaan e-commerce luar negeri sebagai pemungun PPN adalah untuk menciptakan kesetaraan berusaha. Supaya tidak ada perlakuan pajak yang berbeda baik terhadap subjek maupun objek pajaknya. Hanya saya masih melihat ada yang belum tuntas dari pengaturan tersebut karena saya masih harus membayar pajak yang pada prinsipnya tidak perlu saya bayar.

Padahal, seperti dendam, pajak digital harus dibayar tuntas. Jangan sampai ada urusan-urusan yang masih mengganjal di kemudian hari setelah pajak kita dipungut.
Baca Juga
Abah
Generasi Micinial

Artikel Terkait

Posting Komentar