Ketika sebulan lalu memasuki Ramadan, saya langsung membayangkan bagaimana sebulan kemudian kita akan melakoni tradisi mudik. Buat saya, mudik adalah satu tradisi yang tidak efisien. Untuk mudik, kita harus menyiapkan anggaran yang tidak sedikit. Dana harus dialokasikan untuk harga tiket yang naik berkali lipat. Bahkan beberapa pemotor sampai harus membawa anak-anak untuk mudik ke luar kota. Kita harus menyiapkan dana-dana lainnya: untuk baju baru, untuk angpao, dan lain-lain.
Bagi saya, beli baju tidak harus di hari lebaran. Pun untuk pulang kampung dan berbagi, tidak perlu menunggu momen lebaran. Tapi nyatanya, para pekerja formal pun mendapat penghasilan tambahan di kala lebaran. Tentu saja tujuannya untuk menunjang kebutuhan-kebutuhan yang meningkat jelang hari raya.
Lalu, kemudian saya banyak mendengar cerita dari beberapa kawan tentang bagaimana mereka memaknai lebaran. Termasuk mudik, yang lekat dengan momen lebaran. Seorang kawan ada yang bilang, sejak dua puluh tahun lalu, lebarannya tidak lagi istimewa. Dua puluh tahun lalu adalah momen ketika ibunya pergi. Ia pun merasa tidak ada lagi tempat untuk “pulang”, untuk mudik lebaran.
Di media sosial pun orang bercerita tentang kisah sedih mereka di hari raya. Ada yang karena faktor kemiskinan, sehingga di hari raya pun ia harus tetap bekerja untuk menyambung hidup. Ada juga yang memilih untuk menunda mudik karena untuk menjaga hati yang kerap dibandingkan dengan anggota keluarga lain yang dianggap lebih sukses.
Dan, yang paling klasik adalah pertanyaan-pertanyaan seputar kapan menikah dan kapan punya anak. Ternyata, tidak semua orang merasakan kemenangan di hari lebaran. Sebagian merasakan hari lebaran sebagai hari yang penuh tekanan.
Mendengar cerita dari kawan-kawan tadi, saya seharusnya merasa bersyukur. Ongkos mudik yang sekilas tidak efisian itu tenyata dampaknya sangat tidak ternilai. Saya masih punya seorang ibu yang menunggu anaknya pulang. Saya masih punya mertua yang masih lengkap, yang menunggu menantunya pulang. Pun dengan istri dan anak-anak yang ingin merayakan lebaran dan mudik bersama suami dan abahnya. Dan, masih banyak karib kerabat yang mungkin dengan kedatangannya saya, minimal, hari rayanya lebih ramai, lebih meriah.
Semoga lebaran narablog sekalian tetap istimewa, mudik atau tidak mudik. Dan, yang paling penting, semoga di momen lebaran ini kita bisa saling memaafkan, memperbaiki, dan merenungkan kesalahan.
*)Catatan singkat ini ditulis di malam takbiran, ketika semua pernghuni rumah sudah terlelap.