zORB44u1Y5Szogk9hvRg5anbZDydcDDjseaSpgOw

Program Pensiun dalam Kerangka SJSN


Sistem Jaminan Sosial Nasional (National Social Security System) atau disingkat SJSN adalah sistem penyelenggaraan program perlindungan sosial, agar setiap orang dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak, menuju terwujudnya kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Jaminan sosial diperlukan apabila terjadi hal-hal yang tidak dikehendaki yang dapat mengakibatkan hilangnya atau berkurangnya pendapatan seseorang, baik karena memasuki masa pensiun maupun karena gangguan kesehatan, cacat, kehilangan pekerjaan, dan lain sebagainya.

SJSN disusun dengan mengacu pada penyelenggaraan jaminan sosial yang berlaku di dunia internasional dan telah diselenggarakan oleh negara-negara maju dan beberapa negara berkembang. Di dunia internasional memang tidak ada standar baku tentang penyelenggaraan jaminan sosial, ada yang berlaku secara nasional untuk seluruh penduduk, ada pula yang hanya mencakup penduduk tertentu untuk program tertentu. Dalam Konvensi International Labour Organization (ILO) Nomor 102 tahun 1952 SJSN didefinisikan sebagai, "The protection which society provides for its members through a series of public measures: to offset the absence or substantial reduction of income from work resulting from various contingencies (notably sickness, maternity, employment injury, unemployment, invalidity, old age and death of the breadwinner), to provide people with health care, and to provide benefits for families with children."

Pada hakekatnya, Sistem SJSN merupakan amanat konstitusi. Pasal 28 H ayat 3 UUD 1945 (amandemen ke dua) menyatakan bahwa jaminan sosial adalah hak setiap warga negara. Yang kemudian dipertegas lagi dalam Pasal 34 ayat 2 UUD 1945 (amandemen ke empat) yang menyatakan bahwa “Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan”, yang mengindikasikan perlu segera dikembangkan SJSN.

Tanpa rincian program jaminan sosial yang akan dikembangkan, dapat dipahami bahwa amanat tersebut menghendaki terselenggaranya berbagai program jaminan sosial secara komprehensif seperti yang telah diselenggarakan di negara lain, meskipun hal itu dilakukan secara bertahap. Di samping itu, Ketetapan MPR RI No. X/MPR/2001 tentang Laporan Pelaksanaan Putusan MPR RI oleh Lembaga Tinggi Negara pada Sidang Tahunan MPR RI tahun 2001 juga menugaskan kepada presiden untuk membentuk sistem jaminan sosial nasional dalam rangka memberi perlindungan sosial yang lebih komprehensif.

Secara universal, jaminan sosial dijamin oleh Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 1948 tentang Hak Asasi Manusia. Indonesia turut meratifikasi deklarasi tersebut yang di dalamnya dinyatakan bahwa “... setiap orang, sebagai anggota masyarakat, mempunyai hak atas jaminan sosial ... dalam hal menganggur, sakit, cacat, tidak mampu bekerja, menjanda, hari tua ...” Konvensi ILO No. 102 tahun 1952 menganjurkan agar semua negara di dunia memberi perlindungan dasar kepada setiap warga negaranya dalam rangka memenuhi Deklarasi PBB tersebut.

Dalam rangka mengupayakan pemenuhan hak dan harapan rakyat Indonesia dan sebagai implementasi dari Pasal 28 H tersebut, pemerintah mengembangkan SJSN bagi seluruh rakyat Indonesia. Hal tersebut diwujudkan dengan disahkannya Undang-undang Nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN). UU SJSN mengatur sistem jaminan sosial dengan pendekatan skema asuransi yang mewajibkan seluruh pekerja formal untuk mengikuti jaminan sosial pada aspek jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, pemutusan hubungan kerja, jaminan hari tua dan pensiun, serta jaminan kematian.

Pasal 5 ayat (2) dan (3) UU SJSN yang menyatakan bahwa PT Askes, PT Jamsostek, PT Taspen, dan PT Asabri merupakan BPJS. Namun, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tanggal 31 Agustus 2005 terhadap perkara Nomor 007/PUU-III/2005 hal tersebut dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sehingga terjadi kekosongan hukum (rechstsvacuum) dan tidak adanya kepastian hukum (rechtszckerheid) karena belum adanya BPJS yang memenuhi persyaratan sebagai pelaksana UU SJSN. Bertolak dari persoalan tersebut kemudian ditetapkan Undang-undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (UU BPJS).

Agar tujuan mulia penyelenggaraan program jaminan pensiun dalam SJSN dapat tercapai secara optimal, implementasinya harus disikapi secara bijaksana dengan mempertimbangkan berbagai aspek kepentingan nasional lainnya. Salah satunya adalah dengan memperhatikan sistem penyelenggaraan program pensiun yang telah ada saat ini yang didasarkan pada Undang-undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun (UU Dana Pensiun).

Dalam UU SJSN, pelaksanaan program jaminan pensiun bersifat wajib, tidak lagi bersifat sukarela sebagaimana yang diatur dalam UU Dana Pensiun. Secara otomatis, hal tersebut akan mempengaruhi struktur dan tingkat biaya bagi pemberi kerja. Meskipun di sisi lain program ini akan membangun kekuatan ekonomi nasional dari hasil investasi jangka panjang dalam program pensiun. Adanya tambahan biaya tersebut dapat menyebabkan pemberi kerja bereaksi dengan menata ulang program kesejahteraan yang disediakan bagi karyawannya untuk meminimalisasi biaya yang dikeluarkan untuk program tersebut. Dalam kaitan ini, bagi pemberi kerja yang sebelumnya telah memiliki program pensiun sukarela akan sangat mungkin mengakhiri program pensiunnya demi memenuhi kewajiban mengikuti program pensiun dalam SJSN. Padahal, bisa jadi program pensiun yang dimiliki saat ini telah memberikan manfaat pensiun yang lebih baik bagi karyawannya.

Oleh Karena itu, diperlukan harmonisasi terhadap pengaturan sistem pensiun secara menyeluruh agar program yang dijalankan bisa berdampak positif bagi seluruh masyarakat. Alternatif pengaturan yang dapat diusulkan terkait harmonisasi dengan pelaksanaan UU Dana Pensiun di antaranya adalah dengan memperkenankan pemberi kerja yang telah memiliki program pensiun untuk mengompensasikan besar manfaat pensiun dari program pensiun yang telah dimilikinya dengan manfaat pensiun dari program pensiun dalam SJSN. Alternatif lainnya, dapat dengan menetapkan tingkat manfaat pensiun wajib yang tidak terlalu tinggi sehingga program pensiun sukarela sebagai tambahan manfaat pensiun bisa tetap mendapatkan ruang.
Baca Juga
Abah
Generasi Micinial

Artikel Terkait

Posting Komentar