zORB44u1Y5Szogk9hvRg5anbZDydcDDjseaSpgOw

Melepas Kutukan


Pagi ini kami kedatangan tamu, seorang profesor ilmu politik dari Princeton University, Kanada. Sang profesor datang ke Indonesia dalam rangka memulai risetnya tentang ledakan Sumber Daya Alam (SDA) dan ketidakmerataan dalam demokrasi di negara-negara berkembang, yang meliputi Indonesia, Afrika Selatan, dan Brazil. Meski begitu, tulisan ini merupakan sudut pandang dari Fiscus Wannabe ketika mengikuti diskusi, yang tentu saja bukan merupakan bagian dari riset tersebut.

Dalam kurun waktu 1998 sampai dengan 2012, negatra-negara berkembang mengalami pertumbuhan ekonomi sangat pesat yang memicu adanya ledakan SDA. Namun, negara-negara berkembang dengan SDA yang melimpah tersebut seolah mengalami kutukan ketika terjadi ketimpangan ekonomi dan ketergantungan terhadap SDA sebagai tulang punggung penerimaan negaranya. Di Indonesia saja, sudah sejak lama penerimaan negara–yang merupakan sumber utama pembiayaan pembangunan–sangat bergantung pada penerimaan dari SDA, terutama sektor minyak dan gas bumi (migas) dan sektor mineral dan batubara (minerba).

Secara garis besar, penerimaan negara dari hulu migas terdiri dari PNBP SDA Migas, PNBP Migas Lainnya, dan PPh migas. Ketiga jenis penerimaan ini sangat dipengaruhi oleh empat faktor: harga, nilai tukar rupiah, lifting, dan cost recovery. Dengan sistem Production Sharing Contract (PSC) yang dianut Indonesia saat ini, faktor harga dan lifting memiliki pengaruh yang lebih besar dibandingkan dengan faktor-faktor lainnya.

Untuk nilai tukar rupiah, meskipun penurunannya berdampak negatif terhadap perekonomian Indonesia, tetapi terhadap penerimaan migas penurunannya berdampak positif. Isu mengenai cost recovery kerap menyeruak ketika harga dan lifting turun. Ketika harga dan lifting turun, dalam pembahasan-pembahasan APBN, parlemen sering meminta penghitungan angka cost recovery yang lebih kecil untuk menjaga penerimaan negara agar tidak turun.

Sebagai negara yang pernah masuk ke dalam barisan negara-negara kaya minyak, Indonesia merasa memiliki kewajiban untuk mensubsidi rakyatnya yang miskin, sehingga lahirlah kebijakan subsidi BBM. Subsidi yang seharusnya dimanfaatkan oleh rakyat miskin demi mengurangi ketimpangan ekonomi berubah menjadi kutukan ketika orang-orang kaya ikut menikmati subsidi BBM. Ketika harga minyak dunia mengalami kenaikan dan penerimaan migas juga naik, beban subsidi juga ikut naik. Karena itu, dengan adanya subsidi BBM, dampak kenaikan harga minyak dunia terhadap penerimaan negara menjadi tidak terlampau signifikan.

Kebijakan dalam UU Minerba yang mewajibkan semua perusahasaan tambang membangun smelter sejatinya juga merupakan bagian tidak terpisahkan dari intensifikasi penerimaan negara. Dengan diwajibkan membangun smelter, akan terjadinya peningkatan jenis komoditas, pertambahan nilai yang dapat meningkatkan penerimaan pajak, dan konservasi lingkungan. Selain intensifikasi penerimaan negara, pembangunan smelter juga dapat memperluas angka lapangan kerja.

Selama ini, PT Freport Indonesia mengekspor komoditas hasil tambang dalam bentuk konsentrat, sehingga banyak mineral ikutan yang tidak dapat dikenakan royalti. Dengan dibangunnya smelter, perusahaan tambang seperti PT Freeport Indonesia tidak bisa lagi mengekspor dalam bentuk konsentrat. Akibatnya, penerimaan royalti mineral akan meningkat karena pemerintah dapat mengenakan royalti terhadap mineral ikutan, yang selama ini tidak dapat dikenakan royalti. Selain itu, adanya smelter juga dapat mengurangi eksploitasi mineral karena perusahaan tambang memiliki kegiatan tambahan yang dapat meningkatnya penghasilannya, sehingga kelestarian alam dapat dijaga.

Saat ini, Indonesia sedang berusaha untuk lepas dari kutukan, di antaranya dengan kebijakan yang mewajibkan semua perusahasaan tambang membangun smelter maupun kebijakan pengurangan subsidi BBM. Dalam APBN Perubahan 2015, subsidi BBM diketok sebesar Rp64,6 triliun, jauh lebih rendah dari anggaran subsidi BBM yang ada dalam APBN 2015 sebesar Rp 276 triliun. Tekanan untuk tidak mengurangi subsidi BBM menjadi berkurang seiring dengan meningkatnya kesadaran masyarakat dalam mengevaluasi belanja-belanja yang kurang produktif, selain tentu saja dukungan pemimpin negara yang tegas dalam mengurangi subsidi BBM.

Minyak bumi, gas, mineral, dan batubara yang sejak lama menjadi penopang penerimaan negara merupakan SDA yang tidak dapat diperbaharui. Artinya, suatu saat SDA tersebut akan habis dan tidak dapat dieksploitasi lagi. Maka, sudah saatnya Indonesia keluar dari kutukan ini. Sudah saatnya Indonesia melepaskan diri dari ketergantungan terhadap SDA. Sepertinya, Indonesia masih harus banyak belajar dari negara-negara maju miskin SDA seperti Jepang dan tetangga dekat kita, Singapura. Keduanya adalah contoh negara miskin SDA yang tumbuh menjadi negara maju.
Baca Juga
Abah
Generasi Micinial

Artikel Terkait

Posting Komentar