zORB44u1Y5Szogk9hvRg5anbZDydcDDjseaSpgOw

Jangan Buta Akan Indahnya Perbedaan

 “Ayo bangun dunia di dalam perbedaan jika satu tetap kuat kita bersinar, harus percaya ‘Tak Ada Yang Sempurna’ dan dunia kembali tertawa”  – Superman Is Dead

Kutipan lagu di atas adalah bunyi Start Windows di laptop saya yang dikutip dari sebuah lagu milik grup band asal Bali, Superman Is Dead, yang berjudul “Kuat Kita Bersinar”. Pada bagian lirik yang saya kutip tersebut memang dinyanyikan oleh anak-anak panti asuhan. Tiap kali menyalakan laptop suara polos anak-anak itu selalu terdengar seolah berteriak mengingatkan orang-orang yang merasa dewasa untuk tidak buta akan indahnya perbedaan.


Membaca berita dari VOANews.com tertanggal 28 Juli 2011 yang berjudul “Rendahnya Vonis Cikeusik Dinilai Toleransi Tindak Kekerasan” membawa memori saya kembali mengingat tragedi penyerangan dan pembunuhan tiga pengikut Ahmadiyah di Cikeusik, Banten. Seperti yang juga tertulis dalam berita tersebut bahwa video kejamnya pembantaian di Cikeusik tersebut juga sempat beredar luas di masyarakat. Tapi sangat disayangkan ketika para terdakwa kasus Cikeusik hanya dijatuhi vonis dengan hukuman ringan. Polisi bahkan tidak menyeret nama-nama yang disinyalir sebagai dalang dari aksi penyerangan tanggal 6 Februari 2011 ini. Jaksa juga hanya menghadirkan satu orang saksi dari kelompok Ahmadiyah. Andreas Harsono, peneliti dari Human Rights Watch menyebut vonis hakim terkait kasus Cikeusik ini sebagai pesan menyeramkan dunia peradilan Indonesia terhadap pencari keadilan kasus toleransi umat beragama.

Pernyataan Andreas Harsono tersebut juga diamini oleh Eva Sundari, anggota Komisi Hukum DPR RI, "Saya sangat terganggu sekali karena ini seperti sinyal bahwa tindakan pembunuhan karena perbedaan keyakinan itu kok ditoleransi oleh para penegak hukum. Dan ini ironis sekali, sementara di beberapa kasus mencuri kakao, mencuri sarung, itu lebih tinggi. Jadi memang ada problem dengan penegakan hukum di Indonesia yang tidak menjamin keadilan." Bahkan bukan tidak mungkin tetap adanya kasus toleransi umat beragama seperti yang terjadi di Madura dan Bogor adalah akibat rendahnya vonis terhadap terdakwa kasus Cikeusik. 


Maraknya aksi kekerasan serta pelanggaran HAM, termasuk kasus toleransi umat beragama, akhir-akhir ini memunculkan keprihatinan dari berbagai kalangan masyarakat, termasuk kelompok agama. Seperti yang dilansir oleh VOANews.com pada tanggal 16 Januari 2012, “Umat Budha Surabaya Adakan Doa Bersama bagi Perdamaian Dunia”. Doa bersama tersebut juga melibatkan kelompok lintas agama. Seperti yang terlihat dalam foto di atas, hadir juga Koordinator Komunitas GusDurian Muda sekaligus putri mantan Presiden Abdurrahman Wahid, Inayah Wahid (baju putih) yang duduk di sebelah Bhikkuhni Choyong Drolma dari Nepal (paling kanan). Pada kesempatan tersebut Inayah Wahid mengutarakan, banyaknya perbedaan tidak seharusnya dijadikan penyebab perpecahan, yang hanya akan membuat masyarakat dan bangsa Indonesia mudah terbelah dan cepat hancur.

Panitia Doa Bersama untuk Perdamaian Indonesia dan Dunia, Hutomo Wangsanegara mengatakan, digelarnya doa bersama umat Budha di Surabaya yang melibatkan berbagai kalangan termasuk dari lintas agama diharapkan mampu menciptakan energi positif bagi terwujudnya kehidupan masyarakat yang harmonis. “Dengan doa ini kan kita melihat satu sisi bahwa, doa kan merupakan suatu kegiatan positif yang mempunyai nilai positif, dengan doa ini kita akan menciptakan suatu energi positif bagi keadaan di sekitar kita. Semoga dengan energi positif ini bisa membawa suatu suasana yang lebih harmonis bagi kita semua.” demikian menurut Hutomo Wangsanegara.


Melihat semakin hilangnya toleransi umat beragama di Indonesia, tidak ada salahnya jika kita meneladani apa yang dilakukan oleh sekelompok mahasiswa di Universitas Southern California. Diberitakan oleh VOANews.com pada tanggal 14 Januari 2012 dalam beritanya yang berjudul “Mahasiswa AS Pertebal Keimanan lewat Diskusi Antar Agama di Kampus”. Mahasiswa-mahasiswa di kampus tersebut berdialog dengan bertujuan menjadikan perbedaan agama sebagai sumber perdamaian. Diskusi kritis di kelas tentang masalah keyakinan dengan mahasiswa dari berbagai latar belakang agama ini tentunya bisa mempengaruhi keimanan mahasiswa. Seperti yang diungkapkan oleh Rabbi Patricia Karlin-Neumann, dekan senior urusan agama Universitas Stanford, “Pertanyaannya adalah apakah diskusi keagamaan itu membuat mereka meninggalkan keyakinannya atau malah menambah keimanan mereka. Berdasarkan pengalaman saya, orang-orang yang menjalankan agamanya setelah menjalani proses diskusi dengan orang-orang lain, cenderung lebih menghargai apa yang mereka yakini.”


Kembali ke dalam negeri. Kontras sekali dengan aksi kekerasan serta pelanggaran HAM, termasuk kasus toleransi umat beragama yang terjadi belakangan ini, Bali dinobatkan sebagai Pulau Perdamaian. Seperti yang dilansir di VOANews.com pada tanggal 27 Desember 2011, “Bali Dinobatkan sebagai Pulau Perdamaian”. Dalam upacara penobatan yang dilaksanakan di Nusa Dua tersebut, World Peace Committee (WPC) atau Komite Perdamaian Dunia membeberkan sembilan alasan kenapa Bali dinobatkan sebagai Pulau Perdamaian. Di antaranya karena kuatnya hukum adat dan peradaban di Bali serta adanya konsep Tri Hita Karana yang merupakan konsep hidup damai dan selaras dengan Tuhan, sesama manusia, dan alam. Selain itu, setiap hari masyarakat Bali selalu mengumandangkan kata “Shanti” dalam doanya. Dalam bahasa Sansekerta “Shanti”  berarti damai.

Selain meneladani apa yang dilakukan sekelompok mahasiswa di AS mungkin daerah-daerah di Indonesia lainnya harus meneladani apa yang dilakukan masyarakat Bali dalam menjaga lingkungan yang damai. Hingga orang dari berbagai negara dengan beragam budaya dan agama pun tak segan untuk berbondong-bondong datang ke Bali serta hidup berdampingan secara damai di Bali. Memang suatu kehormatan ketika Bali dinobatkan sebagai Pulau Perdamaian. Tapi tentunya ini juga merupakan ujian bagi Bali dan Indonesia pada umumnya dalam mengembangkan perdamaian di Indonesia dan seluruh dunia. Apalagi saat ini Indonesia sedang diuji dalam mempertahankan kedamaian khususnya yang berkaitan dengan kekerasan serta pelanggaran HAM, termasuk kasus toleransi umat beragama.

Hilangnya toleransi antarumat beragama ini tidak boleh terus dibiarkan. Karena semakin lama dibiarkan kasus ini bisa semakin berkembang. Bahkan berkembang isu yang menyebutkan bahwa agama sudah dijadikan alat untuk kepentingan individu atau kelompok tertentu untuk mencapai tujuannya. Semoga pemerintah, dalam hal ini Kementerian Agama, lebih peduli terhadap isu-isu kerukunan antarumat beragama. Tapi sebelum kita memikirkan untuk merubah merubah bangsa Indonesia marilah kita mulai dari hal kecil. Mulai dari merubah mindset kita supapa bisa lebih terbuka menerima perbedaan. Mulai dari lingkungan keluarga dan mulai dari lingkungan sekolah seperti yang dilakukan sekelompok mahasiswa di AS. Setelah itu semua berhasil dilakukan barulah kita bisa berbicara untuk sedikit demi sedikit membuka seluruh mata bangsa Indonesia agar bisa melihat indahnya perbedaan. Jelas perbedaan itu indah, karena Tuhan pun menciptakan indahnya pelangi dari warna yang berbeda-beda. Jadi kenapa semua harus seragam?


Baca Juga
Abah
Generasi Micinial

Artikel Terkait

14 komentar

  1. wah,,,skrg sih udh makiin susah aja mw bkin perdamaian antar umat beragama...org2 udh makin gmpang terhasut dgn hal2 absurd yg sedang terjadi..smua saling menyalahkan klo trjadi bencana,apalagi nyangkut2 teroris..udah deh,susah...

    BalasHapus
  2. betul, jangan pesimis dong, saya aja beteman dengan yang berbeda suku, agama, gak ada masalah, perbedaan itu indah bila positif ;)

    BalasHapus
    Balasan
    1. @Stupid monkey: iya, justru harusnya perbedaan dijadikan sebagai alasan untuk lebih mempererat persaudaraan. :)

      Hapus
  3. Mau ribut kok bawa-bawa agama -.-

    BalasHapus
    Balasan
    1. @Adityar A.T: harusnya kalau mau ribut bawa parang aja ya jangan bawa-bawa agama segala. ._.V

      Hapus
  4. banayak putusan pengadilan di Indonesia yang dipengaruhi politik gan

    BalasHapus
    Balasan
    1. @ASAZ: itulah kenapa banyak orang yang jadi antipati sama yang namanya "politik". padahal seharusnya kan politik itu dijadikan dasar dalam pengambilan keputusan yang berkeadilan. :/

      Hapus
  5. sulitnya,terkadang konflik beragama itu hanya dijadikan alasan dibalik kepentingan2 lain seperti politik atau ekonomi. bilangnya sih gara2 'agama' (sesuatu yang ngebuat orang gampang panas kan), tapi sebenarnya bisa jadi karena akumulasi isu-isu lain. cwiiw ^^

    BalasHapus
    Balasan
    1. @suci nabbila: iya, banyak yang memakai agama sebagai kedok.

      Hapus
  6. sebenernya emg susah menyatukan hal yg berbeda2, dan mempertahankannya. tapi.. nothing impossible kan? :)
    seharusnya ini menjadi kesadaran masing2..

    BalasHapus
    Balasan
    1. @Azrina: iya, harus mulai dari diri masing-masing dulu. :)

      Hapus
  7. Keluarga adalah dasarnya. Orang tua sngt bperan pnting dlm mberikan tuntunan yg mana yg Do's yg mana Dont's. Orng tua hrs mngajarkn bahwa kekerasan fisik bukan solusi #IMO

    BalasHapus
    Balasan
    1. @NF: betul, karena pondasinya dibangun oleh orang tua dalam keluarga.

      Hapus