zORB44u1Y5Szogk9hvRg5anbZDydcDDjseaSpgOw

Jasa Keuangan, Setengah Orang Indonesia Masih Terisolasi


Selamat malam Kota Kembang!

Kebetulan saya harus singgah sejenak di Kota Kembang untuk menyosialisasikan peraturan baru di industri jasa keuangan. Berbicara tentang jasa keuangan, saya teringat studi Bank Dunia pada tahun 2010. Hasil studi tersebut menyebutkan bahwa lebih dari setengah masyarakat Indonesia masih belum memiliki akses terhadap bank dan koperasi. Sementara itu, 17% di antaranya sama sekali tidak memiliki akses terhadap jasa keuangan. Tadi pagi, saya kembali menerima informasi bahwa di Kediri terjadi gonjang-ganjing karena kesalahan penafsiran terhadap salah satu peraturan di bidang jasa keuangan. Sedikit banyak, fakta tersebut mencerminkan hasil studi yang dilakukan Bank Dunia pada tahun 2010 tersebut.

Pada umumnya, masyarakat Indonesia menggunakan bank, skema kesejahteraan sosial, bahkan arisan sebagai media untuk menabung. Akan tetapi, untuk meminjam uang, sektor informal seperti tetangga, teman, majikan, atau warung masih lebih sering untuk digunakan. Ada ketimpangan akses yang cukup signifikan terkait dengan kondisi geografis, jenis pekerjaan, dan tentu saja tingkat pendapatan. Penduduk luar Pulau Jawa dan mereka yang bekerja di sektor pertanian umumnya memiliki akses keuangan yang lebih kecil. Sekitar empat dari lima orang miskin di Indonesia tidak terlayani oleh jasa keuangan formal, dalam hal ini bank dan koperasi, dan hampir 40% di antaranya sama sekali tidak memiliki akses terhadap jasa keuangan.

Jika dipersandingkan dengan negara berkembang lainnya, akses masyarakat Indonesia terhadap jasa keuangan tergolong moderat. Tingkat akses penduduk Indonesia pada layanan keuangan lebih besar dari dua emerging giants (India dan Cina), dan hanya sedikit di bawah Thailand, Malaysia, bahkan Korea Selatan. Hal ini mengindikasikan adanya ruang dan keuntungan potensial yang besar dari usaha  peningkatkan akses terhadap jasa keuangan. Beberapa studi bahkan menunjukkan adanya korelasi yang kuat antara akses terhadap jasa keuangan dengan latar belakang sosial ekonomi masyarakat. Menurut studi Bank Dunia pada tahun 2010 yang sempat saya singgung sebelumnya, masyarakat yang tidak memiliki akses terhadap jasa keuangan tersebut pada umumnya adalah mereka yang tergolong masyarakat miskin pedesaan, dengan tingkat pendidikan yang rendah, dan tinggal di luar Pulau Jawa. Artinya, ada keterkaitan kuat antara akses pada layanan keuangan, kemiskinan, serta marjinalisasi.

Sistem keuangan di Indonesia didominasi oleh bank. Dari total aset keuangan formal, bank mengelola sekitar 79%. Meski jumlah bank menurun pascakrisis 1998, namun jangkauan sektor perbankan justru meningkat mengikuti pengetatan aturan sektor perbankan. Terlihat dari jumlah cabang beroperasi yang tumbuh sebesar 70% antara tahun 2000 sampai dengan tahun 2008. Dalam periode yang sama, jumlah ATM meningkat menjadi hampir tiga kali lipat. Dari segi dana yang dikelola, peran lembaga keuangan non bank (LKNB) masih belum signifikan. Perusahaan asuransi dan dana pensiun hanya mengelola sekitar 10% dana masyarakat. Lembaga keuangan formal lainnya yang lebih fokus dalam melayani konsumen pedesaan seperti pegadaian dan koperasi, hanya mengelola dalam porsi yang lebih kecil lagi.

Selain bank dan LKNB, selanjutnya adalah lembaga keuangan mikro (LKM). Umumnya, LKM didefinisikan sebagai penyediaan kredit kecil dan jasa keuangan yang relevan bagi rumah tangga miskin berpenghasilan rendah dan/atau usaha mikro yang mengalami kesulitan dalam mengakses lembaga keuangan formal seperti bank. Di Indonesia, berbagai jenis LKM telah menyebar di seluruh negeri, termasuk LKM yang diatur ataupun LKM yang beroperasi dengan status hukum yang tidak jelas atau di luar peraturan yang ada.

Sektor LKNB relatif kecil, meliputi sekitar 20% dari keseluruhan aset di industri jasa keuangan. Proporsi yang jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan negara-negara berkembang lainnya dan banyak negara di kawasan Asia Timur. Saat ini, kebijakan pemerintah ditujukan untuk menghapus perusahaan asuransi dan pembiayaan yang lebih kecil dan lemah melalui kewajiban batasan minimum dan kecukupan modal. Seperti  pada pengalaman dengan bank umum, persayaratan batasan minimum tidak selalu bertentangan dengan  penyediaan jasa kepada anggota masyarakat yang lebih miskin. Namun, mereka menciptakan hambatan masuk yang efektif yang dapat membatasi akses kepada orang miskin. Hingga tahapan ini berlalu, sebagian besar LKNB kemungkinan besar akan terus menawarkan produk yang hanya relevan bagi perusahaan yang lebih besar dan segmen masyarakat yang lebih makmur. Pengecualian penting pada aturan ini terutama  melibatkan penyedia layanan yang menawarkan produk sewa guna usaha seperti pembiayaan sepeda motor dan produk asuransi mikro.

Secara umum terdapat dua hambatan, hambatan permintaan dan hambatan penawaran, yang menyebabkan terisolasinya sebagian besar masyarakat Indonesia akan akses kepada sistem keuangan. Di sisi penawaran, sektor keuangan menghadapi masalah klasik terkait ketidakseimbangan informasi, yakni adverse selection serta moral hazard, yang sangat relevan dalam konteks pemberian kredit. Bagi kebanyakan lembaga keuangan, khususnya lembaga keuangan formal, berurusan dengan banyak nasabah berskala kecil dianggap  tidak terlalu menguntungkan. Nasabah kecil, yang berasal dari kelompok miskin atau pengusaha kecil, umumnya terlibat dalam transaksi keuangan berskala kecil. Di sisi lain, ada biaya tetap (fixed cost) yang harus dikeluarkan oleh lembaga keuangan, terlepas dari besaran transaksi yang dilakukan nasabah. Ini membuat penyedia layanan keuangan harus menanggung biaya yang tidak sedikit jika harus berhadapan dengan nasabah kecil dalam jumlah banyak, dan menjadi disinsentif bagi pelayanan untuk kelompok ini.

Selain itu, hambatan lainnya ialah desain dan pola pelayanan yang tidak sesuai dengan pola hidup kelompok penduduk tertentu. Di sisi mikro, hambatan akses pada layanan jasa keuangan dapat terjadi karena pola produk dan layanan mayoritas lembaga keuangan secara desain memang diperuntukkan bagi masyarakat yang memiliki penghasilan dengan jumlah minimal tertentu dan stabil. Kurangnya kondisi peraturan yang  mendukung untuk penyediaan jasa keuangan yang inovatif ikut menjadi penghalang lainnya. Guna memberikan layanan yang dapat memenuhi kebutuhan rumah tangga miskin, inovasi menjadi salah satu faktor kunci.

Hambatan dari sisi permintaan merujuk kepada semua rintangan yang menghambat kapasitas individu untuk mengakses layanan keuangan dan produk yang tersedia. Termasuk kurangnya sistem identifikasi resmi, rendahnya tingkat melek finansial, ketidakmampuan untuk melacak sejarah keuangan individu dan tidak adanya mekanisme perlindungan konsumen yang tepat. Hambatan lainnya tercipta melalui persepsi bahwa berurusan dengan lembaga keuangan umumnya dipandang sebagai proses yang sulit. Contoh paling nyata adalah dalam hal pengajuan permohonan kredit. Telah menjadi praktik yang baku bahwa dalam mengajukan kredit, pemohon harus dapat menyakinkan bank akan kemampuannya untuk dapat mengembalikan pinjaman tersebut pada saat jatuh tempo yang harus tercermin dalam proposal kredit yang berisi rencana penggunaaan dan sumber dana pengembaliannya.

Selain itu, pengaruh persepsi negatif menyebabkan rumah tangga miskin untuk menghindari penggunaan  layanan perbankan. Latar belakang sosio kultural juga bisa menyebabkan konsumen enggan terlibat dengan layanan jasa keuangan. Sebagian masyarakat enggan untuk memperoleh layanan jasa keuangan juga dapat disebabkan oleh faktor agama. Misalnya, sebagian masyarakat Muslim yang meyakini bahwa bunga pada bank konvensional adalah riba. Bagi kelompok masyarakat ini layanan jasa keuangan yang didasarkan pada prinsip syariah dapat menjadi solusi yang lebih tepat.

Dalam mengatasi permasalahan ini, Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Kementerian Negara Koperasi dan UKM, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Kementerian Sosial serta kementerian dan lembaga lainnya telah memiliki sejumlah program dan kegiatan yang bertujuan untuk meningkatkan akses kepada sistem keuangan. Program yang terakhir dicanangkan adalah dengan membentuk Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K), yang berada di bawah naungan kantor Wakil Presiden, sebagai koordinator berbagai program pengentasan kemiskinan pemerintah, termasuk Program Keluarga Harapan (PKH), Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM), dan Kredit Usaha Rakyat (KUR). Meski TNP2K bukan lembaga pelaksana, lembaga ini berperan untuk mengoordinasikan dan  memberikan masukan kebijakan program.

_____________________
Sumber gambar: Tempo
Baca Juga
Abah
Generasi Micinial

Artikel Terkait

Posting Komentar