zORB44u1Y5Szogk9hvRg5anbZDydcDDjseaSpgOw

Kutunggu Jandamu


Baru-baru ini santer diberitakan kalau anggota DPR mau studi banding ke Eropa. Katanya mereka mau belajar ilmu santet di sana. Mungkin mereka mau belajar ilmu santet ala Hogwarts. Entahlah. Sebelum berita ini muncul, ada yang pernah memberitahu saya kalau DPR memang sedang menggodog pasal santet dalam RUU KUHP yang baru. Kata sumber yang dapat dipercaya, beberapa paranormal beken sudah dimintai pendapatnya tentang pasal santet ini. Simpulan sementaranya, kesaksian dari seorang paranormal terhadap seorang tersangka dukun santet dapat dijadikan bahan bukti di pengadilan.

Mengenai rencana perubahan UU KUHP sendiri secara pribadi saya sangat setuju. UU KUHP yang kita pakai saat ini merupakan warisan VOC. Di negara asalnya, UU KUHP ini sudah lama dicabut. Karena itu wajar jika masih terdapat beberapa tindak pidana yang belum tercantum dalam UU KUHP kita. Sebenarnya RUU KUHP perubahan ini sudah lama digarap, sejak tahun 70-an. Tapi entah kenapa sampai sekarang masih belum juga disahkan.

Bahkan di kepala saya sempat pula terbersit sebuah teori konspirasi politik. Sepertinya karena sudah jarang berpuasa meonton TV. Teori konspirasi ini mungkin hanya luapan ketakutan saya jika pasal santet adalah buah dari transaksi politik antara anggota legislatif dengan paranormal. Menjelang Pemilu ini katanya para politikus jadi rajin ke paranormal. Mungkin itu sih. Tapi di daerah memang cukup banyak kasus santet yang sangat sulit untuk diselesaikan terkendala dengan masalah pembuktian.

Sebenarnya tidak hanya RUU KUHP, masih banyak RUU lain yang saya rasa cukup penting tetapi bahkan masih belum dimasukkan lagi ke dalam Prolegnas. Padahal RUU tersebut sudah cukup lama digarap. Tim penyusunnya saja sepertinya sudah eneg terus-terusan membahas RUU yang masih bertepuk sebelah tangan.

DPR lebih suka membuat UU yang sebenarnya tidak terlalu penting. Mungkin karena persoalannya tidak terlalu rumit, jadi menyusunnya lebih gampang. Misalnya UU Gerakan Pramuka. Bukannya saya meremehkan atau mengesampingkan Pramuka. Saya juga pernah sembilan tahun mmenjadi anggota Pramuka. Tetapi, apakah Pramuka teramat vital sampai harus diatur dalam UU? Apa saja norma hukum yang ingin diatur dalam UU Gerakan Pramuka dan seberapa penting norma-norma itu? Apakah tidak cukup jika norma hukum tersebut hanya diatur dalam sebuah Peraturan Pemerintah (PP)?

Saya kira kita ini terlalu rajin membuat UU. Sampai-sampai cukup banyak UU yang tumpang tindih. Misalnya UU Keperawatan. Apakah UU Tenaga Kesehatan masih belum cukup untuk untuk mengakomodasi dan mengatur tentang keperawatan? Padahal dalam Regulatory Impact Analysis atau Regulatory Impact Assessment (RIA), sebuah dokumen yang digunakan Organisation fot Economic Co-operation and Development (OECD) untuk menganalisis dampak sebuah kebijakan atau regulasi, disebutkan bahwa cost and benefit suatu regulasi itu harus sepadan. Dirasa kurang efisien jika benefit suatu regulasi tidak sepadan dengan cost yang harus dikeluarkan.

Pasalnya, biaya membuat UU itu tidaklah murah. Untuk sebuah UU saja biaya yang diperlukan bisa mencapai tiga miliar rupiah. Itu hanya biaya dari mulai proses penyusunan sampai penetapan oleh DPR. Belum lagi biaya sosialisasi jika UU tersebut telah disahkan. Di Indonesia hanya ada dua lembaga yang berwenang untuk memrakarsai pembentukan UU. Dan, harus diakui jika RUU yang tidak terlalu penting itu biasanya diprakarsai oleh anggota dewan yang terhormat. Maklum sajalah, itu kan sudah menjadi target output mereka.

Lebih mirisnya lagi, dalam proses penyusunan sampai penetapan RUU sering kali banyak yang lebih mengedepankan ego sektoral. Akibatnya muncul sebuah fenomena yang saya sebut fenomena "kutunggu jandamu". Maksudnya begini, "kutunggu jandamu" itu merupakan sebuah frasa, jargoan, atau apapun namanya yang menunjukkan perjuangan yang tidak mengenal putus asa. Janur kuning pun tidak dianggap sebagai akhir dari segalanya. Misalnya ketika ada orang yang tidak setuju dengan pasal tentang santet tapi kemudian pasal tersebut disahkan. Orang tersebut tidak patah arang. Dia masih bisa mengajukan judicial review di Mahkamah Konstitusi (MK).

Itu masih sering sekali terjadi. Sangat disayangkan karena kemudian UU yang dibentuk dengan biaya yang sangat mahal itu bisa berpotensi untuk dicabut oleh MK. Tapi kita juga tidak bisa menyalahkan orang yang mengajukan judicial review. Yang salah adalah kita yang tetap mempertahankan ego sektoral dan mengesampingkan kepentingan yang lebih besar, kepentingan rakyat, ah.
Baca Juga
Abah
Generasi Micinial

Artikel Terkait

3 komentar

  1. Kapan ya para wakil rakyat dan pemerintah bisa membuat undang-undang (UU)demi kepentingan nasional dan untuk jangka panjang. Saya sampai bosan sendiri menyuarakan harapan itu. Setiap undang undang dibikin, selalu saja bergantung kepada order pihak-pihak berkepentingan. UU Migas, umpamanya, menekankan agar investor asing bersedia menanamkan investasinya di Indonesia. Akibatnya, investor asing lebih berkuasa dari bangsa dan negara Indonesia sebagai pemilik penuh negara ini. Mereka mendikte bangsa dan negara ini. Tambang freeport, kapan ya kembali ke pangkuan ibu pertiwi?????? Banyak UU yang dibuat DPR agar menguntungkan partainya. UU DPD menjadikan nasib para senator tidak berkutik di ketiak DPR. Maklum yang bikin DPR. Kenapa sih kalau membuat UU bertitik tolak dari idealisme agar bangsa dan negara kita bisa lebih baik, bukan hanya menguntungkan suatu kelompok sesaat..... menydihkan sekali....

    BalasHapus
  2. Balasan
    1. Memangnya kelihatan lagi mencak-mencak ya? :D

      Hapus