zORB44u1Y5Szogk9hvRg5anbZDydcDDjseaSpgOw

Reimbursement PPN Batubara


Kisah ini bermula ketika pada tahun 1980-an pemerintah yang mendapatkan amanat konstitusional untuk mengelola kekayaan sumber daya alam membuat kontrak dengan enam perusahaan batubara berupa Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B). Kontrak tersebut ditandatangani sebelum tanggal 1 April 1985 yang kemudian dikenal sebagai PKP2B Generasi I (pertama). 

Dalam PKP2B tersebut dirinci hak dan kewajiban kedua belah pihak. Termasuk di dalamnya adalah kewajiban perpajakan yang harus dibayar oleh kontraktor PKP2B kepada pemerintah. Kewajiban perpajakan tersebut meliputi Pajak Perseroan, pemotongan dan pemungutan atas with holding tax, Iuran Pembangunan Daerah (IPEDA), bea materai, cukai, dan Pajak Penjualan (Ppn) atas jasa yang diserahkan pada kontraktor dengan tarif maksimum 5%. Di dalam PKP2B disebutkan pula bahwa Perusahaan Negara Tambang Batubara (P.N. Tambang Batu) sebagai kuasa pertambangan batubara (sekarang kuasa pertambangan berada di Kementerian ESDM) akan membayar, menanggung, dan membebankan segala jenis pajak selain yang disebutkan dalam PKP2B.

Kemudian kita tahu bahwa pada tahun 1984 dilaksanakan reformasi kebijakan perpajakan (tax reform) Indonesia. Antara lain dengan diberlakukannya Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (UU PPN). Setahun berselang, yaitu pada tahun 1985, pemerintah menerbitkan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (UU PBB) yang menggantikan IPEDA sebagaimana yang tertuang dalam PKP2B.

Menanggapi adanya tax reform tersebut, kontraktor yang terikat dalam PKP2B Generasi I melakukan beberapa penyesuaian. Di antaranya adalah mengakui berlakunya UU PPN yang berarti mengakui PPN sebagai pengganti dari PPn. Kontraktor pun telah melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya sesuai dengan UU PPN tersebut. Pun, mengakui dan mengikuti pergantian IPEDA menjadi PBB. Serta perubahan-perubahan lainnya yang masih terkait dengan pelaksanaan tax reform.

Kisah ini terus bergulir, hingga pada tahun 2000 pemerintah melakukan amandemen ke dua atas UU PPN. Pokok perubahan tersebut di antaranya adalah ditetapkannya jenis barang yang tidak dikenakan PPN yang antara lain adalah kelompok barang hasil tambang atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya. Barang-barang tersebut dikelompokkan ke dalam Bukan Barang Kena Pajak (Bukan BKP). Jenis-jenis barang yang Bukan BKP tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 144 Tahun 2000 tentang Jenis barang dan Jasa Tidak Kena Pajak Pertambahan Nilai (PP 144/2000). Dalam PP tersebut diatur pula bahwa sebelum diproses menjadi briket batubara, batubara tersebut tidak dikenakan PPN atau Bukan BKP. Karena Bukan BKP maka tidak bisa lagi dilakukan restitusi atas PPN batubara tersebut.

Hal ini menimbulkan sengketa antara kontraktor PKP2B Generasi I dengan pemerintah. Kontraktor menyandera DHPB bagian pemerintah karena menganggap pemerintah telah melanggar salah satu butir dalam PKP2B Generasi I, yakni klausul yang menyebutkan bahwa pemerintah akan membayar, menanggung, dan membebankan kontraktor atas segala pajak selain yang disebutkan dalam kontrak. Dalam jumlah DHPB yang ditahan oleh Perusahaan Kontraktor PKP2B terdapat unsur royalti. Kontraktor berpendapat bahwa negara mempunyai utang kepada mereka berupa restitusi PPN. Jika restitusi tersebut tidak dibayar, kontraktor akan mengompensasikannya (reimbursement) melalui royalti yang masih tersandera. Menurut Harian Investor Daily, besar DHPB untuk periode 2001-2007 saja angkanya mencapai sekitar 7 triliun rupiah.

Sebenarnya, sebelum menyandera royalti tersebut, pada tahun 2004 melalui Asosiasi Perusahaan Batubara Indonesia (APBI) kontraktor PKP2B Generasi I telah mengajukan uji materiil atas PP 144/2000 ke Mahkamah Agung (MA). Dalam jawabannya, MA mengakui tidak bisa memberikan pendapat hukum karena pengajuan uji materiil tersebut sudah melewati batas waktu (90 hari) sejak PP 144/2000 diterbitkan. MA hanya memberikan pendapat hukum biasa, di antaranya menyebutkan bahwa pemberlakuan PP 144/2000 telah mengubah status batubara dari BKP menjadi Bukan BKP. Dalam pendapat hukumnya tersebut, MA menyebutkan pula bahwa PP 144/2000 telah bertentangan dengan peraturan dasarnya yakni UU PPN.

Menarik jika kita mencermati pendapat hukum MA tersebut. Apalagi pendapat tersebut hanya berupa pendapat hukum biasa atas pengajuan uji materiil oleh APBI dan bukan merupakan pendapat hukum hasil sidang uji materiil yang tidak mengikat siapapun. Padahal sudah jelas bahwa dalam UU PPN amandemen terakhir disebutkan secara gamblang bahwa barang-barang yang diambil langsung dari sumbernya adalah Bukan BKP. Termasuk di dalamnya adalah batubara dan minyak bumi (crude oil). Dalam Penjelasan Pasal 4A ayat (2) huruf a UU PPN tersebut juga dijelaskan bahwa batubara Bukan BKP.

Memang dalam PKP2B terdapat klausul yang menyebutkan bahwa pemerintah akan membayar, menanggung, dan membebankan kontraktor atas segala pajak selain yang disebutkan dalam kontrak. Namun, harus dicermati pula bahwa PPN bukan termasuk jenis pajak selain yang disebutkan dalam kontrak. Sebelum ditetapkannya PP 144/2000, kontraktor PKP2B Generasi I pun telah memungut PPN yang merupakan pengganti dari PPn. PPN tidak ada dalam PKP2B tetapi kontraktor telah membayar PPN Masukan tiap kali melakukan pembelian dan memungut PPN Keluaran tiap kali melakukan penjualan batubara. Selanjutnya, kontraktor menerima restitusi atas kelebihan PPN Masukan yang telah dikreditkan terhadap PPN Keluaran. Sejak saat itu, kontraktor tidak lagi membayar dan memungut PPn sebagaimana tercantum dalam PKP2B.

Namun, dengan ditetapkannya PP 144/2000 tersebut kontraktor PKP2B yang telah membayar PPN Masukan atas batubara yang dibelinya tidak dapat mengkreditkannya karena tidak lagi memungut PPN Keluaran atas batubara tersebut. Oleh karena itu, kontraktor tidak dapat melakukan restitusi atas PPN Masukan yang telah mereka bayar dan meminta pengembalian PPN Masukkan yang telah mereka bayar dengan mekanisme reimbursement sesuai klausul dalam PKP2B.

Di sisi lain, belum ada mekanisme yang tegas mengenai reimbursement PPN ini. Hal ini terjadi karena dalam kontrak PKP2B antara lain diatur mengenai reimbursement sedangkan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) hanya mengenal mekanisme restitusi. Inilah yang menyebabkan kontraktor PKP2B tidak dapat melakukan reimbursement atas PPN Masukan yang tidak dapat dikreditkan.

Sebenarnya mekanisme reimbursement ini tidak hanya terdapat dalam PKP2B. Dalam kontrak kerjasama migas dan panas bumi juga terdapat klausul yang mengatur mengenai bagaimana mekanisme reimbursement ini. Namun, tentu saja ketiga jenis kontrak ini memiliki perbedaan sesuai dengan keunikannya masing-masing.

Mekanisme reimbursement migas didasarkan pada PMK No. 64/PMK.02/2005 tentang Tata Cara Pembayaran PPN dan PPn atas Barang Mewah atas Perolehan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak yang Digunakan oleh Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap Dalam Pengusahaan Minyak dan Gas. Reimbursement PPN migas hanya melalui satu tahapan, yaitu tahapan eksekusi reimbursement dan tidak membutuhkan tahapan penganggaran. Tidak membutuhkan tahapan penganggaran di sini maksudnya tidak membutuhkan tahapan pengalokasian ke APBN. Karena PPN migas dipungut oleh Menteri Keuangan dan dicatat dalam BA BUN. PPN migas hanya disetorkan ke rekening antara bukan ke Kas Negara. Mekanisme tersebut berdasarkan Keputusan Bersama Direktur Jenderal Lembaga Keuangan dan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-1288/LK/2000 dan KEP-68/PJ/2000 tentang Petunjuk Teknis Pengembalian PPN yang Telah Dibayar Oleh Pengusaha Panas Bumi untuk Pembangkitan Energi/Listrik.

Sementara itu, reimbursement PPN panas bumi juga hanya melalui satu tahapan, yaitu tahapan eksekusi reimbursement dan tidak membutuhkan tahapan penganggaran. Mekanismenya sama dengan PPN migas, PPN panas bumi tidak disetorkan ke kas negara tetapi hanya sampai rekening antara. Karena merupakan penerimaan Menteri Keuangan dan dicatat di BA BUN, maka Menteri Keuangan yang melakukan reimbursement PPN.

Salah satu perbedaan mendasar dari mekanisme reimbursement PPN migas dan PPN panas bumi dengan reimbursement PPN batubara adalah bahwa mekanisme reimbursement PPN batubara harus dilakukan melalui dua tahapan, yaitu tahapan penganggaran dan tahapan eksekusi. Kedua tahapan ini harus dilakukan karena PPN batubara pada kontraktor PKP2B tidak disetorkan ke rekening antara sebagaimana PPN migas dan PPN panas bumi, melainkan disetorkan ke Rekening Kas Negara. Karena merupakan penerimaan Kementerian ESDM dan dicatat di BA 020. Penahanan DHPB tidak berhubungan dengan reimbursement. DHPB merupakan suatu objek yang berbeda dengan reimbursement PPN.

Ketika PPN batubara harus melalui dua tahapan, yaitu penganggaran dan eksekusi, sekiranya terdapat tiga lembaga yang dimungkinkan untuk menjadi eksekutornya, Direktorat Jenderal Anggaran (DJA), DJP, atau Kementerian ESDM. Akan tetapi, masing-masing nominator tersebut memiliki kelemahan tersendiri. DJA memang sangat terkait dengan penganggaran, tetapi DJA tidak terkait langsung dengan penerimaan perpajakan. DJA juga tidak memiliki data real time PPN seperti DJP. Sementara di DJP hanya ada ketentuan tentang restitusi PPN. Padahal reimbursement tidak bisa disamakan dengan restitusi. Terakhir adalah Kementerian ESDM. Disamping PPN batubara dicatat sebagai penerimaan Kementarian ESDM, Kementarian ESDM juga merupakan perumus kebijakan di bidang sumberdaya mineral, termasuk batubara. Namun, harus diingat bahwa Menteri ESDM hanya bertindak sebagai Chief Operational Officer (COO) bukan sebagai Chief Financial Officer (CFO).

Kisah ini mulai menemukan titik terang ketika pada akhir tahun 2012 kemarin Menteri Keuangan menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 194/PMK.03/2012 tentang Tata Cara Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporanpajak Penjualan dan Perlakuan Pajak Pertambahan Nilai dan/atau Pajak Penjualan Atas Barang Mewah Bagi Kontraktor Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara Generasi I. Inti dari PMK tersebut adalah pemberlakuan PPn dan tidak berlakunya PPN bagi kontraktor PKP2B Generasi I. Kontraktor PKP2B Generasi I wajib melakukan pemungutan, penyetoran, dan pelaporan PPn atas perolehan jasa. Selain melakukan pemungutan, penyetoran, dan pelaporan PPn atas perolehan jasa, PT Berau Coal selaku kontraktor juga diwajibkan untuk melakukan pemungutan, penyetoran, dan pelaporan PPn atas perolehan barang. Tentu saja beberapa ketentuan sepeti jenis jasa dan/atau barang yang dikenakan dan besar tarif antara PPn berbeda dengan PPN.

Sekian curahan kegalauan seorang mantan mahasiswa pajak yang semasa menjadi mahasiswa tidak pernah serius untuk belajar pajak. Betulkan jika saya salah.
Baca Juga
Abah
Generasi Micinial

Artikel Terkait

8 komentar

  1. betewe,aku stalking blog-mu buat nge-gap tulisan galau, seperti halnya kamu nge-gap tulisan galauku, tapi aku ga berhasil nemu xD

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ah masa? Berarti kamu belum beruntung. :P

      Hapus
  2. Maaf, numpang nanya...apakah dengan PMK yang baru tersebut permasalahan lex spesialis & generalis sebelumnya telah dapat ditangani? terima kasih

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yaaah..ga bisa jadi bahan skripsi deh T.T

      Hapus
    2. Pukpuk. Skripsinya buat lulus DIV bukan, Mba? Tapi sebenernya masih banyal lagi masalah pertambangan mah.

      Hapus
    3. Iyaaa...kasih ide dong, hehe..

      Hapus
    4. Yang ada hubungannya dengan pajak atau pertambangan secara umum saja?

      Hapus